Kini, ketika pemasukan sudah mulai mengalir lancar, sikap bijak dalam pengeluaran itu seharusnya dipertahankan. Bukan malah dilupakan karena merasa situasi keuangan sudah 'aman'.
Bukankah sudah menjadi rahasia umum, ketika puasa yang seharusnya orang bisa lebih berhemat karena tidak makan-minum sejak pagi hingga waktu berbuka, ternyata berlaku sebaliknya. Sebab, setelah Maghrib, banyak orang yang lantas 'balas dendam' dalam melakukan pengeluaran untuk belanja kebutuhan.
Berbagi meski masih pandemi, wujud syukur di bulan Ramadan
Bicara syukur, saya bersyukur dihadiahi pasangan hidup yang punya semangat sama dalam menjalani hidup. Bersama dia, mudah mengatakan "pandemi ini dijalani saja".
Padahal, sebagai 'bukan pekerja kantoran', saya pernah ikut merasakan dampak pandemi ini. Luar biasa dampaknya. Pekerjaan utama sempat tak tentu arah.
Tapi, kami melewatinya dengan santai saja. Malah banyak ketawanya. Nggak stress. Nggak bingung.
Prinsipnya, kami punya pemahaman yang sama dalam memaknai bahagia. Untuk bahagia nggak perlu ribet. Sederhana saja.
Apa yang bisa dilakukan ya dilakukan. Tak lupa, mensyukuri hal-hal kecil yang kami dapat. Semisal anak-anak sehat. Atau ada fee menulis berapapun ya disyukuri. Dinikmati.
Istri pernah menawarkan diri untuk 'membantu'. Padahal, dia sudah cukup lelah dengan urusan belajar daring dua bocah. Saya bilang, cukup dibantu dibanyakin doa saja. Urusan kerja biar saya saja.
Dan memang, Gusti Allah mboten sare. Dia tidak pernah ingkar janji. Banyak syukur, nikmat akan ditambah. Banyak doa, rezeki besar datang tanpa disangka.
Saya pun tak pernah mengira, di masa pandemi ini, 'kran rezeki' mendadak mengalir lebih deras. Bisa jadi, doa-doa istri saya yang jadi perantara terbukanya 'pintu langit'.