Pertandingan memasuki menit ke-86, Manchester City tertinggal 1-2 dari Olympique Lyon. City menyerang. Bola lantas bergulir kencang ke depan gawang Lyon, mengarah ke Raheem Sterling yang tak terkawal.
Normalnya, itu mudah saja bagi Sterling yang musim ini mencetak 20 gol di Liga Inggris. Yang terjadi, bola yang tinggal didorong itu, malah ditendangnya melambung ke atas gawang Lyon. Entah apa yang terjadi dengan Sterling.
Padahal, andai itu jadi gol, City bisa menyamakan skor dan sangat mungkin laga akan berlanjut ke masa perpanjangan waktu. Yang terjadi kemudian, City merasakan pahitnya salah satu 'filosofi' di sepak bola. Bahwa, "if you don't take your chance then you get punished".
Ya, semenit berselang, lewat serangan balik, di menit ke-87, Lyon mencetak gol ketiganya lewat Moussa Dembele.
Lyon pun menutup laga perempat final Liga Champions, Minggu (16/8) dini hari tadi tersebut dengan kemenangan 3-1. Â Lyon lolos ke semifinal.
Padahal, sebelum pertandingan, Manchester City-lah yang lebih diunggulkan untuk lolos. Penampilan apik saat mengeliminasi Real Madrid di babak 16 besar, membuat City diyakini bisa melewati Lyon dan menantang Bayern Munchen di semifinal.
'Strategi aneh' Guardiola
Lalu, mengapa Manchester City malah tersingkir?
Ada beberapa alasan yang layak dikemukakan. Salah satu yang paling menjadi sorotan adalah strategi yang dipakai pelatih Manchester City, Pep Guardiola.
Tanpa diduga, Guardiola menerapkan 'strategi aneh' 3-1-4-2 dengan hanya memainkan tiga bek. Bahkan, dia memainkan bek asal Spanyol, Eric Garcia yang baru berusia 19 tahun sebagai centre back dengan didampingi Fernandinho dan Aymeric Laporte. Ketika melawan Real Madrid di leg II, Garcia tidak ikut bermain.
Dengan masuknya Garcia, Guardiola mengorbankan Phil Foden. Dia juga mendorong dua pemain bek sayap (full back), Joao Cancelo dan Kyle Walker agak maju ke depan mendampingi Kevin De Bruyne dan Ilkay Gundogan.