Ada banyak alasan untuk mendefinisikan seseorang berbahagia di tempat kerjanya. Tempat kerja ini bisa bermakna kantor, pabrik, pasar, jalanan, ataupun terminal.
Definisinya luas. Bisa karena mendapatkan gaji bulanan atau keuntungan yang besar. Bisa karena punya teman-teman kerja yang menyenangkan. Bisa pula karena pekerjaan yang dijalani memang membuatnya bahagia.
Termasuk definisi bahagia di tempat kerja itu bila kita dan hasil kerja kita disukai oleh atasan. Sebab, bila sudah tidak disukai oleh atasan, bekerja tidak lagi merasa nyaman.
Malah, banyak teman yang keluar dan memutuskan resign dari tempatnya bekerja karena merasa "tidak dianggap" oleh bosnya. Mereka merasa tempat kerjanya tidak ubahnya seperti neraka. Panas. Tersiksa.
Mungkin hanya karena alasan gaji bulanan saja yang membuat mereka masih mau mampir ke 'neraka' itu.
Sebenarnya, ketika atasan tidak menyukai kita, apakah itu musibah atau malah berkah?
Ada banyak kawan bercerita, memiliki atasan yang tidak asyik, itu bikin nelangsa. Apalagi bila atasan menunjukkan sikap tidak menyukai kita. Tidak ada lagi bahagia di tempat kerja.
Karena merasa tidak nyaman, orang bisa berpikir mundur dari tempat kerjanya. Pendek kata, banyak orang beranggapan bila tidak disukai atasan di tempat kerja itu musibah.
Kisah Pioli, pekerja yang awalnya tidak disukai atasan
Namun, pelatih klub AC Milan, Stefano Pioli, memberikan pembelajaran kepada kita bahwa memiliki atasan yang tidak asyik itu bukanlah akhir dunia.
Pioli memberikan teladan bahwa tidak disukai oleh atasan di tempat kerja itu bisa menjadi sebuah penyemangat. Itu bisa merupakan keberuntungan bagi kita.
Kita tahu, Pioli mengakhiri kompetisi Serie A Italia musim 2019/20 yang baru berakhir Minggu (2/8) kemarin dengan senyum kemenangan. Bukan hanya timnya, Milan, menutup kompetisi dengan kemenangan 3-0 atas Cagliari.
Lebih dari itu, pelatih asal Italia berusia 54 tahun yang awalnya tidak dianggap dan akan dipecat di akhir musim, malah mendapatkan perpanjangan kontrak dari manajemen Milan.
Bagaimana cerita Pioli di AC Milan?
Sebelum berkisah tentang kisah Pioli di Milan pada musim ini, saya teringat dengan buku "How to Manage Your Boss, Developing The Perfect Working Relationship" yang ditulis oleh Ross Jay.
Di buku itu, Ross Jay menggambarkan seorang atasan di tempat kerja sebagai manusia biasa. Bahwa yang namanya manusia biasa, atasan bisa orang yang baik, kooperatif, tetapi ada juga yang sebaliknya.
"Bosses are human, some good, some bad. If you're lucky they will be understanding, supportive, encouraging and inspiring. Then again they might be lazy, unmotivated, weak, over-emotional, sarcastic, rude, or just downright - well - bossy. But you're no powerless victim".
Melalui buku itu, Ross ingin menekankan, sebagai bawahan, pekerja tidak bisa memilih memiliki bos yang seperti apa. Bagi pekerja yang beruntung, mereka akan mendapatkan seorang bos yang pengertian, suportif, dan inspiratif.
Masalahnya, tidak semua orang beruntung mendapatkan atasan yang mau memahami, mendukung, bahkan menginspirasi kita. Sebaliknya, ada atasan yang justru menjaga jarak dengan karyawannya, baperan, dan hanya bisa menyuruh (bossy) tanpa memberikan edukasi.
Malah ada yang tidak suka dengan kita. Entah karena penampilan, kinerja, atau karena sebab lainnya. Semisal tidak suka kita tanpa alasan. Titik. Masalahnya lagi, sebagai anak buah, kita hanya bisa pasrah. Â Powerless victim.
Pioli pun dulu begitu. Di awal melatih Milan, dia harus mendapati kenyataan bekerja di bawah manajemen yang berharap hasil serba instan. Dengan pengalamannya melatih banyak klub di Italia, dari Parma hingga Fiorentina, dia diharapkan bisa mengembalikan nama besar Milan.
Padahal, melansir dari Kompas.com, ketika Pioli ditunjuk melatih Milan pada 8 Oktober silam, I'Rossoneri alias Tim Merah Hitam--julukan Milan, sebenarnya dalam kondisi sakit.
Bagaimana sebuah tim tidak sakit bila mereka sudah memecat pelatih pada bulan Oktober alias hanya 1,5 bulan setelah kompetisi di mulai. Itu juga bisa menjadi gambaran betapa pragmatisme manajemen Milan kala itu.
Kala itu, oleh manajemen Milan, Pioli disodori kontrak dua tahun. Pioli pun menandatangani kontrak itu.
"Stefano Pioli bergabung dengan AC Milan dengan perjanjian dua tahun. Klub mengharapkan yang terbaik dari Stefano (Pioli) dan staf kepelatihannya dalam kinerja mereka," begitu bunyi statement resmi Milan dalam pernyataan resmi mereka di Football Italia seperti dikutip dari kompas.com.
Namun, tidak ada jaminan Pioli bakal bisa menyelesaikan kontraknya selama dua tahun di Milan. Sebab, bila Milan ternyata tidak mampu keluar dari tren buruk, tidak akan ada ampun bagi dirinya. Dia hanya tinggal menunggu waktu untuk dipecat. Itu juga yang dirasakan Marco Giampaolo.
Apalagi sekarang ini ada banyak pemilik klub yang berpikiran pragmatis dan teramat mudah melupakan upaya pelatih dalam membangun tim. Para bos klub itu berpikir merekalah yang menggaji pelatih sehingga mudah saja memecat seorang pelatih dan menggantinya dengan pelatih lainnya.
Benar saja, relasi Pioli dan Milan awalnya berjalan kurang bagus. Milan belum mampu keluar dari serangkaian hasil buruk. Pada pertengahan Januari 2020 lalu, Milan masih tercecer di peringkat 10.
Kala itu, Milan hanya bisa meraih 7 kemenangan dari 19 pertandingan. Mereka sudah kalah 8 kali. Bayangkan Milan berada di bawah tim-tim seperti Verona, Torino, Parma, dan Cagliari.
Bahkan, Milan meraih beberapa hasil memalukan. Bayangkan, mereka pernah dibantai Atalanta 5-0 pada 22 Desember 2019 lalu. Milan juga kalah telak 2-4 dari Inter Milan di laga derby. Milan malah kalah dua kali dari Inter di musim ini. Belum lagi kekalahan dari Torino dan Udinese.
Situasi itu membuat manajemen Milan kecewa. Mereka lantas mengambil sikap. Sebelum Liga Italia dihentikan karena pandemi Covid-19 pada Maret lalu, beredar kabar bahwa mereka menyiapkan pelatih asal Jerman, Ralf Rangnick untuk menangani Milan di musim 2020/21.
Rangnick (62 tahun) dianggap pernah sukses menyulap RB Leipzig menjadi klub tangguh di Bundesliga Jerman. Meski, dia tidak punya pengalaman melatih di Italia.
Itu artinya, Pioli bakal dipecat di akhir musim 2019/20. Kontrak dua tahun yang ditandatangani dulu hanyalah sebatas kontrak yang bisa diakhiri dengan cepat.
Pioli menjawab "persona non grata" dengan prestasi
Yang terjadi kemudian, Pioli ternyata tidak patah hati. Meski atasannya tak suka dirinya dan telah menyiapkan orang lain untuk menggantikannya, dia tidak uring-uringan. Justru, dia menganggap situasi tersebut sebagai berkah.
Ketika Serie A dimulai kembali pada Juni lalu, Pioli yang tahu dirinya bakal dipecat ketika kompetisi berakhir, mencoba menikmati masa-masa terakhirnya di Milan.
Siapa sangka, Pioli bisa membalik situasi itu. Dari orang yang 'dipersona non gratakan' alias tidak disukai manajemen Milan, menjadi sosok yang dicinta.
Semua itu tidak lepas dari penampilan Milan selepas jeda tiga bulan akibat pandemi. Milan dibawanya tampil ganas sejak Liga Italia kembali dilanjutkan pada 23 Juni lalu. Dari 12 penampilan, Milan tidak pernah kalah.
Milan menang 9 kali dan imbang 3 kali. Hebatnya, beberapa kemenangan itu diraih dari tim-tim kelas berat. Seperti kemenangan 2-0 atas AS Roma (28/6), 3-0 atas tuan rumah Lazio (5/7) dan mengalahkan Juventus 4-2 setelah tertinggal dua gol (8/7). Milan menutup kompetisi dengan hasil keren, menang 3-0 atas Cagliari (1/8).
Milan yang sebelumnya tercecer di peringkat 10, dibawa Pioli lolos ke kompetisi eropa usai finish di posisi 6. Meski itu "hanya" Europa League. Namun, bukan hanya itu yang membuat Milan dipuji.
Tapi, lebih kepada penampilan ganas Milan di lapangan.Pioli dianggap bisa menyatukan pemain-pemain top Milan dan memaksimalkan kemampuan mereka. Seperti Zlatan Ibrahimovic, Hakan Calhanoglu, Ante Rebic, juga Franck Kessie.
Hasil bagus Milan di lapangan itu rupanya menggugah manajemen Milan berubah. Mereka tidak menutup mata terhadap kinerja Pioli. Pada 22 Juli lalu, manajemen Milan mengumumkan bahwa mereka masih percaya pada Pioli. Ya, musim depan, Milan akan tetap dilatih Pioli. Bukan Rangnick.
Bahkan, Milanisti yang awalnya kurang sreg dengan Pioli karena menganggap dia pernah melatih Inter Milan, ikut berubah. Mereka bahkan bersuara keras agar manajemen Milan tetap mempertahankan Pioli.
Dari kisah Pioli yang naik turun naik seperti wahana roller coaster, kita bisa belajar bahwa situasi tidak disukai atasan di tempat kerja itu bukanlah musibah.
Bila kita bisa menyikapinya benar dengan tetap bekerja profesional dan memperlihatkan hasil kerja bagus, atasan juga tidak akan menutup mata. Pada akhirnya, tidak suka itu bisa berubah menjadi reward. Dan itulah yang dilakukan Pioli di Milan.
Ketika dia dalam situasi "dislike oleh atasan", Pioli melihatnya sebagai tantangan. Bagaimanapun, ketika seseorang tidak disukai yang mungkin sering dicari-cari kesalahannya, sebenarnya dia sedang diperhatikan. Bila seperti itu, dia ibarat sedang ada di tengah panggung dan menjadi pusat perhatian.
Bila sudah seperti itu, Anda hanya perlu tetap menjalani pekerjaan dengan perasaan yang gembira. Anda hanya perlu untuk menunjukkan spirit dan totalitas kerja yang semakin besar pula. Bahwa dislike dan spirit itu harus berbanding lurus.
 Pada akhirnya, prestasi mengalahkan rasa tidak suka atasan. Bila sudah prestasi yang bicara, atasan yang sebelumnya tidak suka, sangat mungkin akan berubah. Dari tidak suka, malah menjadi bergantung dengan Anda.
Tentu saja, sangat sulit untuk tampil di panggung ketika penonton seolah mencemooh Anda. Butuh mental yang super kuat untuk menghadapinya. Lantas, membuat prestasi. Pada akhirnya, mengubah rasa tidak suka atasan menjadi suka. Itulah yang dilakukan Pioli. Dan kita bisa belajar darinya. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H