"Mas, apa mau saya kenalkan dengan adiknya temanku. Siapa tahu cocok dengan sampean," ujar ibu sekretaris itu.
Dia lantas memberitahu 'curricuum vitae' anak gadis yang akan dikenalkan kepada saya itu. Diberitahu pekerjaannya apa. Diberitahu rumahnya di mana. Lulusan kampus mana. Bla...bla...bla.
Malah, ibu sekretaris di kantor ini juga membumbui tawaran perjodohan itu. Dia menyebut bahwa dirinya sudah teruji sebagai mak comblang yang handal. Sebab, dia sudah pernah sukses menjodohkan temannya.
"Aku dulu pernah comblangin temenku, mas. Ternyata cocok. Mereka berjodoh. Siapa tahu, sampean juga cocok," imbuh si ibu sekretaris, sejauh yang bisa saya ingat.
Saya akhirnya mengiyakan tawaran untuk dijodohkan. Lebih tepatnya dikenalkan dengan seseorang. Kenapa kok mau?
Saya mengiyakan bukan karena tergiur status bu sekretaris itu sebagai mak comblang handal. Juga bukan karena merasa tidak enak dengan ibu itu yang sudah berupaya berbuat baik.
Bukan pula karena saya merasa umur sudah mendekati 30 tahun sehingga harus segera menikah. Sebab, saya meyakini keputusan menikah itu bukan karena terdesak usia. Namun, sudah siap lahir batin dan telah menemukan calon pendamping yang dicari.
Saya juga tidak terbawa perasaan (baper) semisal merasa 'direndahkan' karena dijodohkan. Sebab, bagi sebagian orang, dijodohkan dianggap sebagai 'pelecehan' karena merasa orang yang menjodohkan itu menganggap dirinya 'nggak laku-laku'. Ada perasaan gengsi.
Alasan saya tidak menolak tawaran 'dijodohkan' itu lebih karena berpikir tidak ada salahnya bila diterima.
Maksudnya, dengan menerima tawaran dikenalkan dengan orang baru, saya beranggapan minimal akan mendapatkan teman baru. Tidak ada salahnya kan menambah teman.
Prinsip saya, hubungan diawali dengan berteman dulu. Kalau memang ternyata selama berteman itu merasa sejiwa dalam memahami hidup, setara semangatnya dalam menjalani hidup, bisa berlanjut ke fase yang lebih serius.