"Bagaimana nanti kalau saya bertemu Rasul dan ditanya apakah sudah berhenti bermaksiat, saya akan menjawab apa. Padahal, saya sudah berjanji untuk tidak berbohong," pikir dia.
Karena tidak mau berbohong, dia pun urung melakukan maksiat. Di situasi berikutnya, berulang kembali seperti itu. Setiap kali tergoda berbuat dosa, dia teringat pesan Rasulullah. Lantas, tak jadi melakukannya. Hingga, dia pun berhenti bermaksiat.
Lantas, ketika kembali bertemu Rasulullah, dia menceritakan apa yang dialaminya. Dia tersadar betapa 'syarat' dari Rasulullah untuk tidak berbohong itu ternyata 'kuncinya' bertobat.
Sebab, setiap kali ingin berbuat dosa, dia seperti memiliki rem yang mencegahnya melakukan dosa. Dia juga merasa malu bila kembali bertemu Rasulullah tetapi masih belum berubah.
Kisah laki-laki fasik yang akhirnya bertobat karena tidak mau berbohong itu selaras dengan semangat Ramadan yang diwariskan kepada kita.
Bukankah selama berpuasa Ramadan, kita juga memiliki "rem" yang mencegah kita berbuat dosa karena merasa diawasi oleh Yang Maha Melihat.
Jangankan berbuat dosa, perbuatan halal tetapi bisa membatalkan puasa, kita pun enggan melakukannya.
Ambil contoh di siang hari selama Ramadan, meski ada sebotol minuman segar di lemari es. Dan itu halal karena milik kita. Kebetulan juga tidak ada orang di rumah. Tapi, kita tidak mau meminumnya. Sebab, kita tahu itu akan membatalkan puasa.
Padahal, bisa saja kita meminumnya, lantas melanjutkan puasa. Toh, tidak ada yang tahu bila puasa kita hanya berpura-pura karena sudah berbuka duluan.
Namun, kita tidak mau melakukannya. Sebab kita merasa diawasi oleh Yang Maha Mengawasi. Karena merasa diawasi, kita malu bila melakukannya Kita punya 'rem' untuk tidak meminum botol air segar itu.
Sikap merasa diawasi oleh Allah SWT sehingga kita mengerem diri untuk tidak melakukan perbuatan yang tidak boleh inilah yang menjadi 'warisan' penting Ramadan.