Dalam wawancara dengan media Italia, La Gazzetta dello Sport, Antonio Conte blak-blakan menyebut Italia akan mengalahkan Inggris di final Euro 2020, Minggu (11/7) malam waktu Eropa.
Conte menyebut Inggris memang akan didukung lebih banyak fan karena final digelar di Stadion Wembley di Kota London. Namun, dia menekankan Italia lebih tahu caranya mengadapi laga final dibandingkan Inggris.
"Kami memiliki lebih banyak pengalaman daripada mereka. Kami tahu apa artinya bermain final. Kami juga tahu bagaimana memenangkannya," ujar Conte dikutip dari Football Italia.
Conte juga menganalisis kelebihan dan kekurangan tim Inggris asuhan Gareth Southgate yang baru kemasukan satu gol dari enam penampilan di Euro 2020. Dia bahkan menyebut Inggris tidak sebaik Spanyol yang disingkirkan Italia di semifinal.
"Titik lemah Inggris adalah jika pertahanan mereka ditekan saat membangun dari belakang, mereka tidak sebaik Spanyol dalam menghindari tekanan," sambung pelatih berusia 51 tahun ini.
Ulasan dan prediksi Conte itu mungkin terdengar subyektif. Sebagai Italiano, jelas dia lebih mengunggulkan negaranya yang akan tampil sebagai juara Piala Eropa 2020. Justru akan aneh bila dia malah menjagokan Inggris.
Namun, dengan kapasitas pernah mencicipi iklim sepak bola Italia dan Inggris serta juga tampil di Piala Eropa sebagai pemain dan pelatih, prediksi Conte itu jelas bukan asal bunyi.
Conte yang pernah dua tahun melatih Chelsea (2016-18) dan meraih gelar Premier League, tentu sangat memahami gaya main pemain-pemain Inggris.
Dia juga paham seperti apa nuansa ketegangan laga babak gugur di Piala Eropa karena pernah melatih Italia di Piala Eropa 2016. Walau, Italia terhenti di babak perempat final usai kalah adu penalti dari Jerman.
Meski mengenal Conte hanya lewat media, saya mengamini pandangan dan prediksi mantan pelatih Inter Milan ini tentang duel Italia melawan Inggris di final Piala Eropa 2020 Minggu nanti.
Italia punya tiga faktor pembeda
Saya tahu, pemain-pemain Inggris akan sangat termotivasi tampil di final pertama mereka di Piala Eropa setelah menunggu lebih dari 50 tahun. Apalagi, mereka akan bermain di rumahnya sendiri.
Saya tahu, tim Inggris di Euro 2020 ini sangat kuat. Pertahanan mereka solid dan baru kemasukan satu gol. Lini penyerangan mereka juga menakutkan dengan mencetak 8 gol di babak gugur.
Namun, Italia yang juga belum terkalahkan, memiliki sedikitnya tiga keuntungan yang tidak dimiliki Inggris di final nanti.
Secara kualitas pemain, kedua tim mungkin berimbang. Secara head to head, rekor kedua tim juga cukup setara. Italia menang 10 kali dan Inggris menang 8 kali dari 27 perjumpaan.
Tapi, tiga keuntungan Italia itu sangat mungkin akan menjadi faktor pembeda di laga final yang akan dipimpin wasit asal Belanda, Bjorn Kuipers tersebut.
Apa saja?
Alasan pertama, Italia memiliki pelatih yang tahu sepak bola Inggris. Kita tahu, Pelatih Italia, Roberto Mancini (56 tahun) pernah cukup lama melatih di Inggris.
Mancini melatih Manchester City selama empat musim (2009/2013). Jauh sebelum City sukses seperti sekarang, Mancini-lah pelatih yang memberi gelar Premier League pertama bagi City di musim 2011/12. Sebelumnya, City juga dibawanya juara Piala FA 2010/11 dan menang di laga Community Shield 2012.
Mancini, sang mantan striker flamboyan ini juga pernah sebentar mencicipi Premier League sebagai pemain. Di awal tahun 2001, di usia 36 tahun, dia dipinjamkan oleh Lazio ke Leicester City.
Meski, Mancini hanya lima kali bermain, lantas kembali ke Italia. Tapi itu menjadi awal kecintaannya pada sepak bola Inggris sehingga kemudian melatih City.
Terkait gelar yang diraih Mancini bersama City, kita mungkin tergoda berkomentar nyinyir. Bahwa, apa susahnya juara di klub yang disokong dana melimpah seperti City sehingga diperkuat banyak pemain bintang.
Tapi, jauh sebelum melatih City, Mancini merupakan pelatih sukses. Baik di Lazio maupun Inter Milan. Bahkan, di tahun pertamanya melatih di Fiorentina, dia sukses membawa Fiorentina juara Coppa Italia 2000/01.
Sementara Pelatih Southgate belum pernah bermain di klub luar Inggris ataupun melatih di luar Inggris. Dia menghabiskan 16 tahun masa bermain di Inggris.
Meski begitu, Southgate tidak menganggap itu akan menjadi kendala besar. Baginya, untuk mengetahui "jeroannya" tim lawan, kini bisa dilakukan dengan melihat permainan mereka baik secara langsung maupun melalui video.
"Italia berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Kami terus memantau progres mereka. Kami tahu bagaimana cara mereka bermain," ujar Southgate dikutip dari web UEFA.
Pemain-pemain Italia tidak akan demam panggung
Alasan kedua, Italia memiliki pemain yang tahu dan mengenal langsung sepak bola Inggris. Di skuad Euro 2020 ini, ada dua pemain Italia yang bermain di Premier League. Yakni Jorginho dan Emerson. Keduanya bermain di Chelsea sejak tahun 2018.
Sementara Jorginho (29 tahun) tampil impresif di Euro 2020. Bersama Nicolo Barella dan Marco Veratti, dia jadi mesin penggerak permainan Italia. Jorginho juga jadi penentu kemenangan Italia atas Spanyol dalam adu penalti seperti yang saya ulas di tulisan ini Italia ke Final Usai Menang Adu Penalti, tapi Spanyol "Pemenang Sejati"
Tiga musim bermain di Liga Inggris jelas membuat Jorginho dan Emerson memahami karakter dan gaya main pemain-pemain Timnas Inggris. Utamanya gelandang Declan Rice dan Kalvin Phillips yang di final nanti akan menjadi lawan langsung di lini tengah.
Sementara tidak ada pemain Inggris di skuad Euro 2020 yang bermain di Liga Italia. Terakhir pemain top Inggris bermain di Serie A, ya eranya David Beckham (AC Milan) lebih sedekade silam.
Meski, ada pemain Inggris yang bermain di luar negeri. Yakni Kieran Trippier (Atletico Madrid/Spanyol) dan Jadon Sancho, Jude Bellingham (Borussia Dortmund/Jerman).
Alasan ketiga, seperti yang dikatakan Conte, Italia memang menang pengalaman daripada Inggris. Italia punya pemain yang pernah merasakan atmosfer final Piala Eropa.
Dua bek tengah Italia, Leonardo Bonucci (34 tahun) dan Giorgio Chiellini (36 tahun) ikut tampil di final Piala Eropa 2012. Meski, Italia kalah telak dari Spanyol di final tersebut.
Pengalaman Bonucci dan Chiellini yang pernah tampil di final itu akan berguna bagi Italia. Tidak hanya dalam mengatasi pressure laga final sehingga tidak demam panggung. Tapi, mereka juga bisa ngemong rekan-rekan setimnya yang masih muda dan baru bermain di Piala Eropa.
Meski tidak muda lagi, keduanya masih sulit dilewati. Faktanya, Italia baru kemasukan tiga gol. Satu di antaranya dari titik penalti saat melawan Belgia.
Setelah mampu meredam pemain-pemain seperti Burak Yilmaz, Xerdan Shaqiri, Gareth Bale, Kevin de Bruyne, Romelu Lukaku hingga Alvaro Morata, di final nanti ketangguhan mereka bakal diuji oleh Harry Kane dan Raheem Sterling.
"Ini akan menjadi duel yang sengit. Saya ingat, kami pernah bermain melawannya di Turin. Dia (Kane) membuat saya terkesan. Dia tahu bagaimana bermain deep dan lepas dari kawalan lawan. Dia bisa mencetak gol dengan kepala, jarak jauh dan dari dekat gawang," ujar Chiellini tentang duelnya melawan Kane nanti.
Toh, terlepas lebih berpengalaman tampil di final, Italia tidak selalu bernasib bagus di final Piala Eropa.
Faktanya, dari tiga kali ke final, hanya sekali mereka juara. Yakni di final pertama tahun 1968.
Lantas, Gli Azzurri bernasib apes di final Euro 2000. Unggul lebih dulu Marco Delvecchio, Prancis bisa menyamakan skor 1-1 di menit ke-94 lewat Sylvain Wiltord. Lantas, Italia kalah 1-2 lewat aturan golden goal.
Maksudnya, bila di masa perpanjangan waktu ada tim yang mencetak gol, laga bakal langsung selesai. Jadi tidak menunggu 2x15 seperti sekarang. Prancis mencetak gol kemenangan di masa extra time lewat David Trezeguet.
Lalu, di final Euro 2012, Italia di luar dugaan kalah telak 0-4 dari Spanyol. Beberapa pemain Italia seperti Mario Balotelli sampai menangis usai laga. Perihal final Euro 2012 ini, saya menulisnya Mengenang Dominasi Spanyol di Final Euro 2012, Kini Italia Punya "Faktor X"
Jadi, dengan gambaran tersebut, Italia memang punya keuntungan dan faktor pembeda saat berjumpa Inggris di final nanti. Meski, keuntungan itu tidak menjamin Italia akan juara.
Sebab, Inggris kini juga sedang bagus. Setelah berpuluh-puluh tahun merana, mereka kini sangat termotivasi untuk juara pertama kali di Piala Eropa. Apalagi, mereka tampil di rumah mereka sendiri. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H