Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Andai Manchester United Meniru Strategi Adu Penalti Belanda di PD 2014

27 Mei 2021   13:51 Diperbarui: 27 Mei 2021   18:40 1943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain-pemain MU mencoba menghibur kiper David De Gea yang baru saja gagal mengesekusi penalti. Imbas dari kegagalan itu, Manchester United kalah adu penalti 10-11 (1-1) dari Villarreal di final Europa League, Kamis (27/5) dini hari tadi/Foto dari Twiiter ManUtd via KompasTV

Harry Maguire dan Marcus Rashford langsung mencopot medali yang dikalungkan Presiden UEFA, Aleksander Ceferin di podium juara. Bruno Fernandes malah enggan memakai medali itu. Dia hanya memeganginya sembari berjalan gontai.

Dalam hati, mereka mungkin berkata, buat apa memakai medali bila itu hanyalah penanda kekalahan di final. Itu sama saja dengan memperbesar rasa sakit hati.

Memang, dalam sepak bola, menang dan kalah itu sejatinya biasa saja. Cerita pertandingan memang seperti itu.

Namun, kekalahan di final itu memang menyakitkan. Berat untuk diterima. Sulit untuk menipu diri pura-pura legowo usai kalah di final.

Begitu besar kekecewaan yang dirasakan pemain-pemain Manchester United (MU) usai kalah di final Europa League 2020/21 dari tim Spanyol, Villarreal, di Gdansk, Polandia, Kamis (27/6) dini hari tadi.

MU kalah adu penalti 10-11 setelah bermain 1-1 di waktu normal dan hingga babak perpanjangan waktu. Villareal sempat unggul lewat gol Gerard Moreno di babak pertama. Lantas, Edinson Cavani menyamakan skor di awal babak kedua.

Ketika Cavani menyamakan skor, fans MU mungkin yakin timnya bakal bisa membalik skor. Come back. Bukankah musim ini, MU beberapa kali mampu melakukan come back setelah tertinggal? Namun, kali ini ceritanya berbeda. Tidak ada come back.

Tidak ada gol tambahan tercipta. Pemenang harus ditentukan lewat adu penalti. Siapa sangka, itu menjadi drama penalti paling menguras emosi yang pernah terjadi di final kompetisi Eropa. Betapa tidak, pemenang harus ditentukan oleh 11 penendang.

Penyesalan fans MU

Dan, usai pemain-pemain Villarreal merayakan gelar mengangkat trofi Piala Europa League, yang ada di kubu MU hanyalah penyesalan. Utamanya dari fans mereka.

Di akun Instagram resmi Manchester United, postingan yang mengabarkan hasil final Europa League bertuliskan narasi "The Reds are beaten on penalties", mendapat komentar lebih dari 52 ribu komentar. Komentarnya bermacam-macam. Ada yang menguatkan. Ada yang mencemooh.

Namun, ada banyak fans MU yang menyesali kekalahan di final itu. Macam-macam penyesalannya. Ada yang menyesali mengapa MU harus menyelesaikan laga dengan adu penalti. Mereka menganggap MU sejatinya bisa menang di waktu normal.

Sebab, di babak kedua, MU memang mampu menciptakan banyak peluang dibanding Villareal. Salah satunya di menit ke-69, Marcus Rashford mendapatkan peluang terbaik.

Menerima umpan sodoran Bruno Fernandes dari sisi kiri pertahanan Villarreal, Rashford sebenarnya tidak dikawal ketat oleh bek-bek lawan. Namun, dia gagal menyelesaikan peluang di depan gawang itu menjadi gol.

Beberapa fans juga menyesalkan mengapa pelatih Ole Gunnar Solskjaer tidak mengganti Rashford sehingga bermain 120 menit. Meski, Ole pastinya punya pertimbangan khusus. Sebab, Rashfrod merupakan salah satu penendang penalti andalan MU.

Ada pula fans yang menyesalkan keputusan Solskjaer yang dianggap terlambat melakukan perubahan/pergantian pemain. Sepanjang 90 menit, pelatih asal Norwegia ini sama sekali tidak mengganti pemain.

Ole baru mengganti pemain di menit ke-100, ketika menarik keluar Mason Greenwood dan memasukkan Fred. Empat pergantian bahkan terjadi di menit ke-116 dan 120+3 yang bagi sebagian fans itu sulit untuk dinalar.

Andai Ole meniru strategi adu penalti Van Gaal

Bicara pergantian pemain, salah satu penyesalan terbesar fans United adalan mengapa Solskjaer tidak mengganti kiper David De Gea dengan Dean Henderson untuk menghadapi adu penalti.

Pasalnya, Henderson, kiper muda (24 tahun) asal Inggris, disebut punya kemampuan lebih bagus dari De Gea dalam adu penalti.

Merujuk data projectfootballdotcom, rasio sukses De Gea dalam penalti hanyalah 17 persen. Sementara Henderson 42 persen. Data dari compellingfootballopinions bahkan menyebut De Gea tidak bisa melakukan penyelamata penalti dalam 36 kesempatan.

Fans MU mungkin mengandaikan Solskjaer bakal meniru apa yang dilakukan oleh Pelatih Timnas Belanda, Louis van Gaal di perempat final Piala Dunia 2014 silam.

Kita ingat, di perempat final Piala Dunia 2014 silam, Belanda bertemu Kosta Rika yang tampil mengejutkan. Skor 0-0 hingga babak perpanjangan waktu. Tidak ada gol.

Di menit ke-120, beberapa menit sebelum laga usai, Van Gaal menggunakan jatah pergantian pemain terakhir untuk menarik kiper Jasper Cillessen dan memasukkan Tim Krul. Tujuannya demi menghadapi adu penatlti.

Sebab, rasio sukses penalti Krul memang lebih bagus daripada Cillessen. Meski, Cillessen kiper utama. Van Gaal percaya dengan data itu.

Yang terjadi, Belanda akhirnya menang 4-3 dengan Krul tampil sebagai pahlawan. Dia menepis dua penalti dan bisa membaca semua arah tendangan pemain Kosta Rika.

Namun, Solskjaer rupanya tidak mau meniru sukses Van Gaal pendahulunya yang pernah melatih MU itu. Dia tetap percaya dengan De Gea untuk tampil di adu penati.

Memang, penalti itu terkadang soal luck. Keberuntungan. Namun, jangan lupakan data. Utamanya data perihal kemampuan kiper dan juga para penendang penalti.

Dan yang terjadi, De Gea, kiper asal Spanyol berusia 30 tahun ini sama sekali tidak mampu menepis bola. Dari 11 penendang penalti Villarreal, De Gea hanya bisa dua atau tiga kali tepat membaca arah bola.

Terlepas, pemain-pemain Villareal memang sangat percaya diri. Arah sepakan penalti mereka presisi. Mereka bisa mengecoh De Gea dan membuatnya menjatuhkan badan ke tempat yang salah.

Sebaliknya, kiper Villarreal, Geronimo Rulli, justru beberapa kali mampu membaca arah bola tendangan penalti pemain MU. Bahkan, dia sempat menyentuh bola sepakan Bruno Fernandes yang notabene spesialis penalti. Termasuk juga sepakan Fred, dan Luke Shaw. Namun, bola masih masuk ke gawang.

Hingga, ketika skor 10-10, setelah semua pemain menendang bola dan masuk. Giliran kiper yang menendang bola.

Rulli, kiper asal Argentina berusia 29 tahun, sukses menendang bola ke pojok atas kiri gawang MU. Lantas, giliran De Gea, dia mengarahkan bola ke arah yang sama.

Sayangnya, tendangan penalti De Gea yang menyusur tanah, bisa dibaca dan lantas ditepis oleh Rulli. Villarreal pun menang adu penalti 11-10.

Gelar pertama Villarreal, MU puasa gelar empat musim

Villarreal layak berpesta. Saking senangnya, ketika pengalungan medali, beberapa pemain Villarreal mencium trofi ataupun berfoto selfie dengan latar trofi Piala Europa League.

Ya, sebagai tim yang sangat jarang main di final, Villarreal layak bereuforia. Bayangkan, ini merupakan gelar pertama bagi Villarreal dalam rentang 98 tahun atau sejak klub ini berdiri pada 1923 silam. Mereka juga mendapat 'bonus' lolos ke Liga Champions dengan status juara Europa League.

Dan, gelar ini tidak lepas dari jasa sang pelatih Villarreal, Unai Emery. Dia menegaskan sebagai pelatih spesialis Europa League. Dia sudah juara empat kali dari lima kesempatan tampil di final.

Tiga juara sebelumnya diraihnya Emery bersama Sevilla. Hanya sekali, Emery gagal di final ketika melatih Arsenal di final edisi 2019. Saat itu, Arsenal dikalahkan Chelsea.

Sementara bagi MU, kegagalan menjadi juara membuat mereka kini puasa gelar selama empat musim. Kali terakhir MU meraih trofi saat juara Europa League di musim 2016/17.

Pelatih MU, Ole Solskjaer juga gagal meraih trofi pertamanya sebagai pelatih United. Padahal, sebelum laga, Solskjaer menganggap final ini akan jadi batu pijakan MU menyongsong masa depan yang hebat.

Namun, apa mau di kata. MU gagal. Tidak ada piala yang bisa dibawa pulang. Hanya medali runner-up yang bahkan tidak mampu menjadi pelipur lara bagi para pemain MU.

Toh, meski gagal meraih trofi di musim ini, bukan 'kiamat' bagi MU. Apalagi, musim ini, MU sejatinya tampil bagus di Premier League. Bilapun ada penyesalan, mengapa mereka tidak langsung tancap gas di awal musim.

Dan, apapun itu fans sejati MU pasti tidak akan mencemooh ataupun berpaling dari timnya. Apalagi membenci De Gea atau menghina rasis Rashford karena penampilannya di final dini hari tadi. "Mati Urip MU". begitu kata kawan fans MU sejati. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun