Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sarri Dipecat, Potret "Vivere Pericoloso" Pelatih Masa Kini

8 Agustus 2020   23:07 Diperbarui: 8 Agustus 2020   23:44 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benarkah ada kutukan di sepak bola? Pendukung Juventus agaknya mulai percaya bila kutukan di sepak bola itu ada. Utamanya setelah Juve tersingkir cepat dari Liga Champions usai kalah agregat dari Olympique Lyon, Sabtu (8/8) dini hari tadi.

Sebenarnya, dini hari tadi Juventus tidak kalah. Mereka menang 2-1 lewat dua gol Cristiano Ronaldo. Namun, karena pada laga leg I babak 16 besar di Februari lalu, Juve kalah 0-1, maka agregat menjadi sama 2-2. Sialnya, Juve kalah aturan gol away karena Lyon bisa mencetak gol di luar kandang. 

Kegagalan itu menambah panjang cerita kutukan Juventus di Liga Champions. Sejak kali terakhir menjadi juara di tahun 1996 silam, Juve tak pernah mampu mengulanginya. Meski pernah lima kali tampil di final (1997, 1998, 2003, 2015, 2017), tetapi selalu gagal juara.

Juve tercatat dalam sejarah sebagai tim yang paling sering 'meraih gelar' runner-up Liga Champions. Mereka sudah sembilan (9) kali tampil di final dan tujuh diantaranya berakhir sebagai runner-up.

Malah, di tahun ini, penampilan Juve di Liga Champions semakin ambyar. Di dua musim sebelumnya, Juve out di babak perempat final. Eh, di musim ini, Si Nyonya Tua--julukan Juve, malah tak mampu lolos ke perempat final. Mereka terhenti di babak 16 besar.

Imbas Juve gagal lolos ke perempat final, Sarri dipecat

Nah, yang terjadi, beberapa jam usai disingkirkan Lyon, direksi Juve membuat keputusan besar. Mereka memecat pelatih Maurizio Sarri. Kabar yang awalnya rumor itu, ternyata beneran.

Melansir dari Football Italia, pengumuman pencopotan Sarri itu dilakukan hari ini pukul 13.40 waktu setempat atau sekitar pukul 7 malam waktu Indonesia.

"Juventus Football Club announces that Maurizio Sarri has been relieved of his post as coach of the First Team," seperti dikutip dari https://www.football-italia.net/156964/official-juventus-have-fired-sarri.

Padahal, seharusnya, pekan ini menjadi periode liburan bagi Sarri. Usai membawa Juve juara Liga Italia pekan lalu, Sarri memang belum jeda. Dia langsung menyiapkan timnya menghadapi Lyon.

Eh, ternyata manajemen Juve memberinya libur kelewat panjang alias tidak akan lagi menggunakan jasanya di musim depan. Meski, kontraknya sejatinya masih tersisa satu tahun.

Bagi manajemen Juve, gelar Scudetto yang diraih Sarri belum cukup. Sebab, direksi ingin Juve juara Eropa. Apalagi, Sarri sebelumnya juga gagal meraih Piala Super Italia dan Coppa Italia setelah Juve kalah dari Lazio dan Napoli.

Namun, pemecatan Sarri yang mendadak ini memang mengagetkan. Meski, bila bicara pelatih dalam konteks lebih luas, tidak terlalu mengagetkan. Sebab, kabar pemecatan pelatih seperti ini bukanlah hal baru di di sepak bola masa kini. Sebelumnya, sudah banyak kabar seperti ini.

Korbannya juga nama-nama top yang tidak asing di telinga kita. Malah, ada yang sebelumnya sukses meraih trofi. Membawa klubnya juara. Tapi toh dipecat juga oleh klubnya.

Jangankan seorang Sarri yang baru sekali juara Serie A, di musim lalu, Massimiliano Allegri yang sudah lima kali membawa Juve juara Serie A beruntun pun tak berumur panjang karena dinilai gagal di Liga Champions.

Pelatih masa kini bekerja dalam situasi bahaya

Menyoal pemecatan Sarri ini, saya jadi teringat dengan ungkapan Italia berbunyi "vivere pericoloso". Merujuk pada makna aslinya, vivere bermakna hidup. Dan, pericoloso artinya berbahaya. Jadi, maknanya kurang lebih "hidup yang berbahaya".

Dua kata itu pernah populer ketika menjadi judul dalam pidato kenegaraan terkenal Bung Karno, yakni "Tahun Vivere Pericoloso" yang disampaikan pada peringatan HUT ke-19 Republik Indonesia, 17 Agustus 1964.

Presiden keempat RI, almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, juga pernah menyinggung makna vivere pericoloso itu. Dalam bahasa kiasan, Gus Dur menyebut vivere pericoloso adalah orang-orang yang bekerja di dekat tungku perapian besar.

Bahwa, mereka akan selalu berada dalam situasi berbahaya. Sekali saja mereka lengah, nasib mereka akan tamat.

Nah, situasi vivere pericoloso itulah yang kini dirasakan pelatih-pelatih klub sepak bola di kompetisi elit Eropa. Para pelatih itu, setiap saat bekerja dalam kondisi bahaya.

Bekerja dalam bahaya bukan dimaknai karena terancam jiwa mereka. Tetapi, terancam pekerjaannya. Sebab, ancaman pemecatan bisa datang sewaktu-waktu.

Para pemilik klub yang merasa sudah mengeluarkan banyak duit untuk membeli pemain yang memang kini harganya gila-gilaan, sekarang jadi tidak sabaran. Mereka ingin cepat-cepat melihat investasinya berhasil.

Mereka tak peduli lagi pada teori di sepak bola bahwa reputasi sebuah klub tidak bisa dibangun dalam waktu semalam. Tetapi dibangun dengan jejak waktu yang panjang, bahkan mungkin puluhan tahun. Bagi mereka, itu "teori usang".

Imbasnya, tidak sedikit pelatih yang kini sulit menemukan kenyamanan dalam bekerja. Salah sedikit, tidak ada lagi kata maaf. Mereka langsung dipecat!

Nama Pochettino jadi favorit pengganti Sarri

Sampean (Anda) mungkin masih ingat dengan nama Mauricio Pochettino. Di akhir musim 2018/19 lalu, Pochettino dipecat manajemen Tottenham Hotspur.

Padahal, pelatih asal Argentina itu baru saja membawa Tottenham ke final Liga Champions 2019. Memang, Tottenham kalah dari Liverpool. 

Namun, itu pencapaian hebat bagi Tottenham yang baru tembus final Liga Champions. Apalagi, tampil di final itu bisa menjadi pijakan bagi tim asal London ini di musim berikutnya.

Yang terjadi, Pochettino justru dipecat. Dia digantikan pelatih senior, Jose Mourinho. Hasilnya, Tottenham musim ini malah gagal lolos ke Liga Champions karena finish di luar empat besar di Liga Inggris.

Mauricio Pochettino disebut-sebut sebagai kandidat favorit pengganti Sarri di Juventus/Foto: Team Talk
Mauricio Pochettino disebut-sebut sebagai kandidat favorit pengganti Sarri di Juventus/Foto: Team Talk
Nah, menariknya, nama Pochettino kini ikut disebut-sebut sebagai kandidat pengganti Sarri. Media terkemuka di Italia, La Gazzetta della Sport seperti dilansir Football Italia, menyebut Pochettino sebagai favorit pelatih Juve.

Selain itu, ada nama Zinedine Zidane (Real Madrid) dan Simone Inzaghi (Lazio). Termasuk Andrea Pirlo yang beberapa waktu lalu diumumkan sebagai pelatih Juve U-23.

Andai Juve memilih Pirlo, Football Italia menyebutnya akan menjadi "perjudian besar". Sebab, meski menjadi maestro ketika bermain, tetapi Pirlo belum punya pengalaman melatih tim.

Yang jelas, Juventus harus cepat mendapatkan pelatih baru. Sebab, masa latihan pra musim untuk persiapan musim baru 2020/21 sudah akan dimulai beberapa pekan ke depan.

Gambaran sepak bola masa kini yang serba tidak sabaran

Pemecatan Sarri menjadi gambaran jelas, inilah wajah sepak bola era sekarang. Sepak bola masa kini. Di mana ada banyak pemilik klub yang berpikiran pragmatis dan teramat mudah melupakan jasa pelatihnya.

Para bos klub itu berpikir merekalah yang menggaji pelatih. Sehingga mudah saja memecat seorang pelatih dan menggantinya dengan pelatih lainnya. Bila merasa klub tampil buruk dan susah berubah, solusi cepatnya ya pecat pelatihnya.

Bahkan, dalam beberapa kasus pemecatan pelatih, pemain kini juga bisa menentukan nasib pelatih. Bila tidak suka dengan pelatihnya, mereka bisa "bermufakat jahat" untuk tampil asal-asalan, agar sang pelatih dipecat. Harapannya, pelatih baru bisa membuat suasana lebih menyenangkan bagi mereka.

Pendek kata, pelatih kini berada dalam situasi vivere pericoloso itu. Mereka terjebak dalam situasi membahayakan yang tidak bisa mereka tolak. Bila bahaya (baca pemecatan) datang, mereka hanya bisa pasrah. Apa iya mau mengajukan gugatan pra peradilan.

Terkait posisi pelatih yang kini bak orang-orang dalam bahaya, manajer legendaris Manchester United, Sir Alex Ferguson, pernah menyebut bahwa tabiat para pemilik klub sekarang ini sudah berubah.

"Anda tak bisa sepenuhnya terkejut dengan tingkah para pemilik klub sekarang ini," ujarnya.

Menurutnya, dulu, di era dirinya melatih, dirinya masih bisa bertahan meski tiga musim tanpa trofi. Manajemen klub masih bisa bersabar menunggu. 

Dan memang, andai manajemen United kala itu tidak bersabar pada Sir Alex, sepertinya tidak akan pernah ada cerita kejayaan Tim Setan Merah bersama pelatih paling sukses di Premier League tersebut.

Namun, kini rasanya tidak mungkin melihat hal seperti itu. Baru melatih satu atau dua musim saja, bila klubnya tidak tampil apik, para pelatih harus bersiap kehilangan pekerjaan.

Dari pemecatan Maurizio Sarri petang tadi, kita bisa menangkap pesan bahwa, tidak ada jaminan seorang yang berprestasi bisa bertahan lama di sebuah klub besar.

Sebab, suksesnya di masa lalu, oleh manajemen klub sudah dianggap masuk di buku sejarah. Hari ini adalah cerita yang berbeda. Bila dinilai gagal, dia dipecat. Tidak ada kesempatan kedua baginya. Dan itulah yang terjadi pada Sarri.

Dari melihat bagaimana betapa kejamnya nasib para pelatih top di Eropa sana, kita bisa belajar bahwa pekerjaan terkadang sekadar kesempatan yang datang dan pergi. Kita hanya perlu memanfaatkan kesempatan yang datang dengan sebaik-baiknya. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun