Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Tak Perlu Baper Bila Dijodohkan, Anggap Saja Nambah Teman

21 Mei 2021   11:00 Diperbarui: 21 Mei 2021   11:11 2120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bila dijodohkan, tak perlu baper. Anggap saja kesempatan untuk menambah teman/Foto: Xinhua/Tribunnews.com

Tidak sedikit orang yang memutuskan untuk menikah karena tuntutan usia. Bila usianya sudah mendekati kepala tiga, banyak yang merasa sudah tua sehingga harus segera menikah.

Banyak kawan yang ketika berusia mendekati atau sudah lebih 30 tahun tetapi masih single alias belum ada pasangan, merasa sudah telat untuk menikah.

Sebab, bila tidak kunjung menikah, selain harus kuat mental menerima kucuran pertanyan "kapan nikah", juga harus bersiap mendapat tawaran perjodohan. Dijodohkan. Entah dijodohkan oleh orang tua, saudara, kawan dekat, ataupun rekan kerja.

Situasi seperti itu pernah saya alami ketika dulu masih bekerja di 'pabrik koran'. Sekira 12 tahun lalu. Kala itu, di usia 28 tahun, saya masih belum punya pasangan--untuk tidak menyebut jomblo.

Tentu saja, sebagai lelaki normal, sudah bekerja, punya penghasilan tetap bulanan, dan merasa sudah siap, saya ingin segera punya pasangan.

Usaha sudah dilakukan. Sudah beberapa kali melakukan pendekatan. Dari mendekati anak marketing di kantor, hingga sempat dekat dengan rekan kerja beda perusahaan. Namun, akhir ceritanya nggak happy ending.

Dijodohkan rekan kerja, dikenalkan dengan kenalannya

Nah, mungkin karena merasa iba melihat saya masih jomblo, ada ibu bagian sekretaris di kantor dulu yang lantas menawari saya untuk dikenalkan pada adiknya temannya.

Saya tidak tahu kenapa kok saya yang ditawari untuk dicomblangi. Padahal, di kantor kala itu, saya sebenarnya bukan jomblo satu-satunya.

Seingat saya, masih ada beberapa 'tukang nulis' di pabrik koran tersebut yang masih berstatus single. Malah ada yang usianya beberapa tahun lebih tua daripada saya tapi belum menikah.

Tapi, mungkin karena ibu sekretaris itu cukup sering mengobrol dengan saya. Merasa kenal dengan saya. Lantas, mencoba menawarkan bantuan agar saya bisa menemukan jodoh.

"Mas, apa mau saya kenalkan dengan adiknya temanku. Siapa tahu cocok dengan sampean," ujar ibu sekretaris itu.

Dia lantas memberitahu 'curricuum vitae' anak gadis yang akan dikenalkan kepada saya itu. Diberitahu pekerjaannya apa. Diberitahu rumahnya di mana. Lulusan kampus mana. Bla...bla...bla.

Malah, ibu sekretaris di kantor ini juga membumbui tawaran perjodohan itu. Dia menyebut bahwa dirinya sudah teruji sebagai mak comblang yang handal. Sebab, dia sudah pernah sukses menjodohkan temannya.

"Aku dulu pernah comblangin temenku, mas. Ternyata cocok. Mereka berjodoh. Siapa tahu, sampean juga cocok," imbuh si ibu sekretaris, sejauh yang bisa saya ingat.

Saya akhirnya mengiyakan tawaran untuk dijodohkan. Lebih tepatnya dikenalkan dengan seseorang. Kenapa kok mau?

Saya mengiyakan bukan karena tergiur status bu sekretaris itu sebagai mak comblang handal. Juga bukan karena merasa tidak enak dengan ibu itu yang sudah berupaya berbuat baik.

Bukan pula karena saya merasa umur sudah mendekati 30 tahun sehingga harus segera menikah. Sebab, saya meyakini keputusan menikah itu bukan karena terdesak usia. Namun, sudah siap lahir batin dan telah menemukan calon pendamping yang dicari.

Saya juga tidak terbawa perasaan (baper) semisal merasa 'direndahkan' karena dijodohkan. Sebab, bagi sebagian orang, dijodohkan dianggap sebagai 'pelecehan' karena merasa orang yang menjodohkan itu menganggap dirinya 'nggak laku-laku'. Ada perasaan gengsi.

Alasan saya tidak menolak tawaran 'dijodohkan' itu lebih karena berpikir tidak ada salahnya bila diterima.

Maksudnya, dengan menerima tawaran dikenalkan dengan orang baru, saya beranggapan minimal akan mendapatkan teman baru. Tidak ada salahnya kan menambah teman.

Prinsip saya, hubungan diawali dengan berteman dulu. Kalau memang ternyata selama berteman itu merasa sejiwa dalam memahami hidup, setara semangatnya dalam menjalani hidup, bisa berlanjut ke fase yang lebih serius.

Dalam hal ini, bukankah ada banyak pasangan menikah yang pernikahannya awet, dimulai dari sebuah pertemanan?

Jodoh itu rahasia Tuhan, hanya bisa diusahakan, tapi tidak dipaksakan

Nah, karena memang mau berteman, saya lantas datang ke rumahnya si mbak yang akan dikenalkan kepada saya itu. Bila tidak salah ingat, saya ke sana ketika beberapa hari setelah Lebaran.

Kebetulan, dari informasi yang saya terima, rumahnya searah jalur dengan rute perjalanan ke tempat kerja. Jadi, ketika akan berangkat ke kantor, saya memutuskan untuk mampir ke rumahnya.

Berbekal 'peta lokasi' sederhana hanya dari omongan, setelah mencari dan bertanya ke beberapa orang, akhirnya ketemu rumahnya.

Setelah menyampaikan salam, lantas bertemu dengan anaknya. Bahkan, juga ditemui kakaknya. Rupanya dia sudah mendapat pemberitahuan dari bu sekretaris di kantor bahwa saya akan ke rumahnya.

Kami mengobrol di ruang tamu. Obrolan itu sesekali 'terganggu' oleh adanya pembeli yang mendadak muncul. Gadis itu memang memiliki toko kecil di depan rumahnya.

Seingat saya, tidak lama saya berada di rumah gadis yang dikenalkan teman kantor itu. Mengobrol. Lantas, bertukar nomor telepon yang gawainya kala itu hanya bisa untuk telepon dan berkirim pesan singkat (SMS). Tidak bisa untuk berfoto atau bikin video. Apalagi di-upload ke Instagram seperti sekarang.

Singkat cerita, upaya perjodohan dari ibu sekretariat di kantor itu tidak berhasil. Dalam arti, perkenalan saya dengan gadis itu tidak berlanjut ke tahapan yang lebih serius.

Urusan hati seperti itu memang tidak bisa dipaksakan. Hanya bisa dibukakan jalan. Semisal dikenalkan. Namun, perkara berlanjut atau tidak, ada beberapa alasan yang menyertai.

Tapi yang jelas, saya tidak menganggap ibu di kantor itu gagal memerankan peran mak comblang. Dia berhasil. Minimal, dia mengenalkan kepada saya seorang kawan baru.

Alhamdulillah, Lebaran setahun kemudian, tanpa dijodohkan, saya bisa menemukan calon pasangan yang lantas berjodoh. Pasangan terbaik. Kini, kami sudah 10 tahun berumah tangga. Dari berdua kini berempat.

Perihal jodoh ini, saya sepakat bahwa jodoh itu memang rahasia Sang Pemilik Kehidupan. Kita tidak pernah tahu bagaimana kelak jalan ceritanya.

Teman hidup saya ternyata dulunya teman kuliah saya . Dulu semasa di kampus, kami satu jurusan. Bahkan pernah satu kelas. Tapi, pertemanan kami kala itu biasa saja.

Takdir dari Yang Maha Mengatur Hidup kemudian kembali mempertemukan kami. Dalam situasi yang lebih baik. Tapi saya percaya satu hal, mencari jodoh dan menikah itu bisa dimulai dengan pertemanan. Salam.      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun