Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menengok Rahasia Sukses "Pelatih Lokal" Italia di Liga Eropa

5 Agustus 2020   15:50 Diperbarui: 5 Agustus 2020   18:44 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Di masa lalu, Indonesia pernah punya deretan pelatih lokal berprestasi. Mereka mampu membawa tim yang dilatihnya menjadi juara Liga Indonesia.  

Ada nama Indra Thohir (Persib Bandung-1994/1995), Rusdy Bahalwan (Persebaya Surabaya-1996/1997), Edy Paryono (PSIS Semarang-1998/1999), Syamsuddin Umar (PSM Makassar-1999/2000), Sofyan Hadi (Persija Jakarta-2001), Jaya Hartono (Persik Kediri-2003).

Lalu Rahmad Darmawan yang pernah juara dua kali (Persipura-2005; Sriwijaya FC 2007), Daniel Roekito (Persik-2006), juga Kas Hartadi (Sriwijaya FC-2011/2012).

Namun, sejak Djadjang Nurdjaman membawa Persib Bandung juara pada 2014 silam, belum ada lagi pelatih lokal yang membawa timnya juara Liga Indonesia.

Melansir dari inews.id/sport, sejak Perserikatan dan Galatama digabungkan menjadi Liga Indonesia pada musim 1994/1995 hingga 2020, pelatih asing mampu 13 kali meraih trofi. Sementara pelatih lokal 11 kali juara dengan mencatatkan 10 nama.

Merujuk pada data tersebut, kemampuan pelatih lokal di Liga Indonesia sejatinya tidak kalah dengan pelatih asing. Meski memang, dalam beberapa tahun terakhir, pelatih asing seperti Rene Robert Albert, Simon McMenemy hingga Stefano Cugurra yang berhasil membawa timnya juara.

Dominasi pelatih lokal Italia di Serie A Italia

Saya mendadak tergoda menengok kembali kiprah pelatih lokal di Liga Indonesia setelah Liga Serie A Italia musim 2019/20 berakhir pada akhir pekan kemarin.

Kita tahu, Juventus akhirnya tampil sebagai juara. Itu merupakan gelar kesembilan beruntun Si Nyonya Tua di Serie A. Belum pernah ada tim di liga top Eropa yang juara sembilan kali secara beruntun.

Namun, tulisan ini bukan untuk mengulas Juventus. Saya lebih tertarik mengulas sisi lain dari juaranya Juventus. Tapi pelatihnya, Maurizio Sarri. Sukses Sarri itu ternyata menjadi sejarah baru bagi sepak bola Italia. Lebih tepatnya bagi pelatih lokal Italia.

Untuk kali pertama dalam sejarah Serie A, gelar Scudetto dimenangi oleh pelatih Italia dalam 10 tahun beruntun. Ya, sejak musim 2010/11, pelatih lokal Italia bisa mengungguli pelatih asing.

Dari Massimiliano Allegri saat membawa AC Milan juara pada 2011/12. Tahun berikutnya Allegri juara bersama Juventus. Lalu Antonio Conte hat-trick juara bersama Juve tahun 2012, 2013, dan 2014.

Lantas, Allegri mengukir rekor baru dengan lima kali juara bersama Juve dari tahun 2015 hingga 2019. Terakhir Sarri di tahun 2020 ini. Dia juga menjadi pelatih tertua (61 tahun 6 bulan) yang menjadi juara Serie A.

Pelatih bukan orang Italia terakhir yang bisa juara di Liga Serie A Italia adalah Jose Mourinho saat membawa Inter Milan meraih treble winners di tahun 2010.

Oleh Football Italia, fenomena itu diulas dalam tulisan berjudul "Italian coaches dominate for a decade".

Dominasi pelatih lokal di Liga Italia itu bukan kabar biasa. Sebab, di negara-negara Eropa lainnya, sulit terjadi fenomena seperti itu. Kebanyakan, pelatih lokalnya 'tenggelam', kalah dari pelatih asing.

Ambil contoh di Bundesliga Jerman. Meski Bayern Munchen mendominasi liga seperti halnya Juventus, tetapi mereka lebih sering juara bersama pelatih non Jerman.

Faktanya, dalam satu dekade terakhir, Bayern juara bersama Louis van Gaal (Belanda), Pep Guardiola (Spanyol), Carlo Ancelotti (Italia), dan Niko Kovac (Kroasia).

Sementara hanya ada dua pelatih Jerman, yakni Jupp Heycnkess dan Hansi Flick yang membawa Bayern juara dalam 10 tahun terakhir.

Di Prancis juga sama. Sejak Laurent Blanc membawa Paris Saint-German (PSG) juara musim 2015/16, tidak ada lagi pelatih asal Prancis yang bisa juara di liga nya sendiri.

Dalam empat musim terakhir, pelatih yang juara di Liga Prancis adalah Leonardo Jardim (Portugal/AS Monaco), Unai Emery (Spanyol/PSG), serta Thomas Tuchel (Jerman) yang membawa PSG juara beruntun.

Nasib pelatih lokal paling mengenaskan terjadi di Premier League Inggris. Bayangkan, sejak era Premier League dimulai pada musim 1992/93 silam, belum pernah ada pelatih asli Inggris yang bisa juara.

Dari Sir Alex Ferguson yang orang Skotlandia, hingga Juergen Klopp yang asal Jerman. Padahal, beberapa klub Premier League dilatih pelatih lokal, termasuk di musim ini.

Kali terakhir pelatih asli Inggris bisa juara liga adalah ketika Howard Wilkinson membawa Leed United juara pada musim 1991/92. Kala itu, Liga Inggris masih bernama Football League First Division.

Faktor yang membuat pelatih Italia sukses di rumahnya sendiri

Lalu, mengapa pelatih asal Italia bisa sukses di negaranya sendiri? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa faktor yang bisa dimunculkan.

Pertama jumlah pelatih asli Italia yang memang mendominasi di Liga Italia. Di Serie A musim 2019/20 ini, dari 20 tim, ada 16 tim yang dilatih oleh pelatih asli Italia.

Hanya ada empat tim saja yang dilatih oleh pelatih luar Italia. Salah satunya AS Roma yang dilatih pelatih asal Portugal, Paulo Fonseca. Bandingkan dengan Liga Inggris. Dari 20 tim kontestan Premier League, hanya ada 9 tim yang dilatih pelatih asli Inggris.

Dengan jumlah lebih banyak, kemungkinan pelatih lokal untuk juara jadi lebih besar. Meski, kemungkinan itu tidak selalu benar karena masih bergantung faktor lainnya.

Faktor kedua, di Italia, tim-tim besar yang bersaing memburu gelar, dilatih oleh pelatih lokal. Seperti Sarri di Juve, Antonio Conte di Inter Milan, Gian Piero Gasperini di Atalanta, juga Simone Inzaghi di Lazio. Semuanya Italiano.

Dalam beberapa tahun terakhir, memang jarang ada pelatih top Eropa yang melatih di Serie A. Boleh jadi karena pamor Liga Italia yang tak lagi semegah dulu. Atau juga alasan finansial di mana klub Italia tidak jor-joran dalam membangun tim dan menggaji pelatih seperti di Inggris.

Faktor ketiga adalah kualitas pelatih. Menurut saya, dari dua faktor sebelumnya, yang ketiga ini paling menentukan. Bukan kuantitas, juga bukan karena melatih klub besar.

Lha, bukannya memang klub besar yang mendominasi juara?

Benar, tapi jangan lupakan Leicester City saat mereka juara Premier League musim 2015/16 silam. Kisah juara Leicester di liga yang level persaingannya paling ketat di Eropa itu bak sebuah dongeng mustahil.

Betapa tidak, Leicester berstatus tim promosi. Pemain mereka juga biasa. Penyerang Jamie Vardy bahkan beberapa tahun sebelumnya bekerja di pabrik baja. Pendukungnya juga awalnya sekadar berharap timnya bertahan, tidak terdegradasi.

Dan sampean (Anda) tentu masih ingat siapa pelatih yang mampu membawa Leicester juara kala itu. Ya, benar, Claudio Ranieri. Orang Italia.

Ranieri menjadi orang keempat Italia yang bisa juara Liga Inggris dalam satu dekade terakhir. Sebelumnya ada Carlo Ancelotti, Roberto Mancini. Lalu Antonio Conte.

Cerita itu menjadi penegas, bahwa ada banyak pelatih asal Italia yang memang berkualitas. Dalam satu dekade terakhir, mereka tidak hanya juara di Italia, tetapi juga juara di Inggris, Spanyol, Jerman, dan Prancis.

Akhir tahun 2019 lalu, kolumnis Edoardo Giribaldi menulis esai menarik di sfctoday.com. Dia membuat tulisan berjudul kalimat tanya: "Are Italian Soccer Coaches the Best in the World?"

Giribaldi menulis begini: "Setiap hari di Minggu siang, selama 90 menit, seorang Italia tidak lagi menjadi advokat, karyawan, atau dokter. Dia berubah menjadi pelatih sepak bola, langsung dari sofa rumahnya, mengkritik setiap pilihan buruk (keputusan pelatih), dan memuji setiap orang baik dengan klasik "Lo avrei fatto anche io" (saya akan melakukan hal yang sama)".

"Among them, some have become real coaches, and export their knowledge all around the world, with excellent results".

Ya, di antara mereka, beberapa telah menjadi pelatih nyata. Lantas,  mengekspor pengetahuan mereka di seluruh dunia, dengan hasil yang sangat baik. Ada Ancelotti, Mancini, Ranieri, hingga Conte.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh UEFA (Union of European Football Associations), Italia menduduki tempat pertama ketika kita berbicara tentang kewarganegaraan dari pelatih yang paling sukses.

Pelatih asal Italia meraih total 40 trofi yang diangkat dalam kompetisi UEFA (termasuk Liga Champions dan Liga Eropa), dua gelar paling bergengsi di tingkat Eropa).

Lalu, apa rahasia sukses pelatih-pelatih Italia?

Claudio Ranieri, setelah gelarnya yang sulit dipercaya bersama Leicester City pernah membeberkan rahasia suksesnya. Dia menyebut bahwa kebersamaan dan tim itu sendiri yang menjadi kunci sukses. Bukan pemain tunggal yang membuat perbedaan.

Claudio Ranieri saat juara Liga Inggris 2015/16 bersama Leicester City/Foto: sfctoday.com
Claudio Ranieri saat juara Liga Inggris 2015/16 bersama Leicester City/Foto: sfctoday.com
Melansir dari Telegraph.co.uk, Ranieri menyebut bahwa untuk membawa kualitas terbaik dari para pemain, tidak hanya mengandalkan teknik. Namun, yang utama adalah sikap, pendekatan, dan motivasi.

"Not always they had the best players, but they won because theirs were ready to die on the field for their teammates," ujar Giribaldi.

Kemampuan menyatukan tim menjadi sebuah unit dan keluarga yang mau berjuang itulah yang menjadi 'jurus rahasia" pelatih-pelatih Italia.

Pelatih sepak bola Italia Arrigo Sacchi, yang dipilih oleh "France Futbol" sebagai salah satu dari tiga pelatih paling berpengaruh dalam sejarah sepak bola yang, dalam otobiografi nya, menulis dirinya selalu memikirkan sepak bola sebagai permainan tim: sebelas pemain selalu bisa berhasil, di mana satu pun tidak akan pernah".

"I always thought about football as a team game: eleven players can always arrive where one single will never."

Kualitas pelatih asal Italia memang terbukti. Bahkan, tidak hanya membawa klubnya juara, mereka juga menjadi role model bagi pelatih lainnya.

Pelatih legendaris asal Skotlandia, Sir Alex Ferguson, yang memenangkan semua yang dia bisa menangkan bersama Manchester United di Inggris, dalam sebuah wawancara mempromosikan otobiografinya berjudul "Managing My Life" pernah membuka rahasia yang tidak banyak orang tahu.

Sir Alex menyebut bahwa pada tahun 90-an, ia membangun kesuksesan timnya, dengan mengambil inspirasi dari satu tim khususnya. Tim itu adalah Juventus yang dilatih orang Italia bernama Giovanni Trapattoni.

Merujuk hal itu, sebenarnya tidak terlalu mengherankan bila ada banyak pelatih Italia yang sukses di era sekarang. Sebab, mereka dulunya punya guru yang sukses. Seperti Ancelotti berguru pada Arrigo Sacchi. Lalu Antonio Conte menyerap ilmu dari pelatihnya, Marcello Lippi.

Hingga kini, muncul nama-nama pelatih generasi baru Italia yang mulai mendapat sorotan seperti Gennaro Gattuso, Filippo Inzaghi, dan Alessandro Nesta yang merupakan "murid" nya Ancelotti.

Dari Italia, para pelatih bisa belajar perihal jurus sukses yang berkelanjutan. Bahwa, ilmu sukses itu diturunkan. Dipelajari dari orang yang tepat. Jadi bukan sekadar tentang bakat. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun