Jangankan ada THR, fee gaji menulis bulanan macet. Telat dibayar. Termasuk job mengisi pelatihan yang biasanya lumayan ramai, mendadak sepi. Semuanya terdampak Covid-19.
Suasana menyambut Lebaran yang biasanya buncah oleh kegembiraan, mendadak berubah jadi keprihatinan. Kalau kata orang Suroboyo, "riyoyo gak nggoreng kopi" sebagai satire atas keprihatinan.
Pandemi mengajari kita untuk lebih bersyukur
Namun, meski pandemi ini menyebalkan, ia mengajari kita satu hal. Ya, pandemi mengajari kita untuk lebih bersyukur.
Bahwa, di bulan Ramadan kali ini, meski masih dalam situasi pandemi, kita bisa move on dari tahun lalu. Tidak perlu lagi banyak mengeluh. Yang perlu diperbanyak adalah bersyukur.
Memang, ada saja hal yang menggoda kita untuk mengeluh. Namun, ada lebih banyak hal yang sebenarnya bisa disyukuri.
Bukan hanya mensyukuri yang didapat. Tapi, lebih penting untuk mensyukuri apa yang kita punya.
Ya, Ramadan kali ini harus diisi dengan banyak bersyukur. Semisal beribadah. Kita bersyukur kembali bisa beribadah di masjid.
Namun, kita tentu tidak ingin rasa syukur itu berubah menjadi lara. Karenanya, protokol kesehatan harus tetap dijalankan.
Di masjid perumahan saya pun begitu. Meski tren sebaran Covid di Sidoarjo sudah menurun, kami mewajibkan jemaah memakai masker, menjaga jarak, berwudhu sejak dari rumah, serta mengimbau warga yang kurang enak badan agar beribadah di rumah.
Ramadan tahun lalu juga mengajari kita tentang pentingnya memiliki prioritas dalam pengeluaran. Kita tidak sembarangan mengeluarkan uang karena merasa pemasukan sedang seret. Kita hanya mau keluar duit untuk hal-hal yang memang penting dan dibutuhkan.