Apa yang membuat kita jatuh cinta dengan sepak bola?
John Lancaster, novelis yang mengawali karier sebagai jurnalis olahraga, pernah menyebut sepak bola sebagai olahraga yang memiliki banyak keburukan.
"Tapi, ia sekaligus memiliki keindahan mendalam yang sulit dijelaskan," tulis Lancaster.
Dengan kata lain, misteri. Itulah keindahan mendalam dari sepak bola yang sulit dijelaskan. Dalam terminologi yang lebih akrab dengan sepak bola, kita menyebutnya kejutan.
Di panggung Piala Eropa 2020 ini, kita menemukan banyak kejutan.
Siapa menyangka, Denmark yang nyaris mati (baca tersingkir) kini sudah ada di perempat final. Begitu juga Swiss yang dianggap remeh oleh banyak orang, ternyata bisa memulangkan Prancis.
Kejutan-kejutan seperti itulah yang menyelamatkan sepak bola dari kecenderungan terkini yang dikeluhkan mendiang legenda Brasil, Socrates sebagai 'semakin mekanik'. Seakan-akan sepak bola hanya tentang statistik.
Andai sepak bola sampai kehilangan itu, alangkah membosankannya.
Tak ada lagi rasa penasaran jika tiap tim yang diunggulkan selalu menang. Tidak ada lagi ketegangan bila tim yang unggul ball possession selalu menjadi pemenang. Dunia bakal tidak mengenal sosok David. Hanya dijejali Goliath.
Dalam hal ini, kejutan Swiss ketika mengalahkan Prancis di babak 16 besar membuat Euro 2020 tidak hanya selesai di atas kertas ataupun di kanal youtube.
Betapa tidak, sebelum laga itu, banyak orang ingin Prancis menang. Banyak orang ingin melihat pertemuan Prancis melawan Spanyol di perempat final.
Tapi, Swiss memberi tahu kita, bahwa sepak bola tidak selesai di atas kertas ataupun di ranah obrolan prediksi. Kejutan itu masih ada. Swiss yang dianggap batu loncatan bagi Prancis, ternyata bisa memutarbalikkan semua prediksi.
Swiss sudah menanam tim sejak tahun 2011
Apakah Swiss hanya beruntung bisa mengalahkan Prancis?
Mungkin iya. Sebab, mereka menang adu penalti yang seringkali disebut sebagai adu peruntungan. Lotere.
Namun, bagaimana menjelaskan ketika Swiss mampu mencetak dua gol di dalam 15 menit terakhir untuk menyamakan ketertinggalan 1-3. Saya rasa itu bukan hanya keberuntungan.
Pendek kata, keberhasilan Swiss lolos ke perempat final bukan hanya karena keberuntungan. Bukan keajaiban. Tapi, mereka memang sudah menanam mimpi untuk sukses itu sejak lama.
Sebagai informasi, pemain-pemain pilar tim Swiss yang tampil di Euro 2020 merupakan 'jebolan' tim U-21 Swiss yang tampil sebagai finalis di Euro Under-21 pada 10 tahun silam.
Ada banyak pemain inti di Tim Swiss yang main di Euro 2020 yang merupakan alumni alias tampil di turnamen Euro U-21 2011 di tersebut.
Di antaranya kapten tim, Granit Xhaka, playmaker Xherdan Shaqiri, kiper Yann Sommer, Admir Mehmedi, dan Mario Gavranovic yang mencetak gol ketiga Swiss ke gawang Prancis.
Ya, Swiss telah menyiapkan tim ini sejak 10 tahun lalu. Xhaka dan kawan-kawan telah bermain bersama sejak mereka berusia belum genap 20 tahun. Kini, rata-rata usia mereka 28 tahun dan 29 tahun.
Tidak mengherankan, chemistry di antara mereka sudah terbangun. Mereka saling memahami satu sama lain. Paham kelebihan dan kekurangan temannya di lapangan sehingga saling mengisi.
Memang, selama itu, Swiss tidak selalu meraih hasil bagus di turnamen yang diikuti. Di Euro 2016 lalu, mereka terhenti di babak 16 besar. Swiss kalah adu penalti dari Polandia usia bermain 1-1.
Meski, Swiss sejatinya tidak pernah kalah. Mereka mengalahkan Albania 1-0, bermain 1-1 Â dengan Rumania dan menahan Prancis 0-0 di fase grup.
Tapi kini, kita bisa menyebut, di Euro 2020 inilah, Swiss akan memanen apa yang mereka tanam sejak lama?
Ya, setelah mengalahkan Prancis yang merupakan kemenangan pertama mereka di babak knock out Euro, Swiss kini memiliki motivasi berlipat-lipat.
Shaqiri dan kawan-kawannya kini berada dalam usia yang di sepak bola dianggap 'usia emas'. Xhaka kini berusia 28 tahun, Ricardo Rodriguez 28 tahun, Seferovic 29 tahun, Remo Freuler 29 tahun, begitu juga Shaqiri 29.
Bboleh jadi ini akan menjadi Euro terakhir bagi beberapa pemain Swiss. Yann Sommer kini berusia 32 tahun, Gavranovic 31 tahun, dan Admir Mehmedi 30 tahun.
Filosofi di sepak bola "now or never" bakal berlaku bagi Shaqiri dan kawan-kawanya. Sekarang (mencoba mengejar juara) atau tidak pernah sama sekali.
Bertemu Spanyol di perempat final
Menariknya, Swiss akan bertemu Spanyol di perempat final, Jumat (2/7) besok. Nostalgia laga final Piala Eropa U-21 2011 silam pun kembali menggema. Meski, situasinya sudah berbeda.
Bila di Swiss, alumni Euro U-21 2011 masih bermain bersama hingga kini, di tim Spanyol hanya sedikit yang tersisa. Yakni kiper David de Gea dan gelandang Thiago Alcantara.
Spanyol di era kepelatihan Luis Enrique memang menampilkan banyak wajah baru. Di Euro 2020, Enrique bahkan tidak membawa pemain dari Real Madrid.
Beberapa nama yang menonjol di Tim Spanyol sekarang ada Ferran Torres (21 tahun), Dani Olmo (23 tahun), Eric Garcia (20 tahun), kiper Unai Simon (24 tahun) hingga gelandang 18 tahun asal Barcelona, Pedro Gonzalez Lopez alias Pedri.
Enrique yang merupakan mantan pelatih Barcelona, membawa rasa Barcelona ke Tim Spanyol. Sergio Busquets (32 tahun) berduet dengan Pedri sebagai pengalir bola.
Hasilnya, Spanyol memang selalu unggul dalam penguasaan bola. Mereka memang sempat kesulitan mencetak dua gol di laga awal ketika bermain 0-0 melawan Swedia dan 1-1 dengan Polandia.
Namun, di dua laga terakhir, Spanyol 'meledak'. Mereka mencetak 10 gol: 5-0 atas Slovakia dan 5-3 atas Kroasia melalui perpanjangan waktu di babak 16 besar.Â
Atas dasar itu plus head to head dan pengalaman tampil di babak penting, Spanyol, sang juara Euro 2012 diunggulkan bakal menang atas Swiss.
Spanyol dan Swiss pernah bertemu 22 kali. Spanyol menang 16 kali. Sementara Swiss menang sekali. Tahun 2020 lalu, keduanya bertemu di UEFA Nations League. Spanyol menang 1-0 saat jadi tuan rumah dan bermain 1-1 di Swiss.
Tapi, sepak bola bukan sekadar "mantra" statistik, head to head, dan diunggulkan di atas kertas.
Siapa tahu, Swiss kembali tampil mengejutkan. Shaqiri dan kawan-kawannya bisa berujar, "bila Prancis yang skuadnya lebih bintang lima saja bisa kita pulangkan, kenapa tidak dengan Spanyol?".
Andai Swiss bisa bablas ke semifinal, tidak berlebihan bila kita berucap, "mereka sudah menanam lama, sekarang waktunya memanen". Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H