Tidak sedikit orang yang merasa jenuh membaca berita perihal wabah Covid-19. Apalagi bila informasinya sekadar kabar perkembangan tren sebaran Covid yang belum juga turun.
Saya pun mulai bosan menyimak pesan broadcast berkaitan wabah virus ini yang seringkali dibagikan di grup WhatsApp yang saya ikuti. Palingan sekadar membaca sekilas. Tanpa menyimak detail. Apalagi bila pesannya terlalu panjang. Â
Namun, pekan kemarin, ada sebuah pesan broadcast yang membuat saya seperti mematung. Menyimak serius. Pasalnya, pesannya sesuai dengan apa yang saya alami di situasi wabah virus ini. Â
Ceritanya, ada beberapa bapak-bapak di grup warga di perumahan saya yang berdebat perihal beberapa pedagang kaki lima yang masih berjualan di kawasan tepi jalan.
Ada warga yang lantang menyebut mereka seharusnya ditertibkan demi mencegah sebaran Covid-19. Ada pula warga yang mengatakan mereka hanya berusaha mencari makan karena tidak mendapatkan gaji bulanan seperti kebanyakan warga di perumahan.
Badai yang dihadapi sama, kapal yang dinaiki berbeda-beda
Nah, di tengah perdebatan yang semakin ramai, ada seorang bapak mengirimkan gambar menarik. Gambar tentang beberapa kapal yang tengah terombang-ambing badai di lautan. Dari kapal pesiar, kapal perang, hingga perahu sekoci. Ada tulisan narasi menarik. "We are not all in the same boat, We are all in the same storm".Â
Bahwa, kita sekarang menghadapi badai yang sama, tetapi tidak berada di kapal yang sama. Setiap orang di kapalnya masing-masing, tengah mencari jalan keluar atau sekadar bertahan dari badai ini.
Maknanya, perjuangan setiap orang dalam menghadapi badai Covid-19 ini tidaklah sama. Ada yang diberi kelebihan materi sehingga bisa bekerja di rumah saja dan mendapatkan gaji bulanan.
Ada juga yang terseok-seok dengan segala kesulitan untuk bertahan hidup jika di rumah saja. Karenanya, mereka masih bekerja untuk bekerja karena ada keluarga yang harus dicukupi kebutuhannya.
Ya, kita menghadapi badai yang sama, tetapi kita berada di kapal yang berbeda-beda. Pertanyaannya, sampean (Anda) berada di kapal yang mana?
Bila sampean berada di 'kapal besar' yang kapalnya tidak akan oleng meski terkena badai, tentu Anda beruntung. Anda tak perlu pusing memikirkan badai. Hanya menjaga diri dan keluarga agar tetap sehat.
Kapal besar di sini maksudnya, perusahaan/instansi tempat Anda bekerja memiliki kemampuan finansial kuat sehingga tidak begitu terdampak wabah. Anda mendapatkan gaji cukup, bahkan bonus. Pendek kata, Anda tetap aman di masa badai ini. Hanya perlu berdoa badai segera berakhir.
Beda cerita bila Anda menaiki kapal kecil seperti perahu sekoci. Dalam situasi badai, Anda tentu tidak aman. Sebab, karena ukurannya kecil, kapal bisa diombang-ambing badai. Bahkan kapalnya bisa disapu ombak lantas tenggelam. Dan yang di atas kapal tentu juga ikut tenggelam.
Maksudnya, bila Anda tidak bekerja di perusahaan/instansi besar tetapi bekerja sendiri (freelance) yang meski selama ini mendapatkan banyak 'orderan', tetapi wabah ini membuat Anda kehilangan semuanya. Orderan mendadak sepi. Pemasukan juga berkurang. Apalagi tidak ada gaji bulanan.
Bila seperti itu, Anda tidak hanya harus menjaga diri. Tetapi juga mencari cara agar bisa bertahan menghadapi badai. Sebab, bila tidak bisa bertahan, berarti 'tenggelam'.
Bila dihantam badai, harus bagaimana?
Nah, kabar buruknya, dalam situasi badai wabah yang belum jelas kapan berakhirnya, saya justru tengah berada di perahu sekoci. Perahu kecil. Keputusan untuk mundur dari instansi tempat saya bekerja pada akhir 2017 lalu demi bekerja sendiri dan punya banyak waktu bersama keluarga, membuat saya seperti pergi dari kapal besar.
Sebelum ada badai ini, pekerjaan menulis sendiri (freelance) itu sangat menyenangkan. Saya bisa mengatur waktu sendiri. Kapan bekerja dan kapan libur. Apalagi, beberapa tawaran baru berdatangan. Karenanya, saya tidak pernah menyesal keluar dari kapal besar.Â
Tapi kini, saya merasakan dampak dari badai virus ini. Saya ikut terdampak. Betapa pekerjaan menulis yang selama ini lancar dan bahkan banyak peluang baru yang datang, kini seperti menghilang. Meski saya tahu sekadar sementara saja. Begitu juga peluang menjadi narasumber ataupun mengajar di kelas, sejenak libur.
Malah, yang bikin nyesek, ada pekerjaan menulis bulanan yang sebenarnya sudah selesai dan tinggal menunggu bayarannya saja. Yang terjadi, gajinya belum bisa cair dikarenakan terdampak wabah.
Apa daya. Padahal, itu merupakan 'kapal' yang sebenarnya akan saya tumpangi untuk bertahan menghadapi badai wabah ini. Ternyata, kapalnya malah sudah bocor dihantam badai. Terancam karam duluan.
Andai saja saya masih bertahan di kapal besar, saya mungkin tidak merasakan terlalu  dampak dari badai ini. Minimal, kapal besar yang saya tumpangi bersama penumpang-penumpang lainnya, masih punya kekuatan untuk tetap berlayar melawan badai.
Namun, saya tidak menyesal berada di kapal kecil ketika terjadi badai tak terduga seperti ini. Bagaimanapun, ketika awal memutuskan turun dari kapal besar, saya paham akan ada risiko dalam setiap pilihan yang kita ambil.
Dan, ketika risiko itu terjadi, bahkan mungkin tidak pernah diduga sebelumnya, ya harus dihadapi. Karena memang, apa yang terjadi bukan untuk disesali. Tapi berusaha dicarikan solusinya.
Toh, dengan menaiki kapal kecil, kita sebenarnya sudah terlatih mengatasi ombak yang datang. Ya, meski perahu sekoci mungkin sudah bocor, masih ada pelampung yang bisa dipakai untuk bertahan. Â Siapa tahu di tengah perjalanan, bisa menambal kapal bocor tersebut.
Terpenting, yang harus dilakukan di masa sulit ini adalah tetap bergerak dan berpikir kreatif agar bisa bertahan. Definisi bergerak itu bisa diwujudkan dengan tetap melakukan hal yang masih bisa dilakukan.
Semisal bila keahliannya selama ini menulis, blogger ataupun 'tukang menulis', ya tetap menulis. Mungkin, pekerjaan menulis yang berhubungan dengan instansi semisal majalah di instansi pemerintah atau rumah sakit, untuk sementara berhenti.
Toh, kita masih bisa menulis di mana saja. Tentu saja, bukan hanya menulis. Tapi juga menulis yang mendapatkan pendapatan. Sebab, makna bertahan dalam situasi seperti ini tentu saja bukan sekadar beraktivitas. Tapi aktivitas yang menghasilkan. Bukankah ada beberapa media yang bisa menjadi tempat menulis atau menerima tulisan dan kita bisa mendapatkan fee.
Selain itu, masih ada peluang untuk memberesi penulisan buku atau menjadi editor penulisan. Termasuk peluang-peluang lain di luar penulisan yang masih bisa dilakukan. Semisa memulai usaha berjualan kue atau kuliner yang bisa dijual online dan tidak membutuhkan modal besar.Â
Pendek kata, jangan menyerah. Jangan putus asa. Bila memang yakin badai ini pasti berlalu, ya harus mencoba bertahan dengan sebisa mungkin upaya yang bisa dilakukan.Â
Pada akhirnya, kita kini menghadapi badai yang sama. Setiap orang berada di kapalnya. Masing-masing kapal mencari jalan keluar atau sekadar bertahan dari badai ini.
Terpenting, tetap berusaha, berdoa, dan berharap yang terbaik. Tetap kuat iman dan imun, dan semangat menjalani hidup. Sebab, ada Yang Maha Mengendalikan "kapal kita". Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H