Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Tontowi, PBSI, dan Momentum untuk Lebih Menghargai "Pahlawan Olahraga"

20 Mei 2020   14:28 Diperbarui: 21 Mei 2020   09:51 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tontowi Ahmad (Kanan) ketika berpasangan dengan Winny Octavina. Senin kemarin, Tontowi menyatakan mundur dari Pelatnas. Dia memilih gantung raket demi bisa lebih dekat dengan keluarganya. Mundurnya Tontowi menjadi momentum untuk bisa lebih menghargai atlet.| Foto: Badminton Indonesia

Ketika pebulu tangkis senior, Tontowi Ahmad, memutuskan mundur dari Pelatnas PBSI lewat pengumuman di akun Instagramnya, Senin (18/5/2020) lalu, banyak dari kita yang mungkin berpikir itu hal biasa.

Biasa karena dalam olahraga--termasuk bulu tangkis, pensiun, mundur, gantung raket atau apapun istilahnya, itu menjadi sebuah keniscayaan. Sebab, setiap atlet yang tampil, sejatinya dibatasi usia. Mereka tidak bisa melawan usia.

Seberapapun hebat seorang atlet, ketika usia semakin bertambah, pada akhirnya ia akan menyerah. Memilih mundur demi membukakan jalan bagi atlet-atlet muda untuk mendapat giliran naik panggung. Kita terbiasa menyebutnya dengan regenerasi.

Namun, mundurnya Tontowi Ahmad itu ternyata tidak selesai hanya dengan kata "demi regenerasi" itu. Sebab, mundurnya atlet peraih medali emas Olimpiade 2016 ini ternyata memunculkan dinamika baru.

Dinamika baru itu tidak hanya melibatkan Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) sebagai organisasi yang menaungi bulu tangkis di negeri ini. 

Mantan-mantan atlet Pelatnas PBSI juga ikut bersuara. Lebih tepatnya mengkritik sekaligus memberikan saran. Namun, bukan kritikan buta. Tapi kritikan yang didasari rasa sayang agar ada perbaikan di PBSI.

Klarifikasi PBSI
Jadi begini, selepas mundurnya Tontowi, beberapa media arus utama maupun akun media sosial yang biasanya mengulas bulu tangkis, menampilkan curhatan Owi--panggilan Tontowi.

Betapa sejak awal tahun 2020 ini, Owi yang merupakan pebulu tangkis senior sarat prestasi dan beberapa kali mengharumkan bangsa ini, distatuskan sebagai atlet magang oleh PBSI. 

Melansir dari Tribunnews, Owi mengaku agak keberatan dengan status itu karena status magang itu umumnya dari atlet junior yang akan masuk ke Pelatnas.

Seperti diketahui, selepas pensiunnya mantan partnernya, Liliyana Natsir di awal 2019, selama tahun 2019 lalu, Owi dimainkan bersama Winny Octavina (21 tahun). Sayangnya, keduanya sulit berprestasi meski diturunkan di beberapa turnamen.

Owi/Winny tak mampu--untuk tidak menyebut gagal--melewati ranking dua pasangan ganda campuran Indonesia yang ranking BWF-nya paling tinggi saat ini, Praveen Jordan/Melati Daeva dan Hafiz Faizal/Gloria Widjaja. Maka, di awal 2020, status Owi pun berubah menjadi "atlet magang".

Nah, penilaian "gagal" dan langsung menjadi atlet magang itu yang agaknya membuat Owi kecewa. Seolah, pencapaian hebatnya selama bertahun-tahun sebelumnya, dilupakan begitu saja.

"PBSI itu organisasi yang bisa mengayomi dan menghargai anak buahnya. Contoh saya yang sudah berprestasi, saya tahun kemarin masih peringkat satu dunia. Saya baru dicoba satu pasangan walaupun belum pernah masuk semifinal, tapi saya sudah kalahkan pemain top 10. Maksudnya saya tak sejelek itu yang harusnya langsung dibuang," ujar Tontowi seperti dikutip dari Tribunnews.

Merespons curhatan Owi tersebut, PBSI melalui Kabid Binpres Susy Susanti menyampaikan klarifikasi. Susy menjelaskan kronologisnya. Bahwa, setelah Liliyana mundur, Owi dipasangkan dengan Winny dan diberi kesempatan untuk bersaing dengan pasangan ganda campuran lainnya memperebutkan tiket ke Olimpiade 2020.

Melansir dari Badminton indonesia, sepanjang tahun 2019 lalu, Owi/Winny mengikuti 19 turnamen. Hasil akhirnya, poin ranking mereka masih terlalu jauh untuk lolos kualifikasi Olimpiade. Mereka masih belum bisa melampaui peringkat Praveen/Melati dan Hafiz/Gloria.

Lantas, ketika pemberlakukan promosi dan degradasi di awal tahun 2020, Kepala Pelatih Ganda Campuran PBSI Richard Mainaky melaporkan bahwa Winny akan dipasangkan kembali bersama partner sebelumnya, yakni Akbar Bintang Cahyono.

"Otomatis kan kalau kembali berpasangan dengan Akbar, berarti Winny tidak berpasangan lagi sama Tontowi dan situasi ini membuat Tontowi sementara itu belum ada pasangan main," ujar Susy.

"Namun di situasi seperti itu, PBSI tetap memberikan kesempatan kepada Tontowi, tetapi dengan status SK (Surat Keputusan) Magang, karena belum punya pasangan tetap," lanjut Susy seperti dikutip dari Badminton Indonesia.

PBSI sempat berencana memasangkan Tontowi dengan Apriani Rahayu (22 tahun), pemain ganda putri. Namun, mereka belum sempat tampil. Lantas, wabah corona menghentikan semua turnamen BWF sejak pertengahan Maret lalu.

Susy menambahkan, persoalan masih menggantungnya pasangan main serta target inilah yang membuat PBSI memberikan SK Magang kepada Tontowi dengan kesempatan empat kali try out. Apabila hasilnya baik, maka akan ada reward berupa extra try out untuk Tontowi, hal ini juga berlaku bagi semua atlet pelatnas.

Susy juga menegaskan bahwa di tahun 2020, PBSI harus bijak dalam mengatur prioritas hingga anggaran pengiriman pemain terutama bagi mereka yang diprogramkan untuk Olimpiade Tokyo 2020.

Mengapa Tontowi/Winny tak mampu bersinar?

Saya tidak mau berpolemik membela siapa yang benar dan siapa yang salah dalam urusan ini. Tontowi punya alasan sendiri yang bila dilihat dari pandangan orang awam, memang rasanya kurang pas menjadikannya "anak magang" setelah 15 tahun pengabdiannya.

Sementara PBSI juga punya alasan sendiri. Utamanya perihal poin, sudah diberikan kesempatan bermain selama kalender turnamen satu tahun lantas dievaluasi. Dan promosi degradasi itu memang biasa terjadi setiap tahun di PBSI.

Namun, bilapun Tontowi dibilang gagal ketika berpasangan dengan Winny pada 2019 lalu, terlepas dari pemainnya, tentu itu juga kembali lagi kepada keputusan sang pelatih dan PBSI yang memilihkan pasangan untuk Owi.

Memang, Winny ketika berpasangan dengan Akbar Bintang Cahyono, mereka sudah ada chemistry-nya. Sudah pernah juara. Bahkan, Winny bisa dibilang seorang rising star. Namun, ketika berpasangan dengan Tontowi, Winny harus beradaptasi lagi. Termasuk Owi. Belum lagi beban mental anak muda yang berpasangan dengan seniornya.

Jadi, tidak bisa sekadar menyalahkan "Owi tidak bisa membimbing Winny". Atau menyebut "Owi tanpa Liliyana tidak bisa apa-apa". Lha wong Liliyana sendiri, di akun IG nya menyebut Owi sebagai "partner yang sudah membawa saya menaiki puncak prestasi tertinggi di bulu tangkis".

Padahal, ketika baru dipasangkan dengan Liliyana, Owi waktu itu juga masih minim jam terbang sementara Liliyana sudah juara dunia bersama Nova Widianto. Toh, mereka akhirnya bisa nyetel.

Pertanyaan saya, bila boleh membandingkan, mengapa China bisa langsung berhasil ketika 'menceraikan' pasangan top Zheng Siwei/Chen Qingchen lantas memasangkan Siwei dengan Huang Yaqiong. Bukankah itu kehebatan pelatihnya yang punya insting tajam dalam memasangkan atletnya.

Kita tahu, Siwei/Qingchen pernah jadi ranking 1 dunia dan mendominasi turnamen. Namun, mereka sering kesulitan kala melawan Tontowi/Liliyana. Termasuk kekalahan mereka dari Owi/Liliyana di final Kejuaraan Dunia 2017.

Lantas, Siwei dipasangkan dengan Yaqiong yang dulunya berpasangan dengan Lu Kai dan sempat jadi juara All England. Karena Lu Kai cedera, maka Yaqiong dipasangkan dengan Siwei. Sementara Qingchen difokuskan di ganda putri bersama Jia Yifan. Mereka sempat jadi ranking 1 dunia dan juara dunia 2018.

Yang terjadi kemudian, Siwei/Yaqiong langsung menjelma jadi pasangan yang mendominasi ganda campuran. Bahkan, Tontowi/Liliyana kesulitan "menemukan obat" untuk mengatasi mereka. Hingga kini, Siwei/Yaqiong masih jadi ranking 1 dunia.

Mengapa kok Siwei/Yaqiong bisa langsung nyetel sementara Owi/Winny justru tidak bisa seperti mereka?

Tentu saja ada banyak faktornya. Tapi yang jelas, bermain ganda bukan tentang kehebatan orang per orang. Tapi bagaimana mereka dibentuk menjadi pasangan yang "sehati". Dan itu terkadang butuh waktu lama. Ya, bukan tugas mudah menyatukan dua orang menjadi pasangan hebat di lapangan.

Mengutip ucapan Owi, dirinya baru dipasangkan dengan satu pasangan dan seolah langsung divonis. Padahal, PBSI juga punya beberapa pilihan pemain yang bisa dipasangkan dengan Owi seperti juga disuarakan beberapa badminton lovers (BL) Indonesia.

Semisal, mengapa tidak dari dulu mencoba memainkan Tontowi dengan Apriani yang meski masih muda, tapi punya jam terbang lebih dari Winny karena sering juara di turnamen BWF World Tour bersama Greysia Polii di ganda putri. Ada juga nama Ni Ketut Mahadewi yang juga berpengalaman main di ganda putri.

Memang, bila begitu, Apri atau Ni Ketut akan bermain dobel di ganda campuran dan ganda putri. Toh, dulu Chen Qingchen (yang oleh BL Indonesia dijuluki "Dora") pernah melakukan itu dan berhasil. Namun, pada akhirnya, bagaimanapun, PBSI yang lebih tahu soal ini.

Mantan pemain Pelatnas ikut bersuara
Pada akhirnya, ada yang lebih penting dari berdebat tentang status magang ataupun keputusan yang sudah lewat. Toh, Owi dalam wawancara dengan Tribunnews tersebut, tidak menjadikan status itu sebagai alasan utama dirinya mundur. Dia ingin punya lebih banyak waktu untuk keluarganya.

"Saya kira tak masalah, tapi PBSI maksud saya harus bisa menghargai. Saya atas nama pribadi tak ada dendam, tak ada masalah, saya pensiun juga masalah itu bukan alasan utama," ujar Owi.

Justru sekarang, yang lebih penting, bahwa mundurnya Tontowi ini jadi momentum bagi organisasi yang menaungi olahraga, untuk lebih menghargai atlet-atletnya yang telah berjuang sejak kecil demi bangsa.

Sebab, ternyata, mundurnya Owi itu seolah menjadi "pemancing sinyal". Ada beberapa mantan atlet Pelatnas yang lantas ikut bersuara. Membaca cerita mereka, kita akan sampai pada kesimpulan perihal pentingnya penghargaan bagi atlet.

Salah satu mantan pemain Pelatnas yang ikut bersuara adalah Sony Dwi Kuncoro. Peraih medali perunggu tunggal putra di Olimpiade 2004 ini menuliskan secuil cerita pengalamannya lewat akun Instagramnya.

Arek Suroboyo ini berkisah, tahun 2014 lalu dirinya meninggalkan pelatnas PBSI dengan cara yang menurutnya kurang menghargai dirinya yang sudah 13 tahun di Pelatnas. Pada waktu itu, Sony berusia 29 tahun dan masih ranking 15 dunia.

"Bagaimana tidak, pertama kali saya tahu berita tentang degradasi melalui koran. Beberapa hari saya tunggu tidak ada pembicaraan dari pengurus, akhirnya saya menanyakan surat keluar agar saya mendapat kepastian," ujar Sony.

Sony pun memberi saran agar cara degradasi atlet Pelatnas, bisa lebih menghargai atlet. Apapun prestasinya selama membela Indonesia. Sebab, atlet mulai dari kecil memilih menjalani hidup di badminton, meninggalkan sekolah, dan keluarga demi kesempatan bermain.

Menurutnya, dengan memberikan penghargaan kepada atlet, apapun bentuknya (piagam atau sertifikat), akan berguna dan memberikan kebanggaan untuk masa depan sang atlet. 

"Kebiasaan ini harus diubah oleh siapapun pengurusnya. Perubahan harus dilakukan demi kebaikan anak cucu kita yang bercita-cita menjadi atlet bulutangkis," tulis Sony.

Selain Sony, ada pula mantan pemain ganda putra Pelatnas, Ricky Karanda Suwardi. Di akun Instagramnya, Ricky yang meraih medali emas SEA Games 2015 bersama Angga Pratama, bercerita bila 8 tahun di Pelatnas (2010-2018), dia tahu berita tentang degradasi melalui media sosial.

Pada akhirnya, saya yakin, curhatan Owi yang direspons Sony dan Ricky tersebut, bukan didasari karena kebencian terhadap induk organisasi bulutangkis. Tapi justru karena rasa sayang. Karena ada harapan agar PBSI bisa lebih baik lagi ke depan nya.

Ya, semoga ini menjadi momentum bagi kita agar lebih bisa menghargai seorang pahlawan olahraga yang telah berpeluh keringat di lapangan, rela jauh dari keluarga, rela 'menghabiskan' masa mudanya di lapangan demi mengejar impian berprestasi untuk bangsa.

Kita. Bukan organisasi olahraganya saja, tetapi juga kita -masyarakat dan warganet- yang selama ini sekadar menonton, membaca berita perjuangan mereka dan memberikan komentar di media sosial. Jangan ada lagi komentar sinis yang seolah melupakan jasa-jasa atlet pada bangsa ini.

Dan semoga, apapun dinamikanya, adik-adik kita yang tengah berjuang menjadi atlet bulutangkis yang membanggakan bangsa, tidak pernah patah semangat. Percayalah, kelak, kerja keras tidak mengkhianati hasil. 

Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun