Memang ada profesi seperti itu?
Ada. Lebih tepatnya pernah ada. Namanya pernah ada, sekarang sudah tidak ada lagi. Tinggal kenangan saja. Utamanya di tempat tinggal saya. Entah bila di daerah lain masih ada.
Ya, puluhan tahun silam, ketika bulan puasa Ramadan tiba, profesi 'joki es batu' ini memang pernah jadi primadona di tempat tinggal saya. Di sebuah kampung di Sidoarjo.
Kala itu, sekira akhir tahun 80-an. Saya masih kelas 3 SD. Namun, meski sudah tiga dekade silam, kenangan akan joki es batu itu tidak luntur sampai sekarang.
Profesi ini dijalankan oleh perempuan. Ibu-ibu. Ketika sore menjelang berbuka puasa, sembari membawa sepeda pancal dan tas kantong plastik besar berwarna merah, dia berkeliling ke rumah-rumah warga di wilayah RT saya.
Dia datangi rumah-rumah warga. Kepada ibu-ibu, dia menawarkan jasa membelikan es batu di kampung sebelah. Ada yang nitip dibelikan es batu 50 rupiah. Ada yang 100 rupiah. Ada yang lebih.
Namanya menawarkan jasa, tentu mendapat upah. Biasanya, ibu-ibu yang menitip dibelikan es batu itu memberi kelebihan duit. Meski jumlahnya tidak banyak.
Setelah menerima 'pesanan', si ibu joki es batu ini bakal langsung mengayuh sepedanya. Menantang jalanan menanjak jembatan layang (di atas jalan tol) yang sudah berdiri sejak tahun 80-an.
Maklum, tempat berjualan es batu memang ada di kampung sebelah. Karenanya, tidak semua orang mau membelinya sendiri. Mereka memilih memakai jasa ibu joki es batu tersebut.
Pikir mereka, lebih baik menitipkan duit, lantas menunggu di rumah. Sembari menyiapkan teh atau memotong janggelan/cincau yang dibeli di pasar.