Dari buku ini, kita juga bisa mengenal Pak Jakob Oetama sebagai sosok sederhana yang lebih senang disebut wartawan daripada pengusaha. Sosok yang selalu menyebut keberhasilan Kompas adalah berkat kerja keras, sinergi, dan karena diberkati Allah.
Perihal judul "Syukur Tiada Akhir" sendiri, menurut St.Sularto merupakan akumulasi proses panjang dari kebersamaannya dengan Jakob Oetama selama lebih dari 34 tahun yang dianggapnya sebagai senior, atasan, "bapak", dan guru besar.
Menurut Sularto, dalam lima tahun terakhir sebelum buku itu disusun, "bersyukur dan berterima kasih" menjadi kosa kata yang pak Jakob Oetama selalu sampaikan.
Bahwa, bersyukur merupakan salah satu tanda orang yang beriman. Bersyukur atas segala rahmat Tuhan yang telah dilimpahkan, salah satunya adalah menjadi perantara bagi kehidupan banyak orang.
Tentang rasa syukur karena menjadi perantara bagi kehidupan banyak orang, Pak Jakob pernah berucap begini:
"Saya merasa bersyukur atas semua ini. Saya merasa menjadi demikian berkat dari Atas, yang turun lewat almarhum PK. Ojong dan saya.
"Saya sebenarnya merasa aneh, kok, berkat Tuhan jatuhnya ke saya. Sebab saya ini pada dasarnya, kan, guru. Soal bisnis, saya tidak paham. Tapi syukurlah saya merespons rahmat Tuhan itu dengan sepenuh hati, akhirnya usaha kita bisa berlanjut hingga sekarang".Â
Ya, gambaran tentang manusia yang pandai bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan itu memang selaras dengan apa yang telah diperjuangkan Pak JO semasa hidupnya.
Dari pemikiran dan karya-karyanya bersama sahabatnya Pak PK Ojong, selama bertahun-tahun, ada puluhan ribuan orang yang telah dihidupi. Ada jutaan orang yang dicerahkan dan dicerdaskan.
Seperti filosofi Jakob Oetama dalam menjalani profesi jurnalistik: "Menghibur yang Papa, mengingatkan yang Mapan". Â Juga tentang "Koran itu Bersosok, Punya Personality, Bukan Selembar Kertas".