Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Demo di Masa Pandemi, Perlu Cara Lain dalam Menyampaikan Aspirasi

16 Agustus 2020   17:48 Diperbarui: 16 Agustus 2020   19:26 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berkumpulnya massa pada satu tempat yang sama, sangat riskan menjadi tempat penyebaran virus Covid-19 di masa pandemi seperti ini. Karenanya, perlu cara lain dalam menyampaikan aspirasi selain demo/Foto: https://bisnis.tempo.co/

Di masa pandemi ini, ada banyak orang yang paham bila berkumpulnya massa pada satu tempat yang sama, sangat riskan menjadi tempat penyebaran virus Covid-19. Karenanya, banyak orang lantas membatasi berkumpul dan berkerumun.

Ambil contoh untuk keperluan rapat maupun diskusi yang melibatkan banyak orang, kita kini sudah mulai terbiasa memilih menggunakan media daring yang tidak bertemu secara fisik. Terpenting, diskusi berjalan dan gagasan bisa disuarakan.

Namun, di sisi lain, aksi unjukrasa yang marak terjadi di berbagai kota di Tanah Air, seolah menjadi antitesis dari upaya menghindari transmisi virus Covid-19 tersebut. Faktanya, tidak sulit menemukan kabar unjuk rasa di berbagai kota yang diberitakan media daring/online arus utama.

Malah, tidak jarang, aksi unjuk rasa itu terjadi di wilayah yang masih berstatus zona merah atau masih banyak kawasan di wilayah provinsi/kabupaten/kota yang belum move on dari zona merah alias memiliki risiko tinggi penularan Covid-19.

Ambil contoh di Provinsi DKI Jakarta. Melansir dari CNN Indonesia.com, sejak Pemprov DKI Jakarta menerapkan PSBB transisi pada 5 Juni 2020, sejumlah aksi unjuk rasa terjadi di wilayah ibu kota.

Di antaranya aksi penolakan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan Gedung DPR/MPR, aksi demonstrasi sejumlah massa yang menolak reklamasi kawasan Ancol, hingga aksi unjuk rasa para musisi kafe maupun pekerja tempat hiburan yang menuntut agar mereka dapat diizinkan kembali bekerja.

Termasuk yang menjadi sorotan di beberapa media adalah aksi unjuk rasa menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Warga dari berbagai elemen melakukan aksi di kantor Kementerian Ketenagakerjaan dan Gedung MPR/DPR, Jakarta.

Memang, tidak ada aturan yang mengatur detail soal pelaksanaan demonstrasi di masa pandemi. Namun, berunjuk rasa dengan hadirnya banyak orang di satu titik, jelas memiliki risiko tinggi.

Melansir dari Kompas.com, pada pertengahan Juli lalu, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona Achmad Yurianto menegaskan bahwa pemerintah tidak secara khusus menyusun protokol kesehatan untuk aksi demonstrasi di masa pandemi. Namun, protokol kesehatan yang ada saat ini, dapat dijadikan pedoman untuk semua aktivitas, termasuk unjuk rasa.

Yuri mengingatkan, ada tiga hal yang harus dipatuhi masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Ketiga hal itu yakni tetap disiplin memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan.

Cara lain menyampaikan aspirasi

Menyikapi demo di masa pandemi ini, saya tertarik dengan pernyataan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria yang dikutip awak media.

Menurutnya, pemerintah memang tidak bisa melarang masyarakat melakukan aksi demonstrasi. Namun, dia meminta masyarakat lebih bijak dalam menyampaikan pendapat dan kritik ketika turun ke jalan.

"Kalau bisa lakukan audiensi terbatas, disampaikan masukan, kritik, apapun silahkan. Kami sangat terbuka, transparan, siapapun boleh memberikan masukan, termasuk kritik yang konstruktif. Tapi kami minta disampaikan secara lebih bijak di masa pandemi Covid," ujarnya seperti dikutip dari CNN Indonesia.com.

Wajar bila pak wakil gubernur merasa perlu memberikan imbauan seperti itu. Sebab, ketika pemerintah di DKI telah melakukan berbagai upaya untuk menekan penyebaran Covid-19, muncul kekhawatiran bila aksi demonstrasi yang dilakukan secara kerumunan, bisa menyebabkan penyebaran virus corona di wilayah Jakarta semakin meluas.

Padahal, bukan hanya pemerintah, bila ditanya, mereka yang turun ke jalan untuk melakukan unjuk rasa tersebut, rasanya juga terbersit rasa cemas. Ya, dengan situasi yang masih berisiko, mereka tentu cemas bila sampai terpapar virus yang telah menyebabkan puluhan ribu nyawa meninggal dunia.

Karenanya, di masa pandemi ini, meski tidak ada aturan detail yang mengatur perihal demonstrasi, semisal bila dibandingkan dengan kegiatan belajar mengajar yang ada aturannya, tetapi penting untuk menjaga diri agar aman dari kemungkinan terpapar Covid-19.

Bahwa, menyampaikan aspirasi di masa pandemi, termasuk perihal omnibus law RUU Cipta Kerja, tidak melulu dilakukan dengan unjuk rasa turun ke jalan dan berkerumun. Masih ada opsi lain.

Misalnya, perwakilan elemen seperti buruh maupun mahasiswa yang pada pertengahan Juli lalu berunjuk rasa di Gedung DPR, Senayan, bisa memilih opsi audiensi. Termasuk mereka yang berunjuk rasa menyoal RUU Cipta Kerja di sejumlah kota seperti di Makassar, Banyumas, atau Yogyakarta, juga bisa melakukan audiensi dengan wakil rakyat setempat. Tentunya dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Bermasker, membawa hand sanitizer, cuci tangan, serta berupaya menjaga jarak.

Selain audiensi, menyampaikan suara keberatan, bisa juga dengan cara membuat petisi atau mungkin surat terbuka. Atau bisa menuliskannya lewat laman media sosial yang bukan tidak mungkin akan tercipta diskusi.

Intinya, untuk menyuarakan aspirasi, termasuk keberatan terhadap omnibus law RUU Cipta Kerja, tidak melulu lewat demo. Namun, menyampaikan aspirasi, saran, dan kritikan di masa pandemi, bisa dilakukan dengan cara yang lebih elegan, efektif, dan tentu saja mempertimbangan faktor kesehatan.

Tentang Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Sebenarnya, mengapa perdebatan muncul di masyarakat terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta kerja atau Omnibus Law Cipta Kerja tersebut?

Dari membaca sejumlah referensi, kita bisa menyimpulkan bahwa ada pro kontra perdebatan karena memang ada sisi positif dan negatifnya dari RUU ini. Beberapa poin yang menjadi perbincangan adalah masalah pesangon dan juga tenaga kerja asing (TKA).

Menurut saya, sebuah hal yang normal ketika muncul perdebatan di masyarakat. Karena memang, dalam sebuah draft, pasti ada yang menilai positif dan menilai sebaliknya. Kalangan pekerja mungkin juga demikian. Tapi memang, dalam urusan apapun yang menaungi banyak orang, rasanya sulit menyenangkan semua orang.

Melansir dari Republika, terkait sejumlah kritik atas draft RUU itu, Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo menyebut tidak semua substansi dalam RUU ini merugikan para pekerja. Dia mencontohkan tentang pengaturan mengenai pemberian pesangon yang sempat disinyalir bakal dihapuskan. Kenyataannya, RUU Ciptaker disebutnya tidak menghapus pesangon.

"Hanya, ada penurunan dari 32 kali gaji saat ini menjadi 17 kali," ujar Yustinus dikutip dari republika.co.id.

Selain itu, masalah pesangon, isu tenaga kerja asing (TKA) juga jadi sorotan dari Omnibus Law ini. Namun, ditegaskan bahwa TKA tidak akan masuk dengan mudah ke Indonesia. TKA baru bisa masuk ke Indonesia jika memang skill atau kemampuan yang dibutuhkan tidak dimiliki pekerja dalam negeri. Itu pun tidak untuk waktu yang lama.

Tetapi memang, Yustinus menegaskan bahwa proses penyusunan RUU Ciptaker harus mendapatkan pengawasan publik. Pembahasannya harus dilakukan dengan mempertemukan semua pihak terkait, termasuk kalangan buruh dan pekerja.

Lalu, apa sisi positif dari Omnibus Law ini?

Mengutip penjelasan dari para pakar, secara umum draft RUU ini bertujuan memperbaiki iklim investasi dan kesejahteraan para pekerja. Utamanya soal sistem pengupahan.

Bahwa, dengan sistem pengupahan berubah dari sistem harian menjadi jam kerja, para pekerja diharapkan semakin terfokus pada pekerjaan. Hasilnya,  prestasi kerja jadi optimal. Para pengusaha juga akan mendapat kepastian dan jaminan dalam mengembangkan usaha.

Sisi positif lainnya yang bisa didapatkan para pekerja adalah semakin luasnya prospek lapangan kerja. Hal ini tidak lepas dari kemudahan dan penyederhanaan aturan investasi dalam negeri.

Ini dinilai bisa menjadi katalis bagi pengusaha asing untuk berinvestasi di Indonesia. Dengan investor tertarik masuk ke Indonesia, akan bisa meningkatkan lapangan kerja baru yang tentu membutuhkan tenaga kerja lokal.

Nah, terciptanya lapangan kerja baru ini yang diharapkan bisa menjadi jawaban dari persoalan tingginya pengangguran akibat pandemi. Kita tahu, dampak dari pandemi ini, ada jutaan orang mendadak kehilangan pekerjaan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) dan karyawan dirumahkan, marak terjadi.

Menurut data dari Kementerian Tenaga Kerja per 20 April 2020 lalu, hampir tiga juta karyawan dirumahkan atau terkena PHK. Itu belum menghitung pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang juga terdampak wabah ini.

Pada akhirnya, saya meyakini, pemerintah tentu punya niat baik untuk mengatur dan memperbaiki tata kelola Ketenagakerjaan di Indonesia. Bilapun ternyata muncul penolakan dan perdebatan karena sudut pandang yang berbeda, semua pihak terkait bisa duduk bersama guna mencari solusi dan titik tengah yang bisa menyeimbangkan antara kepentingan investasi dan dunia usaha.

Nah, duduk bersama di sini tentu bukan hanya dengan cara berunjuk rasa. Salam.

Referensi: 

https://nasional.kompas.com/read/2020/07/17/07203671/tak-ada-aturan-soal-demonstrasi-saat-pandemi-pemerintah-minta-protokol.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200814163328-20-535860/wagub-dki-tak-bisa-larang-warga-demo-di-tengah-pandemi-corona.

https://nasional.kompas.com/read/2019/11/29/13511951/mengenal-omnibus-law-yang-akan-dibahas-pemerintah-dan-dpr?page=all.

https://republika.co.id/berita/q5vn73415/emomnibus-lawem-untuk-ciptakan-lapangan-kerja-baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun