Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Leo Messi dan Pelajaran Sukses Butuh Ketabahan

15 Juli 2021   13:51 Diperbarui: 16 Juli 2021   09:24 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lionel Messi memegang trofi Top Skor Copa America 2021 setelah timnas Argentina mengalahkan Brasil 1-0 di final yang bergulir di Stadion Maracana pada Minggu (11/7/2021), pagi hari WIB.| Sumber: MAURO PIMENTEL via Kompas.com

Ketika Lionel Messi membawa Argentina meraih gelar juara Copa America 2021, Minggu (11/7) lalu, itu bukan sekadar momen pemain bola mengangkat piala. Tak hanya itu.

Momen itu laksana pesan kegembiraan yang dibagikan serentak ke seluruh warga dunia. Seluruh dunia ikut bergembira karena seseorang yang memang layak meraih piala, akhirnya bisa mendapatkannya.

Berlebihan? Tidak.

Faktanya, postingan Messi berfoto berdua dengan trofi Copa America di akun Instagramnya dengan narasi "Que hermosa locura !!! Esto es increible, gracias Dios!!!" direspons heboh warga dunia. Bahkan, menjadi rekor baru di dunia per-media sosial-an.

Postingan yang maknanya "what a beautiful madness !!! This is amazing, thank you God!!!" itu mendapat like dari 19 juta lebih warganet dan 493 ribu komentar.

Itu menjadi rekor baru di Instagram. Bahwa postingan seorang pesohor bisa mendapatkan jumlah like dan komentar sebanyak itu. Tidak pernah ada sebelumnya.

Itu menunjukkan, ada jutaan orang yang tinggal di planet ini, sayang kepada Messi. Mereka berharap yang terbaik untuk Messi setelah semua kepahitan yang dia alami.

Belajar dari Ketabahan Messi

Tetapi memang, ada pesan sunyi dalam keriuhan selebrasi Messi di Stadion Maracana di Kota Rio de Janiero, Brasil itu. Sunyi karena pesan itu memang tidak tersurat. Tapi tersirat.

Pesan itu tentang ketabahan. Tentang kembali bangun setelah berkali-kali jatuh. Juga, kekuatan believing (yakin) bahwa sukses pada akhirnya akan datang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata tabah dimaknai tetap dan kuat hati (dalam menghadapi bahaya, kegagalan, dan sebagainya). Seperti kalimat, kita harus tabah dalam menghadapi berbagai cobaan, ujian, dan kesulitan.

Bagi saya, konteks tabah ini levelnya lebih di atas sabar. Tabah ini konotasinya cobaan dan kesulitan yang dihadapi berkali-kali. Seolah tak pernah usai.

Messi pernah mengalami itu. Bahkan, ketika usianya masih belia. Bersama Argentina, dia pernah mengalami serangkaian kegagalan. Ketabahannya diuji.

Gelar Copa America 2021 itu merupakan rangkuman dari perjuangan panjang berdarah-darah Messi yang akhirnya bisa mempersembahkan piala untuk negaranya, Argentina.

Lionel Messi berbincang dengan keluarganya via video call usai membawa Argentina juara Copa America 2021/Foto: Reuters/Ricardo Moraes
Lionel Messi berbincang dengan keluarganya via video call usai membawa Argentina juara Copa America 2021/Foto: Reuters/Ricardo Moraes
Ya perjuangan panjang. Messi memulai mimpinya meraih gelar untuk negaranya sejak 2006. Sejak dirinya melakoni debut untuk Argentina di Piala Dunia 2006. Di usia yang belum genap 19 tahun.

Sejak itulah, kegagalan demi kegagalan mengakrabi Messi.

Di Piala Dunia 2006 itu, Messi dkk kalah adu penalti melawan Jerman di perempat final. Bak deja vu, situasi berulang di Piala Dunia 2010. Argentina kembali kalah dari Jerman di perempat final. Kalah telak, 0-4.

Namun, yang menyesakkan adalah kekalahan di final Piala Dunia 2014. Lagi-lagi dari Jerman. Messi yang sudah sangat dekat meraih piala dunia, hanya bisa merana ketika Jerman mencetak gol di masa perpanjangan waktu.

Perihal merananya Messi ini, ada sebuah foto viral hasil jepretan seorang fotografer yang mengabadikan Messi tampak memandang trofi Piala Dunia dengan penuh harap tanpa bisa mengangkatnya. Foto itu menjadi foto olahraga terbaik di tahun itu.

Di Copa America, sejak main di edisi tahun 2007, Messi berkali-kali sudah sangat dekat untuk meraih trofi. Dia membawa Argentina tiga kali ke final 2007, 2015, dan 2016. Tapi, semuanya berakhir pahit.

Yang paling pahit adalah final Copa America 2016 ketika Argentina kalah adu penalti dari Chile. Messi yang jadi penendang penalti pertama, gagal menjalankan tugasnya. Tendangannya melangit.

Toh, Messi belum kapok. Dia tetap mau bangkit meski berkali-kali jatuh. Dia tetap percaya, dirinya bisa memberikan Argentina sebuah kebanggaan. Bukan hanya Barcelona yang sudah bolak-balik dia baw menjadi juara.

Dan, semesta ternyata ingin melihat Messi meraih trofi bersama Argentina mendekati pengujung kariernya. Di usianya yang sudah 34 tahun. Andai dia gagal lagi, Messi mungkin tidak akan pernah memenangi Copa America.

Seperti Leaonardo Di Caprio, Messi akhirnya sukses usai berkali-kali gagal

Gelar Copa America itu diraih Messi lewat perjuangan dashyat. Entah berapa kali dia dilanggar, dikasari, dijatuhkan, ditendang oleh pemain lawan sepanjang turnamen Copa America 2021.

Bahkan, ketika melawan Kolombia di semifinal, kamera menyoroti kaos kakinya berdarah usai dikasari pemain lawan. Kakinya berdarah. Tapi, dia tetap tabah. Dia tetap bermain.

Karenanya, ketika final usai, terlihat betapa bahagianya Messi. Utamanya ketika rekan-rekannya memeluknya. Aura bahagia Pemain Terbaik Dunia enam kali ini bahkan lebih terang dibandingkan ketika dia meraih gelar bersama Barcelona.

Maklum, itu memang akhir dari penantian yang sangat panjang. Bahkan mungkin juga akhir dari kecemasan. Messi boleh jadi cemas bila seandainya dirinya gantung sepatu tapi belum bisa memberikan piala untuk Argentina.

Dari Messi kita bisa belajar bagaimana bersikap tabah dalam menyikapi kegagalan. Hanya perlu terus berproses sampai waktu yang tepat untuk menang.

Nah, bagian menjaga motivasi agar terus menjaga 'standar bekerja' setelah merasakan kegagalan ini yang sulit. Hanya orang-orang tangguh yang bisa melakukannya.

Ada banyak contoh, mereka yang pernah gagal di momen puncak, lantas kariernya meredup. Sulit untuk kembali berada di level terbaiknya.

Melihat perjalanan sukses Messi, saya jadi teringat dengan aktor top Hollywood, Leonardo Wilhelm DiCaprio.

Sama seperti Messi, aktor keren ini juga pernah merasakan serangkaian kegagalan di ajang Academy Award atau yang ngetop dengan sebutan Oscar.

DiCaprio pernah empat kali selalu 'kalah' di ajang Oscar. Penantian panjang DiCaprio memenangi Piala Oscar, baru kesampaian pada kesempatan kelimanya.

Ya, pada 2016 lalu, karier akting DiCaprio akhirnya mendapatkan pengakuan tertinggi. Ajang Academy Award ke-88 mendapuknya meraih Oscar kategori Aktor Terbaik dalam peran monumentalnya di film The Revenant.

Lakon Hugh Glass, seorang pemburu yang nyaris mati diserang beruang ganas, membawanya meraih "keabadian". Meraih Piala Oscar pertamanya.

Sebelumnya, DiCaprio hanya wira-wiri sebagai nominator. Empat kali masuk nominasi, Oscar enggan bersamanya dan lebih memilih dimiliki aktor lain. Dia masuk nominasi sebagai aktor pendukung di film What's Eating Gilbert Grape (1994). Lalu nominasi aktor terbaik dalam film The Aviator (2005), Blood Diamond (2007) dan terakhir di fim The Wolf of Wall Street (2014).

Penantian panjang itu membuat DiCaprio sempat jadi olok-olokan. Ada banyak foto meme berkeliaran tentang mimpi DiCaprio meraih Oscar. Salah satunya foto satire ketika DiCaprio seakan berlari mengejar Piala Oscar dan ada tulisan besar "Catch Me if You Can" yang merupakan judul filmnya pada 2002 silam.

Toh, kenyataan tidak pernah meraih Piala Oscar sejak namanya dikenal luas lewat akting di film Romeo+Juliet dan akting menawan nan menguras emosi di film Titanic pada 1997 silam, tidak membuat kinerjanya menurun.

Dia tetap bekerja dengan standar terbaik yang dimilikinya. Standar itulah yang membuatnya bisa bekerja bareng sineas top dunia seperti James Cameron, Martin Scorsese hingga peraih Oscar 2016 untuk sutradara terbaik, Alejandro G Innaritu.

Dari cerita sukses Leo Messi dan Leo Di Caprio, kita bisa belajar, serangkaian kegagalan yang pernah dialami, sejatinya bukanlah penghancur motivasi.

Faktanya, keduanya sudah membuktikan. Meski berkali-kali gagal, mereka tetap bekerja dengan standar terbaik mereka.

Ya, tetapkanlah standar terbaik yang bisa kita capai dalam bekerja. Ketika kita terbiasa bekerja pada level standar itu, penghargaan akan datang dengan sendirinya. Messi telah membuktikan itu. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun