Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersyukur, Rumput Tetangga (Tidak) Selalu Lebih Hijau

25 September 2020   06:37 Diperbarui: 25 September 2020   07:20 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumput tetangga tidak selalu lebih hijau. Kita sendiri yang membuat gambaran bahwa rumput tetangga lebih hijau atau tidak. Kuncinya adalah pandai mensyukuri yang kita miliki/Foto: seruni.id

Rumput tetangga selalu lebih hijau.

Begitulah pepatah yang sering diungkapkan untuk menunjukkan perasaan rendah diri ketika melihat apa yang dimiliki orang lain. Bahwa, kita sering diperdaya pikiran karena menganggap apa yang dimiliki oleh tetangga, lebih baik dari apa yang kita miliki.

Pepatah itu juga menjadi cerminan, betapa ada banyak manusia yang memang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Selalu merasa kurang. Selalu melihat kelebihan orang lain tanpa pernah melihat kenikmatan pada dirinya.

Benarkah rumput tetangga selalu lebih hijau?

Sekadar bercerita, hari Minggu yang lalu, saya bertamu ke rumah seorang kawan. Tetangga di perumahan sebelah. Dia juga teman lama semasa dulu sama-sama menjadi jurnalis.

Saya kaget begitu dia bercerita baru saja menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari media tempatnya bekerja. Meski, saya sudah pernah mendengar kabar bila situasi di media tersebut memang sedang kurang bagus di masa pandemi ini.

Namun, saya tidak menyangka, kawan yang usianya belum genap berusia 40 tahun itu juga ikut dirumahkan. Apalagi, dia juga termasuk 'wartawan andalan' di medianya.

Tetapi memang, jurnalis alias wartawan menjadi salah satu profesi yang sangat terdampak oleh pandemi Covid-19 ini.

Mereka rentan terpapar Covid-19. Tugas yang mengharuskan mereka turun ke lapangan, bertemu banyak orang, lalu melakukan wawancara dengan berbagai narasumber dari beragam latar belakang, menjadi pemicunya.

Ada banyak tautan berita di media massa maupun media sosial yang memberitakan kabar ada banyak wartawan yang terpapar Covid-19. Bahkan ada yang sampai meninggal.

Melansir dari Kompas.com. dalam diskusi yang digelar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di BNPB pada akhir Agustus lalu, Kepala Bidang Kerja Sama dan Multimedia Direktorat Program dan Produksi LPP RRI Johanes Eko Prayitno menyebut reporter adalah kelompok yang rentan terhadap Covid-19 dikarenakan mobilitasnya tinggi (sumber: https://nasional.kompas.com/read/2020/09/01/09065241/cerita-perusahaan-media-yang-tak-bisa-wfh-dan-curhat-wartawan-di-tengah?page=1).

Tidak hanya rentan terpapar Covid-19, para awak media juga ikut terdampak secara ekonomi seiring industri media yang terseok-seok di tengah pandemi. Ada banyak media yang tengah 'sakit' kondisi finansialnya.

Beberapa kawan berkeluh kesah perihal upah mereka yang dipotong alias tidak lagi dibayarkan penuh seperti dulu. Ada yang dirumahkan sehingga sehingga terpaksa "banting setir" dengan berjualan nasi bungkus ataupun membuka warung kopi kecil-kecilan.

Kabar pekerja media banyak yang menjadi pengangguran itu menambah daftar panjang jumlah orang-orang tunakerja yang muncul akibat adanya pandemi di negeri ini. Sebelumnya, sudah ada jutaan orang yang mendadak menganggur alias tidak punya pekerjaan tetap.

Stres karena mendapat pesangon ratusan juta

Kembali ke cerita kawan tersebut, dia mengaku sempat shock ketika mendadak dikabari oleh kantornya bila dirinya masuk dalam daftar 'di-pensiunkan'. Baginya, pemberitahuan itu bak ban mobil yang mendadak meletus dan menimbulkan suara keras. Blarrr.

Meski mendapat pesangon ratusan juta, itu tidak membuatnya bahagia. Baginya, pesangon dalam jumlah besar itu tidak bisa menjamin masa depan. Berbeda bila tetap bekerja yang berarti ada pemasukan yang kontinyu setiap bulan seperti sebelumnya.

Lantas, bayangan kesulitan pun mendadak muncul. Bayangan tentang cicilan rumah yang belum lunas. Bagaimana pula dengan cicilan kendaraan yang juga belum selesai.

Juga bagaimana kewajiban pembayaran sekolah anak yang meski di masa pandemi, tetapi harus tetap dibayar tiap bulan. Bagaimana dan bagaimana lainnya. Ada kekhawatiran yang mencuat. Dia mengaku mendadak stress.

Dia juga sadar, uang pesangon itu tidak bisa dipakai sembarangan. Bilapun diputar untuk memulai usaha, menurutnya dalam situasi serba sulit seperti sekarang, sangat berisiko.

Sebab, bla tidak cermat, bukannya untung yang didapat, malah uang yang 'diputar' tersebut bisa tidak kembali. Karenanya, tidak sedikit orang yang lebih senang menyimpan uang daripada dikeluarkan.

Sebagai kawan, demi mendengar cerita kawan tersebut saya mencoba untuk membesarkan hatinya. Saya mencoba untuk membuatnya sejenak melupakan stres.

Bahwa, lebih baik melihat hal-hal lain dalam dirinya yang masih bisa disyukuri, daripada cemas memikirkan hal-hal berat yang menganggu pikiran. Padahal, itu belum tentu terjadi.

Pendek kata, masih ada banyak hal yang bisa disyukuri daripada membesarkan kecemasan. Keluarga sehat dan punya uang dalam jumlah besar, kerjaan sampingan juga masih jalan, bukankah itu hal yang sangat layak disyukuri. Orang lain pasti melihat dia di posisi yang enak.

Tak Perlu Membandingkan Diri dengan Orang Lain

Namun, tidak hanya kawan yang perlu ditenangkan pikirannya, saya pun merasa perlu untuk membesarkan hati. Terlebih ketika tahu bahwa situasi yang dialami kawan tersebut, sebenarnya masih lebih bagus dibandingkan yang saya alami.

Saya yang juga ikut terdampak pandemi, juga dihantui kekhawatiran bagaimana menjalani masa sulit yang berkepanjangan dan tidak pasti ini. Terlebih setelah urusan gaji pekerjaan menulis juga ikut tersendat karena pandemi.

Sejujurnya, di masa sulit seperti ini, saya pun ingin mendapatkan dana segar dalam jumlah besar seperti yang dia dapat demi memulai usaha.

Namun, pikiran membandingkan situasi yang kita alami dengan situasi enak yang dihadapi orang lain itu beracun. Itu bisa membuat kita yang awalnya santai, mendadak merasa inferior dan insecure. Kita jadinya kurang bersyukur.

Kita jadinya berkesimpulan bahwa orang lain lebih enak. Kita jadinya merasa orang lain lebih beruntung. Kita jadinya beranggapan bahwa rumput tetangga lebih hijau.

Padahal, ada hal-hal lainnya yang sebenarnya masih bisa kita syukuri dari diri kita, tanpa perlu membandingkan dengan kelebihan orang lain. Termasuk bagi saya.

Dalam situasi membandingkan, kalaupun tidak mendapatkan uang dalam jumlah besar seperti kawan saya itu, toh saya lebih beruntung. Sebab, saya sudah tidak punya tanggungan cicilan rumah ataupun mobil karena sudah lunas.

Bukankah bebas membayar cicilan di masa sulit seperti sekarang, juga termasuk sebuah kenikmatan. Sebab, seberapun pendapatan yang didapat, bisa dinikmati tanpa perlu cemas memikirkan hutang bulanan.

Ya, itu nikmat yang juga harus disyukuri. Terlebih bila masih sehat, masih bisa menulis, serta istri dan anak-anak juga dalam kondisi sehat. Terlebih bila memiliki kawan-kawan baik yang melalui perantara mereka, aliran rezeki berdatangan.

Pada akhirnya, kita punya banyak alasan untuk merasa bahwa rumput tetangga tidak selalu lebih hijau.

Sebab, pikiran kita sendiri yang sebenarnya membuat rumput di rumah lebih hijau, atau malah menganggap rumput milik tetangga yang lebih hijau. Ya, masih ada banyak hal yang bisa kita syukuri di masa sulit ini. Salam sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun