Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Haru Imam Darto dan Pelajaran Menyikapi "Positif"

15 Februari 2021   15:03 Diperbarui: 17 Februari 2021   20:14 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari cerita Imam Darto, kita bisa bercermin dan mendapat pelajaran tentang hidup. Foto: Kompas.com

LEWAT beberapa postingan di akun Instagramnya, presenter Imam Darto mengabarkan bila dirinya dan putranya terpapar Covid-19. Mereka melakukan isolasi mandiri.

Beda dengan kebanyakan orang, entertainer yang saya tahu lewat sebuah acara di NET TV ini 'mengemas' kabar itu dengan postingan yang seperti 'mengiris bawang'. Bikin nangis.

Beberapa postingan Darto memang mengharukan. Utamanya bagi kita yang sudah memiliki anak, pasti ikut merasakan.

Meski tidak mengalami, kita bisa ikut merasakan langsung yang dialami Darto dan putranya.

Melihat video yang dipostingnya tersebut, kita yang bahkan tidak mengenal Imam Darto bisa ikut baper.

Saya yang kebetulan men-follow Pak Darto di Instagram, tercenung ketika tahu postingannya tiga hari lalu. Di postingan itu, dia memberi judul "Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya".

Isinya tentang percakapan Darto dengan anaknya perihal Covid-19. Dia mengawali dengan perkataan begini: "Ada sebuah pertanyaan dari si anak pintar".

Putranya lantas bercakap, "Kan, kita kan nggak boleh nyakitin orang, tapi Allah kok nyakitin kita (lewat Corona). Kan Corona, kan dari ciptaan Allah".

Darto lantas menjawab pertanyaan polos putranya itu dengan jawaban yang sungguh super keren. Begini.

"Memang, Corona itu ciptaan Allah. Tapi, bukan tujuannya untuk menyakiti. (Tapi) sebagai ujian. Kamu tahu ujian?," ucap Pak Darto. "Kayak challenge" (jawab putranya).

Dia melanjutkan.

"Yak, kita di-challenge sama Allah. Kamu dengan Corona ini, kuat apa enggak. Sabar apa enggak. Apakah dengan Corona ini, kamu malah jadi orang yang suka marah-marah. Semuanya disalah-salahin. Nyalahin orang-orang. Nyalahin Allah. Atau, kamu jadi orang yang sabar.

"Oh ya udah, berarti saya lagi dikasih challenge, saya harus sabar".

"Dan, yang dikasih challenge bukan cuma kita. Siapa lagi coba?"

"Yang dikasih challenge, orang-orang yang sayang kita. Mereka juga, sabar nggak menghadapi kita. Buktinya, banyak banget yang sayang. Kita dapat kiriman makanan banyak banget, Dapat kiriman obat. Nanyain kabar. Ditelpon. Di video call. Justru, Kita dikasih lihat sama Allah, begitu banyak orang yang sayang sama kita".

"Jadi, udah jelas kan alasannya?". "Udah", jawab sang anak.

Saya mendengarkan percapakan bapak-anak itu dengan haru. Memutarnya beberapa kali. Sembari mendoakan keduanya segera kembali sehat. Segera berkumpul dengan keluarga.

Ternyata, di beberapa media daring, percakapan Darto dan anaknya itu sudah menjadi berita. Tidak sulit menemukan beritanya ketika mencarinya lewat kolom pencarian Google.

Di postingan berikutnya, Pak Darto memposting postingan 'nano-nano' yang ramai rasanya.

Perihal betapa gembiranya putranya yang akhirnya, di hari ke-10 setelah swab, hasilnya negatif.

"Sementara bapaknya belum keluar hasilnya. Gapapa, yang penting anaknya aja dulu. Alhamdulillah," tulisnya.

Beberapa jam kemudian, Darto mengunggah postingan ketiga. Postingan inilah yang benar-benar mengandung 'irisan bawang'. Ketika mengabarkan kepada anak dan istrinya bila dirinya masih positif.

Saya langsung ikut sedih ketika melihat putranya yang di awal video call wajahnya terlihat gembira, mendadak bersedih begitu diberitahu bapaknya masih positif. Dia Menangis.

Meski tidak mengalami situasi yang dialami Darto, tapi sebagai bapak dari seorang bocah lanang, saya ikut merasakan.

Kurang haru apa coba, seorang bapak ketika mengabarkan kabar seperti itu kepada putranya yang sangat berharap bisa segera berkumpul bersama.

Tapi memang benar kata Darto. Bahwa, Coona ini challenge. Bukan hanya challenge untuk dirinya dan keluarganya. Tapi juga orang-orang yang menyayangi mereka. Dan terbukti. Banyak orang menyayangi mereka.

Postingan itu mendapat 1000 lebih komentar. Ada banyak orang terkenal. Seperti Indy Barends, Baim, Tya Ariestya, Cella gitaris Kotak, Komika Indra Jegel dan banyak lagi.

Semuanya mendoakan yang terbaik. Mendoakan Darto segera sembuh. Kembali sehat. Kembali berkumpul dengan keluarga.

Teringat cerita pilu seorang kawan penyintas Covid-19

Menengok cerita Darto yang mengharukan tu, saya teringat cerita seorang kawan yang juga penyintas Covid-19. Ceritanya malah lebih pilu.

Bulan lalu, ketika mengobrol dengannya via WA call, dia bercerita. Ketika istrinya melahirkan anak ketiga mereka di akhir tahun lalu. Usai melahirkan, istri dan bayinya diisolasi. Sementara dirinya juga terpapar positif.

Dia bahkan belum sempat menengok langsung anaknya. Hanya bisa mengadzani lewat video call. Sementara dua anaknya, terpaksa dititipkan ke rumah orang tua.

Setelah dinyatakan sembuh, ujian untuknya belum usai. Stigma buruk di masyarakat sebagai orang yang terpapar Covid itu ternyata memang ada.

Beberapa tetangganya menjauhi dirinya. Usaha laundry rumahan yang dibukanya untuk menambah pendapatan, terpaksa tutup sementara waktu.

"Waktu itu, tetangga ketika tahu saya keluar rumah, langsung menjauh. Seolah takut dengan saya. Laundry pun terpaksa saya tutup," ujarnya saat bercerita via telepon.

Alhamdulillah. Gusti Allah Mboten Sareh. Tuhan Tidak Tidur. Seiring waktu, kehidupan kawan saya itupun kembali normal. Perlahan, tetangganya bisa menerimanya. Usaha laundry-nya juga kembali buka.

"Karena sekarang kerja di rumah, apapun saya lakukan mas. Yang penting ada pemasukan untuk keluarga," ujarnya.

Dari kisah Imam Darto dan kawan saya itu, kita sungguh bisa bercermin. Kita, termasuk saya.

Bahwa, selama ini, kita mungkin mudah mengeluh karena hal-hal receh. Semisal hanya karena macet di jalan atau mengantre di SPBU, marah. Atau karena gawai baru belum bisa terbeli imbas adanya penyesuaian gaji di tempat kerja.

Padahal, pandemi yang sudah berlangsung setahun ini seharusnya mengubah pendekatan kita dalam menyikapi hidup.

Bahwa, ada banyak hal yang patut kita syukuri. Bersyukur bukan hanya tentang apa yang bisa kita dapat. Tapi juga mensyukuri yang kita miliki. Termasuk keluarga sehat itu harus disyukuri. Semoga semuanya seger waras. Dan yang sedang sakit segera sembuh. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun