Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kingsley Coman, Cerita Mantan, dan Setiap Orang Ada Masanya

24 Agustus 2020   15:36 Diperbarui: 26 Agustus 2020   07:04 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kingsley Coman (mengangkat piala) menjadi penentu kemenangan Bayern Munchen 1-0 atas PSG di final Liga Champions, Senin (24/8) dini hari tadi. Coman menjadi pemain pertama yang mencetak gol ke gawang mantan klubnya di final Liga Champions/Foto: eurosport.com

Setiap orang ada masanya. Setiap masa ada orangnya.

Anda mungkin pernah mendengar dua kalimat singkat tersebut. Kalimatnya sederhana. Tapi, maknanya bisa dalam.

Kalimat pertama, maknanya kira-kira, setiap orang itu punya masa jaya sendiri-sendiri. Setiap orang berbeda satu sama lain. Boleh jadi gagal sekarang, tetapi di lain waktu dia akan berhasil.

Nah, karena ada masanya, kejayaan itu tidak bertahan seterusnya. Ada periode tertentu. Bila periodenya habis, selesailah masa jayanya. Berganti dengan orang lain yang tampil menemukan masa jayanya.

Karena memang, bukan hanya setiap orang yang ada masanya. Namun, setiap masa juga ada orangnya. Bahwa, di setiap masa, ada lakon utama yang bisa berbeda-beda.

Orang yang berjaya selama masa A, belum tentu bisa kembali sukses di rentang waktu masa B dan seterusnya. Sebab, ada orang lain yang menjadi lakon baru dalam masa B tersebut.

Menariknya, makna kalimat sederhana tersebut bisa relevan untuk dibawa ke panggung apa saja. Bisa diajak naik ke panggung kekuasaan untuk mengilustrasikan suksesi kepemimpinan. Juga pas untuk mengisahkan kejayaan sebuah klub sepak bola.

Coman, lakon utama di final Liga Champions 2020

Keberhasilan tim Jerman, Bayern Munchen meraih 'piala bertelinga lebar' Liga Champions 2019/20, Senin (24/8) dini hari tadi, juga tidak lepas dari slogan "setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya" itu. Utamanya menyangkut sang penentu kemenangan Bayern.

Ya, final (masa) telah memilih 'orangnya' untuk menjadi lakon utama. Dialah Kingsley Coman, sang pencetak gol kemenangan 1-0 Bayern Munchen atas Paris Saint Germain (PSG) di Lisbon, Portugal.

Di menit ke-59, bola umpan dari Joshua Kimmich melambung di depan gawang PSG. Ada banyak pemain PSG dan Bayern berkumpul. Tentu saja dengan tujuan berbeda.

PSG dengan duet bek asal Brasil, Thiago Silva dan Marquinhos, jelas ingin membuang bola jauh-jauh dari gawang. Sementara pemain-pemain Bayern seperti Robert Lewandowski, Leon Goretzka, Thomas Muller gemas ingin memasukkannya ke gawang.

Yang terjadi, Coman yang berlari coming from behind, lolos dari pantauan bek-bek PSG. Dia lantas menyundul bola. Gol. Itulah gol yang membawa Bayern meraih gelar keenamnya di Liga Champions setelah menunggu selama tujuh tahun.

Ya, Coman-lah yang menjadi lakon utama di final. Bukan nama-nama tenar di Bayern seperti Lewandowski yang berharap meraih gelar Liga Champions pertamanya, atau juga Muller dan Serge Gnabry.

Padahal, di babak-babak sebelumnya, Coman bukanlah pilihan utama pelatih Bayern, Hans-Dieter Flick. Ketika Bayern melawan Chelsea di leg II babak 16 besar, namanya tidak masuk tim.

Lalu, ketika Bayern membuat Barcelona babak belur dengan kemenangan 8-2 di perempat final (15/8), Flick lebih memilih Ivan Perisic yang bermain di sisi sayap kiri dan mencetak gol. Coman baru dimasukkan di menit ke-67. Ia hanya bermain 23 menitan.

Begitu pula ketika Bayern mengalahkan Olympique Lyon 3-0 di semifinal (20/8), Coman baru dimainkan di menit ke-63. Lagi-lagi dia masuk menggantikan Perisic.

Di laga perempat final dan semifinal itu, lakon utamanya adalah Muller, Gnabry, dan Lewandowski. Plus Kimmich yang mengingatkan orang pada Phillip Lahm, mantan kapten Bayern yang piawai membuat assist (umpan berujung gol).

Sementara Coman hanya merasakan "sepi dalam keramaian". Maksudnya, meski timnya menang, dia tidak banyak berperan dalam kemenangan timnya. Baru dini hari tadi, dia akhirnya bisa menjadi figur 'yang diperbincangkan' dalam keramaian pesta juara Bayern.

Coman dan 'mantan' bernama PSG

Saya hanya bisa menebak, alasan apa yang membuat Flick lebih memilih memainkan Coman ketimbang Perisic di final tadi. Apakah karena pertimbangan strategi merujuk lawan yang dihadapi, karena naluri, ataukah memang tahu bila Coman akan bersemangat melawan sang mantan?

Mantan?

Ya, Coman (24 tahun) memang dibesarkan oleh PSG. Tahun 2004 silam, ketika usianya 8 tahun, pemain kelahiran Paris ini bergabung dengan akademi PSG. Bakatnya digembleng di sana.

Setelah sembilan tahun, Coman yang tampil bagus di tim B, dipromosikan ke tim senior PSG. Dia tampil melawan Sochaux pada 17 Februari 2013. Coman jadi pemain termuda PSG yang tampil di liga ketika usianya baru 16 tahun delapan bulan dan empat hari.

Namun, harapan sebagai pemain muda yang mendapat kesempatan bermain walau di 10 menit akhir, rupanya tak kesampaian. Di musim 2013/14 itu, Coman hanya dimainkan tiga kali. Sadar tak punya ruang untuk tampil, Coman lantas menerima pinangan klub Italia, Juventus.

"I was considering a youngster coming out of the academy and I felt that whatever I did it was not possible to win my place in the group. I do not regret my choice ...For me, I was right to leave". Begitu komentar Coman pada 2015 silam perihal pilihannya meninggalkan PSG.

Di Juventus, di usianya yang baru 18 tahun, Coman mendapatkan kesempatan lumayan. Setidaknya, di musim 2014/15, dia bermain 20 kali, 14 diantaranya di Liga Italia yang berujung gelar untuk Juve.

Merujuk musim pertamanya itu, masa depan Coman di Italia sepertinya cerah. Namun, seperti cuaca yang mudah berubah, begitupula cerita Coman di Juventus.

Di musim 2015/16, kedatangan pemain Argentina, Paulo Dybala menjadi jalan keluar bagi Coman. Dia dipinjamkan ke Bayern Munchen dengan durasi dua tahun dengan opsi pembelian bila masa pinjaman berakhir.

Sejak musim 2015/16 itulah, Coman mengawali ceritanya bersama Bayern. Selama itu, meski Bayern berganti pelatih dari Pep Guardiola, Carlo Ancelotti, Jupp Heynckes, Niko Kovac, hingga Hansi Flick, Coman mendapatkan menit bermain lumayan.

Coman memang punya potensi besar. Di tahun 2015, Majalah Olahraga Spanyol, Don Balon memasukkan namanya dalam 101 pemain muda terbaik di dunia. Lalu, di Piala Eropa 2016, di usia 20 tahun, dia masuk nominasi pemain muda terbaik.

Coman 'lulus' ujian mental di masa muda

Apa rahasia sukses Coman bisa sukses di negeri orang dalam usia sangat muda?

Selain memang punya kemampuan untuk bersaing di level atas, sukses Coman juga karena memiliki ketahanan mental. Sebagai pemain muda, mentalnya kuat. Dia juga mau belajar.

Ya, Coman bukan anak muda cengeng yang ketika tidak masuk pilihan utama pelatih, lantas ngambek. Sebaliknya, dia ingin belajar dari semua pelatih yang melatihnya.

Dalam wawancara dengan France Football, Coman sebenarnya terlintas ingin pergi dari Bayern di musim 2016/17 silam. Tepatnya ketika Bayern dilatih Ancelotti. Dia mengaku dimainkan di posisi berbeda dibanding ketika dilatih Guardiola. Itu  membuatnya tidak nyaman.

"Itu tahun yang sulit. Saya sempat berpikir pergi dari Bayern. Namun, pemain bagus harus bisa beradaptasi dan menghormati keputusan pelatih," ujar Coman seperti dikutip dari Daily Mail.

Ujian mental Coman tidak hanya terjadi di lapangan. Di luar lapangan, kariernya juga sempat terancam berantakan akibat jiwa mudanya yang sulit dikendalikan.

Pada Juni 2017, Coman ditangkap aparat karena tuduhan kekerasan dalam rumah tangga setelah diduga melakukan pelecehan fisik terhadap model Sephora Goignan, mantan pacarnya.

Di akun Instagramnya, Coman mengakui tuduhan tersebut. Lalu, pada September 2017, Coman mengaku bersalah di pengadilan Prancis dan setuju untuk membayar denda kepada Goignan.

Toh, semua cerita itu menjadi bagian cerita dari jatuh bangunnya Coman dalam membangun kariernya. Kini, dia menjadi pemain muda yang paling banyak meraih gelar.

Bayangkan, di usia 24 tahun, Coman sudah merah 20 gelar. Meski, dia mungkin tidak selalu menjadi lakon utama di keramaian perayaan.

Dari cerita sukses Coman dan Bayern di final Liga Champions dini hari tadi, kita bisa berkaca bahwa sukses itu tidak selalu datang pada kesempatan pertama. Boleh jadi sebelumnya hanya menjadi 'pemain figuran'. 

Namun, slogan "setiap orang ada masanya serta setiap masa ada orangnya" itu jelas tidak sekadar karena keberuntungan. Tapi karena memang sang lakon sudah menyiapkan diri untuk menjemput sukses.

Seperti Coman, kapanpun, kesempatan bisa datang menyapa kita. Tahu-tahu kita mendapatkan kesempatan di momen besar. Masalahnya, apakah kita siap mengambil kesempatan yang datang itu, lantas mengubahnya menjadi keberhasilan.

Pada akhirnya, Coman kini dikenang sejarah sebagai pemain pertama di Liga Champions yang mencetak gol ke gawang mantan klubnya di final. Pemain-pemain PSG dan juga pendukung mereka mungkin hanya bisa berujar "ah, mantan memang menyebalkan". Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun