Saya ingat, di desa saya dulu, sewaktu saya masih bocah, dari beberapa kali pemilihan kepala desa (pilkades), sering yang 'bertarung' di pilkades adalah keluarga atau kerabat dari kades yang sedang atau pernah berkuasa. Dari istrinya, hingga anaknya.
Memang ada calon yang tidak punya riwayat keturunan kades yang berani maju. Tapi lebih sering kalah. Karena memang, faktor dinasti membuat calon lebih mudah untuk mengenalkan dirinya dan lebih gampang dikenal oleh orang desa.
Sebenarnya, apa yang salah dengan dinasti politik?
Tentu saja, akan ada komentar yang berlawanan bila mengulik masalah ini. Ada yang setuju. Ada yang tidak setuju. Bahkan ada yang menuduh.
Mereka yang menuduh, akan menyebut kandidat yang dianggap sebagai bagian upaya membangun dinasti politik itu tengah memanfaatkan momentum "aji mumpung".
Mumpung bapaknya, mumpung suaminya, mumpung saudaranya sedang berkuasa/memimpin, maka itu dianggap sebagai peluang untuk melanjutkan estafet kekuasaan. Dia berupaya melanjutkan kekuasaan keluarganya. Siapa tahu "sang pewaris" terpilih dan melanjutkan berkuasa.
Sementara mereka yang setuju juga punya alasan kuat. Bahwa, siapapun, apakah dia anak presiden ataupun istri bupati, mereka toh punya hak konstitusional untuk ikut dalam kontestasi politik. Tentunya dengan catatan, semua syarat dan prosedur telah dipenuhi.
Beda pendapat dalam menyikapi hal ini sangat wajar. Jangankan mereka yang masih calon, yang sudah memimpin saja, apa saja kebijakan yang dijalankan, meskipun niatnya untuk kepentingan rakyatnya, akan diperdebatkan oleh sebagian orang yang melihatnya berbeda.
Karena memang, akan sangat sulit bagi seorang pemimpin untuk membuat kebijakan yang bisa menyenangkan semua orang yang dipimpinnya.
Mengutip pendapat Steve Jobs, jika ingin menyenangkan semua orang, jangan jadi pemimpin. Jadilah penjual es krim. Â
"If you want to make everyone happy, don't be a leader, sell ice cream!"