Cemas, bahagia, dan sedih, bercampur jadi satu. Campur aduk.
Begitu rasanya luapan perasaan ribuan supporter Inggris yang memadati Stadion Wembley untuk mendukung timnasnya tampil menghadapi Italia di final Piala Eropa 2020, Senin (12/7) pagi.
Termasuk tante saya yang ikut menonton langsung di Stadion Wembley.
Dini hari tadi, adik dari ibu mertua saya yang sudah bertahun-tahun tinggal di London ini mengirim fotonya menonton final bersama tiga temannya di grup WhatsApp keluarga.
Mereka mendukung Inggris. Berharap Inggris juara Piala Eropa untuk kali pertama. Di rumah sendiri.
Harapan itu sempat mendapatkan awal yang sempurna.
Hanya dua menit setelah wasit asal Belanda, Bjorn Kuipers meniup peliut tanda dimulanya final, fan Inggris bersorak. Heboh.
Itu setelah bola umpan melambung dari Kieran Tripper, langsung disambar Luke Shaw yang tidak terkawal. Gol. Inggris unggul cepat. Awal sempurna di final.
Apalagi, Italia tampak kesulitan menembus pertahanan Inggris yang memainkan strategi double cover.
Pelatih Inggris, Gareth Southgate memang memainkan skema 3-4-3. Skema itulah yang sukses mengalahkan Jerman di babak 16 besar lalu.
Dia memainkan tiga bek, Harry Maguire, John Stones, dan Kyle Walker. Lalu Kieran Trippier dan Luke Shaw diplot sebagai full back yang naik turun.
Di tengah, Declan Rice dan Kalvin Phillips yang jadi pilihan sejak awal turnamen, kembali main bareng. Di depan, Harry Kane didukung Raheem Sterling dan Mason Mount.
Hingga akhir babak pertama, Inggris tampak solid. Pertahanannya sulit ditembus. Italia tampak bingung mencari celah untuk masuk ke area gawang Inggris. Lorenzo Insigne dan kawan-kawannya kesulitan mendapatkan peluang.
Hingga di menit ke-67, bermula dari sepak pojok, kekacauan terjadi di pertahanan Inggris. Bek Italia, Leonardo Bonucci beruntung bola menghampirinya. Sekali tendang jadi gol. Skor pun berubah 1-1.
Southgate yang ingin Inggris menang di waktu normal, lantas memasukkan Bukayo Saka menggantikan Tripper di menit ke-71 dan Jordan Henderson menggantikan Rice di menit ke-74.
Namun, dua pergantian itu tidak mengubah situasi. Skor tidak berubah. Laga berlanjut perpanjangan waktu.
Giliran Jack Grealish dimasukkan di menit ke-99 menggantikan Mount yang kurang optimal. Grealish yang punya dribling dan umpan bagus, diharapkan bisa membuat kejutan.
Southgate tidak ingin laga berujung adu penalti. Bila harus memilih, dia tentu ingin menang di masa seperti extra time seperti saat mengalahkan Denmark di semifinal.
Namun, hingga menit 119, tidak ada gol. Adu penalti di depan mata. Southgate lalu memasukkan Marcus Rashford dan Jadon Sancho di menit ke-120. Tujuannya tentu menjadikan mereka penendang penalti. Sebab, keduanya piawai menendang penalti di level klub.
Merasakan ketegangan adu penalti di stadion
Usai menyaksikan langsung drama adu penalti itu dari layar kaca televisi dengan volume rada kencang, beberapa jam kemudian saya menyaksikan ulang cuplikannya dari Youtube. Di kanal Football Addict.
Kanal ini menyajikan adu penalti itu dari angle berbeda. Dari rekaman suporter Inggris di tribun. Karenanya, gambarnya wide. Terkadang di zoom in zoom out agar fokus.
Karena diambil dari tribun, kita bisa menyaksikan dan juga ikut merasakan ketegangan langsung dari stadion. Merasakan reaksi kedua suporter. Utamanya suporter Inggris.
Di babak adu penalti, Italia mendapat giliran pertama. Domenico Berardi sebagai penendang awal, sukses. Suporter Italia yang ada di belakang gawang satunya, langsung bersorak.
Nah, ketika Harry Kane sebagai penendang pertama Inggris berhasil menjebol gawang Italia dan menyamakan skor 1-1, Wembley
langsung bergemuruh. Fan Inggris bersorak.
Sorakan fan Inggris kembali membahana ketika Jordan Pickford, kiper Inggris, berhasil menepis tendangan Andrea Belotti, eksekutor kedua Italia.
Sorak sorai pendukung Inggris semakin dahsyat ketika Harry Maguire mampu memperdaya Gianluigi Donnarumma. Sepakannya ke pojok atas kiri gawang menjadi salah satu penalti terbaik.
Inggris memimpin 2-1 atas Italia. Tiga penendang lagi. Andai semuanya sukses, Inggris bakal juara.
Seharusnya, momen itu membuat pemain-pemain Inggris termotivasi. Sebaliknya, beban ada pada pemain-pemain Italia.Â
Namun, pemain-pemain Italia ternyata tidak terintimidasi oleh sorak sorai pendukung Inggris.
Leonardo Bonucci maju sebagai penendang ketiga Italia. Bola diarahkannya ke kanan gawang. Pickford sebenarnya bisa membaca arah bola. Tapi, bola gagal dijangkaunya karena dia keburu menjatuhkan badan.
Terdengar ribuan fan Inggris mengeluh kecewah. Harapan yang gagal terwujud. Ya, mereka berharap Bonucci gagal.
Tiba giliran Rashford. Fan Inggris menghela nafas. Apalagi ketika melihat tendangan Rashford menghantam mistar gawang. Tidak gol. Skor pun sama 2-2. Teriakan kecewa terdengar dari fan Inggris. Sementara suporter Italia bersorak.
Situasi semakin mendebarkan. Penendang keempat Italia, Federico Bernardeschi, maju. Bola ditendang ke tengah gawang, mengecoh Pickford yang bergerak ke kanan. Gol.
Tekanan berbalik ke Inggris. Giliran Jadon Sancho. Publik Inggris dilanda ketegangan. Sebab, bila kembali tidak gol, peluang Inggris juara bisa sirna.
Benar saja, Sancho yang baru masuk lapangan di menit ke-120 dan selama Euro 2020 jarang main, kakinya seolah masih berat. Sepekannya lemah. Bola yang dia arahkan ke kiri gawang, bisa diblok oleh Donnarumma. Inggris tertinggal 2-3.
Suasana di stadion yang sebelumnya hiruk pikuk, berubah hening. Fan Inggris terdiam. Hanya terdengar sorakan suporter yang jumlahnya tidak seberapa dibandingkan fan Inggris.
Tiba waktunya moment of truth. Momen penentuan. Penendang kelima.
Italia bisa juara bila Jorginho bisa menuntaskan tugasnya. Persis seperti saat melawan Spanyol. Sebab, bila gol, Italia akan unggul 4-2 dan adu penalti pun selesai.
Ternyata, Jorginho, sang spesialis penalti itu gagal. Bola tendangannya ke kanan gawang, bisa ditepis Pickford.
Seketika, Wembley kembali bergemuruh. Fan Inggris bersorak. Bahkan, ada yang berpelukan. Merasa peluang Inggris untuk juara belum sirna.
Ya, Inggris memang masih punya harapan. Bila penendang kelima sukses, skor akan sama kuat 3-3. Adu penalti pun berlanjut ke penendang ke enam.
Penendang kelima Inggris, Bukayo Saka maju. Anak muda berusia 19 tahun ini menanggung harapan semua fan Inggris. Harapan itu rupanya menjadi beban berat baginya.
Saka yang pendiam itu tampak tenang. Namun, dia belum berpengalaman mengeksekusi penalti. Apalagi di momen krusial seperti itu.
Bola yang dia arahkan ke kanan gawang, sama seperti Sancho, bisa diblok Donnarumma.
Inggris pun kalah. Italia juara Euro 2020. Italia lebih siap menghadapi babak adu penalti itu. Silahkan baca ulasan sebelumnya di:
https://www.kompasiana.com/hadi.santoso/60eb8d7706310e113727c5f2/italia-juara-karena-lebih-siap-hadapi-adu-penalti.
Namun, kita harus memberikan apresiasi kepada Saka, Sancho, dan Rashford. Mereka masih muda. Mereka berani tampil menghadapi momen adu penalti menegangkan. Dan itu terjadi di final.
Jangankan anak muda seperti mereka, pemain superstar sekelas Roberto Baggio dan Lionel Messi pun pernah gagal menendang penalti di babak final. Baggio gagal di final Piala Dunia 1994. Messi pernah gagal di final Copa America 2016.
Inggris belum move on dari trauma adu penalti
Ketika announcer di stadion mengumumkan Italia sebagai juara Euro 2020, publik Inggris di Wembley terdiam. Ada yang mengomel. Yang terdengar hanyalah sorakan fan Italia.
Suporter Inggris yang hadir di stadion, utamanya mereka yang sudah bapak-bapak seumuran saya (40 tahun), mungkin mengutuk adu penalti jahanam itu. Mengutuk ketidakberuntungan Inggris.
Bila menebak isi pikiran mereka, mungkin mereka berujar, "kenapa adu penalti selalu menggagalkan harapan Inggris untuk meraih kejayaan di Piala Eropa".
Ya, tidak sekali ini, Inggris merasakan nestapa ketika melakoni adu penalti di panggung Piala Eropa. Di lima edisi terakhir Piala Eropa, ketika empat kali Inggris tersingkir di babak gugur, tiga di antaranya kalah adu penalti.
Ya, sepanjang cerita penampilan di babak gugur Piala Eropa, Inggris tak pernah menang dalam adu penalti. Itu bermula di Wembley. Tahun 1996 silam.
Kala itu, Inggris bertemu Jerman di semifinal Piala Eropa 1996. Skor 1-1. Adu penalti. Hasilnya, Inggris kalah 5-6. Penendang terakhir yang membuat Inggris kalah adalah Gareth Southgate, sang pelatih Inggris sekarang.
Adu penalti yang menyebalkan itu kembali dirasakan Inggris di Euro 2004 di Portugal. Inggris tersingkir di perempat final usai kalah 5-6 (2-2) dari tuan rumah Portugal.
Sebelum final tadi pagi, Inggris pernah beradu penalti melawan Italia di perempat final Euro 2012 di Ukraina. Laga itu berakhir 0-0. Lalu, Inggris kalah adu penalti 2-4.
Ditambah final tadi pagi, Inggris berarti sudah empat kali kalah di babak adu penalti di Piala Eropa. Itu jadi penegas, Inggris belum bisa move on dari trauma kegagalan adu penalti di masa lalu.
Padahal, Inggris punya penendang penalti yang bagus di level klub. Namun, ketika di timnas, mereka seperti menanggung beban teramat berat sehingga seringkali gagal.
Padahal, publik Inggris sempat berharap Harry Maguire dan kawan-kawan sudah move on. Sebab, di Piala Dunia 2018 silam, Inggris bisa lho menang adu penalti. Mereka menang 4-3 (1-1) atas Kolombia di babak 16 besar.
Namun, Inggris rupanya baru bisa menang dari tim Amerika Latin. Mereka belum bisa mengalahkan tim Eropa di babak adu penalti.
Toh, meski gagal juara, Inggris tidak seharusnya patah hati. Fan Inggris harus bangga dengan pencapaian timnya. Sebab, tim asuhan Gareth Southgate ini sudah tampil luar biasa.Â
Hanya semesta yang belum memihak Inggris. Namun, dengan tim solid ini, Inggris bisa berbicara banyak di Piala Dunia 2022 mendatang.
"They have got to walk from here with heads held high. They've done more than any other team in the last 50 or so years. They should be incredibly proud of what they've done."
Dan, kami pun usil membalas foto kiriman tante dari Wembley dengan balasan, "Forza Italia, tante!". Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H