Dinasti politik sah-sah saja, asal...
Sebagai orang awam politik, saya menganggap pencalonan anak, istri atau saudara pejabat yang berkuasa untuk maju dalam pilkada nanti, sebenarnya biasa saja. Tidak ada yang aneh ataupun luar biasa.
Toh, terlepas dari faktor popularitas mereka di mata masyarakat, tetapi mereka juga telah mengikuti semua syarat dan prosedur di pilkada seperti calon-calon lainnya. Mereka tidak melewati jalur pintas.
Toh, pada akhirnya, rakyat sebagai pemilik suara-lah yang akan menentukan apakah mereka akan menang atau kalah di pilkada nanti. Sang bapak atau suami tidak bisa ikut menentukan kemenangan.
Kecuali bila bapaknya atau suaminya yang sedang menjabat itu, mendadak mengangkat anaknya atau menunjuk istrinya begitu saja menjadi wali kota atau bupati tanpa melalui tahapan pilkada, itu yang keliru.
Menurut saya, masyarakat sebagai pemilih kini juga banyak yang lebih cerdas dalam menyikapi dinasti politik di Pilkada ini. Maksudnya, mereka tidak akan sembarangan memilih calon yang meski punya hubungan keluarga dengan pemimpin yang sedang memimpin. Apalagi bila calonnya tidak memiliki kompetensi.
Bagi saya, calon yang akan tampil di Pilkada dan dianggap bagian dari membangun dinasti politik itu tidak bisa digebyah uyah alias disamaratakan. Sebab, setiap calon punya kompetensi berbeda-beda.
Ada yang memang punya kualitas. Semisal, jauh sebelum dia mendapatkan rekom parpol untuk maju Pilkada, dia telah berproses untuk menjadi pemimpin dengan memimpin organisasi, institusi, ataupun parpol di daerah.
Atau dia telah berbuat banyak untuk masyarakat di daerahnya. Bahkan, orang mungkin tidak tahu bila dia ternyata punya hubungan keluarga dengan pemimpin yang berkuasa.
Ada juga calon yang memang sekadar mengandalkan popularitas keluarganya yang sedang memimpin. Banyak orang yang tidak tahu sepak terjangnya selama ini ngapain aja. Orang hanya tahu dia keluarga dan kerabatnya pejabat. Lalu, tahu-tahu maju di Pilkada.
Tetapi memang, berhasil tidaknya calon yang disinyalir menjadi bagian dinasti politik ini di pilkada, akan banyak bergantung dari citra keluarganya yang selama ini memimpin.
Ambil contoh bila suaminya selama memimpin sebagai kepala daerah selama ini dianggap berhasil dalam memajukan daerahnya, dekat dengan rakyatnya, dan keluarganya dikenal baik, maka istrinya punya peluang besar untuk menang.