Lalu, mengapa Praveen/Melati hanya bisa meraih 3 poin saja?
Jawabannya bisa kita dapat dari flash back ke final All England Open 2020 pada Maret lalu.
Kita masih ingat, di final turnamen terakhir yang digelar sebelum adanya pandemi tersebut, Praven/Melati bertemu Dechapol/Sapsiree di final ganda campuran.
Praveen/Melati akhirnya juara All England 2020 setelah menang rubber game, 21-15, 17-21, 21-8. Itu salah satu penampilan terbaik mereka di turnamen BWF World Tour.
Nah, kekalahan di final All England itu rupanya benar-benar dipelajari oleh Dechapol/Sapsire. Mereka mengevaluasi penampilan mereka dan juga lawan. Mungkin mereka melakukan itu berbulan-bulan.
Hasilnya, di final Thailand Open siang tadi, mereka benar-benar siap menghadapi Praveen/Melati. Mereka mampu membuat Praveen/Melati tidak mampu mengembangkan permainan.
Tahu Praveen memiliki smash berbahaya, Dechapol dan Sapsiree sangat jarang mengangkat shuttlecock. Sebaliknya, mereka lebih sering memainkan bola flat dan mengajak Praveen/Melati bermain cepat.
Cara main Dechapol/Sapsiree ini berbeda dibandingkan ketika mereka tampil di final All England. Kala itu, Praveen leluasa melakukan smash karena mendapatkan bola-bola matang. Karenanya, Praveen/Melati bahkan unggul 21-8 di game yang membawa mereka juara.
Cara main yang berbeda itulah yang menjadi faktor pertama penentu kemenangan ganda Thailand ini. Faktanya, sepanjang game pertama, sangat jarang Praveen mendapatkan smash yang menjadi senjata utamanya untuk mendapatkan poin.
Dechapol/Sapsiree unggul nyaman, 11-3 di interval pertama. Lantas, di interval kedua, Praveen/Melati bahkan tidak mendapat poin sama sekali.
Selain itu, pertahanan Dechapol/Sapsiree juga sedang bagus-bagusnya. Meski Praveen dan Melati mendapatkan kesempatan smash, tetapi mereka tidak mudah mati. Ini faktor kedua.