Atau juga menuliskan tentang apa yang mereka lihat di kampung mereka. Termasuk bila melihat ada ruas jalan rusak, sungai yang penuh sampah, jembatan penyeberangan orang yang tidak terawat, ataupun lampu penerangan jalan yang tidak berfungsi. Semuanya bisa mereka tulis.
Seperti kisah Jackie Chan yang harus bersabar meladeni pertanyaan dan protes muridnya, saya pun berusaha belajar menjadi begitu. Belajar sabar.
Dalam dua pekan terakhir, hampir setiap hari, ada beberapa mahasiswa yang bertanya, tepatnya berdiskusi daring perihal tema yang akan mereka angkat menjadi tulisan.
Ketika mengetahui mereka antusias mengirimkan tulisan di email dan beberapa bahkan sudah ada yang 'berbentuk berita' dan hanya butuh sedikit polesan, itu rasanya seperti ketika Jackie Chan melihat anak didiknya menjadi juara turnamen. Senang.
Ya, senang ketika bisa memposting tulisan mereka di media daring, lantas menunjukkan tautan beritanya ke grup WA yang di dalamnya ada bu dosen mereka. Saya yakin, itu akan membuat mereka senang, bangga, dan semakin termotivasi.
Memang, ada beberapa anak yang tulisannya belum jadi. Masih harus banyak diperbaiki. Namun, itulah tugasnya mentor. Mengedit dan membenahi tulisan yang belum jadi itu agar lebih enak dibaca.
Lantas, dari tulisan yang sudah jadi itu, termasuk tulisan yang sudah ditayangkan di media, saya mengajak mereka untuk membaca ulang dan membandingkan dengan tulisan awal mereka.
Dengan begitu, mereka bisa tahu bagian mana saja yang telah diubah, direvisi, dan bagaimana rasa perubahannya. Harapannya, dengan belajar mengkomparasi tulisan itu, tulisan mereka berikutnya akan lebih bagus.
Yang penting semangat dan memulai dari yang 'ringan'
Kenapa kok anak-anak yang awalnya tidak menguasai 'jurus menulis' itu bisa menghasilkan tulisan?
Karena mereka punya semangat untuk belajar. Dengan adanya semangat itu, tugas orang yang membimbing mereka menjadi lebih mudah. Sang mentor hanya perlu mengarahkan, memotivasi, dan bersabar.