Bahwa, lebih baik melihat hal-hal lain dalam dirinya yang masih bisa disyukuri, daripada cemas memikirkan hal-hal berat yang menganggu pikiran. Padahal, itu belum tentu terjadi.
Pendek kata, masih ada banyak hal yang bisa disyukuri daripada membesarkan kecemasan. Keluarga sehat dan punya uang dalam jumlah besar, kerjaan sampingan juga masih jalan, bukankah itu hal yang sangat layak disyukuri. Orang lain pasti melihat dia di posisi yang enak.
Tak Perlu Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Namun, tidak hanya kawan yang perlu ditenangkan pikirannya, saya pun merasa perlu untuk membesarkan hati. Terlebih ketika tahu bahwa situasi yang dialami kawan tersebut, sebenarnya masih lebih bagus dibandingkan yang saya alami.
Saya yang juga ikut terdampak pandemi, juga dihantui kekhawatiran bagaimana menjalani masa sulit yang berkepanjangan dan tidak pasti ini. Terlebih setelah urusan gaji pekerjaan menulis juga ikut tersendat karena pandemi.
Sejujurnya, di masa sulit seperti ini, saya pun ingin mendapatkan dana segar dalam jumlah besar seperti yang dia dapat demi memulai usaha.
Namun, pikiran membandingkan situasi yang kita alami dengan situasi enak yang dihadapi orang lain itu beracun. Itu bisa membuat kita yang awalnya santai, mendadak merasa inferior dan insecure. Kita jadinya kurang bersyukur.
Kita jadinya berkesimpulan bahwa orang lain lebih enak. Kita jadinya merasa orang lain lebih beruntung. Kita jadinya beranggapan bahwa rumput tetangga lebih hijau.
Padahal, ada hal-hal lainnya yang sebenarnya masih bisa kita syukuri dari diri kita, tanpa perlu membandingkan dengan kelebihan orang lain. Termasuk bagi saya.
Dalam situasi membandingkan, kalaupun tidak mendapatkan uang dalam jumlah besar seperti kawan saya itu, toh saya lebih beruntung. Sebab, saya sudah tidak punya tanggungan cicilan rumah ataupun mobil karena sudah lunas.
Bukankah bebas membayar cicilan di masa sulit seperti sekarang, juga termasuk sebuah kenikmatan. Sebab, seberapun pendapatan yang didapat, bisa dinikmati tanpa perlu cemas memikirkan hutang bulanan.