Saya berpikir, dia berarti tahu masalahnya. Juga tahu cara mengatasinya. Saya dan istri pun sepakat untuk menggunakan jasanya.
Selama sekitar seminggu, dia bersama anak buahnya membongkar saluran air dari dapur hingga depan rumah, mengubah desain dapur, mengganti keramik di dapur, sekaligus mengecat dindingnya.
Penilaian saya, dia tekun. Dia membuktikan bisa bekerja dengan baik. Datang tepat waktu. Selama bekerja tidak banyak ngobrol. Bahkan jarang memakan camilan yang kami sediakan. Palingan ngopi.
Orangnya juga komunikatif ketika diajak ngobrol perihal kerjaan dan material bangunan. Bisa diajak diskusi.
Dan yang paling penting, hasil pekerjaannya bagus. Rapi. Intinya, kami puas dengan hasil kerjanya. Kami jadi tidak berat hati mengeluarkan duit di masa pandemi karena memang mendesak.
Berkat 'branding' bagus, berlimpah orderan kerjaan
Sebulan kemudian, tetangga yang tahu kami baru saja merenovasi rumah, ketika hendak melakukan perbaikan rumah, dia menanyakan bagaimana kinerja tukang bangunan tersebut.
Saya jawab kerjanya bagus. Tetangga itu pun lantas meminta nomor kontak Whats App si tukang. Dikontak. Si tukang datang ke rumahnya. Deal. Dia pun sepakat memperkerjakan tukang itu untuk merenovasi rumahnya.
Akhir pekan kemarin, tetangga yang rumahnya berantakan setelah dikontrakkan dua tahun, juga menanyakan tukang yang bagus. Saya kasih nomor dia. Deal lagi. Tukang itu bekerja lagi.
Kenapa tukang bangunan itu berkelimpahan orderan kerja?
Saya memang membagikan nomornya kepada tetangga. Namun, dia mendapat order sejatinya bukan karena saya. Tetapi karena dia sendiri.