Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hari Buku Nasional, Setop "Budaya" Minta Buku Baru Gratisan

17 Mei 2020   13:26 Diperbarui: 17 Mei 2020   13:29 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapan kali terakhir sampean (Anda) membaca buku?

Apakah sudah tidak ingat kapan karena saking lamanya tidak lagi membaca buku. Ataukah masa pandemi yang membuat kita lebih banyak di rumah, menjadi momentum untuk 'melahap' banyak buku.

Saya tergoda untuk memunculkan pertanyaan perihal buku ini karena hari ini merupakan "ulang tahun buku". Ya, hari ini, 17 Mei, merupakan Hari Buku Nasional sekaligus bertepatan dengan berdirinya Perpustakan Nasional.

Sebenarnya, buku punya dua 'ulang tahun. Sebab, selain Hari Buku Nasional, juga ada Hari Buku sedunia (World Book and Copyright Day) yang jatuh pada 23 April.

Nah, bila  buku sudah punya ulang tahun sedunia, mengapa di tingkat nasional juga masih diperingati? Bukan tanpa sebab bila pemerintah menetapkan Hari Buku Nasional. Harapannya, ini menjadi momentum untuk menggenjot minat baca masyarakat yang masih tergolong rendah.  

Padahal, aktivitas membaca buku ini sebenarnya tidak sulit. Lha wong tinggal mengambil buku, dibuka lembar demi lembar, dibaca sampai selesai. Sederhana saja kan.

Tapi memang, bila tidak ada minat membaca, tentunya susah. Bila tidak tertarik dengan buku, dipaksa dan dirayu pun akan susah. Apalagi, buku kini punya 'pesaing' lebih seksi bernama gawai yang bisa membuat orang betah berlama-lama dengannya.

Menulis buku itu tidak mudah
Ya, membaca buku sejatinya urusan sederhana. Semua orang sejatinya bisa melakukannya. Lha wong tinggal membaca saja. Bandingkan dengan menulis buku yang rumit dan butuh waktu lama.

Menulis buku, jelas bukan urusan mudah. Sampean (Anda) harus berproses kreatif untuk menuangkan gagasan dan menuliskan cerita yang ingin disampaikan melalui berlembar-lembar halaman kertas.

Proses menulisnya butuh waktu lama. Bisa berbulan-bulan. Belum lagi proses editing naskah yang juga butuh waktu. Lalu, memikirkan siapa yang menulis di kata pengantar buku (karena namanya pengantar, tentu ditulis orang lain).

Kemudian mendesain halaman muka (cover) dan tampilan halaman belakang bukunya. Lalu mengurus ke percetakan, ada hak ciptanya. Belum lagi melobi penerbit. Hingga bila selesai, bukunya akan dipasarkan dengan cara bagaimana, online atau offline.

Pendek kata, cerita berproses menulis buku dari awal hingga jadi, itu panjang ceritanya. Mungkin seperti cerita drama Korea yang kisahnya bersambung dari episode ke episode lainnya.

Saya pun pernah melalui proses panjang penulisan buku itu. Ketika menulis buku "self publishing" yang ditulis sendiri, dicetak sendiri, dijual sendiri. Untungnya tidak dibeli sendiri hehe.

Pernah juga merasakan mengirimkan naskah buku ke penerbit daring yang lantas bukunya dicetak dan dijual. Hasil penjualannya lantas dibagi antara penerbit dan saya selaku penulis.

Termasuk bila menulis buku sebagai "penulis hantu (ghost writer). Semisal menuliskan profil diri maupun profil usaha seseorang. Itu juga butuh beberapa kali proses wawancara. Lalu men-transkripnya ek dalam tulisan. Kemudian dirangkai menjadi tulisan. Diedit. Hingga disetujui untuk dicetak.

Pendek kata, menulis buku itu butuh usaha lebih dibandingkan membaca. Capek pikiran. Juga lelah badan. Bahkan, bila terlalu memforsir keinginan menuntaskan menulis buku, bisa berdampak pada kesehatan.  

Setop meminta buku gratisan ke penulis buku

Nah, merujuk semua uraian tentang perjuangan menulis buku, saya seringkali gregetan melihat respons dari beberapa orang ketika ada seorang kawan yang menulis buku, lantas bukunya selesai dan dipajang di media sosial.

"Selamat ya atas terbitnya bukunya. Boleh dong kirim satu buku ke rumah," begitu tulisan komentar di laman komentar

Ya, pernah merasakan beratnya berproses menulis buku, saya bisa berempati dengan mereka yang menulis buku. Rasanya gregetan bila membaca kalimat seperti itu. Meskipun kalimat itu bukan ditujukan untuk saya.

Dan memang, ada beberapa orang yang malah terang-terangan meminta buku secara gratisan. Tidak cukup gratisan, malah ditambahi permintaan plus tanda tangan penulisnya.

Kalau memang sudah berteman baik, apa salahnya meminta gratisan? Justru, bila merasa berteman baik, dia akan menjadi orang terdepan yang menghargai karya temannya. Bahkan ikut mempromosikan buku tersebut ke kawan-kawan lainnya.

Padahal, apa susahnya bila memberikan ucapan selamat atas terbitnya buku tersebut. Sembari memesan satu atau dua buku sebagai bentuk
'penghargaan' atas karya kawan tersebut.

"Saya pesan satu buku dikirim ke rumah ya, alamatnya via japri".

Sebetulnya, tidak susah menulis kalimat seperti itu dibandingkan bila menulis kalimat meminta gratisan yang menurut saya malah menyisakan beban psikologis. Kecuali bila tidak tahu malu.

Seorang penulis buku, dengan telah berproses panjang dalam menulis buku, dengan telah bersusah payah mengalahkan tantangan capek fisik dan lelah pikiran, seharusnya mendapatkan penghargaan lebih.

Nah, cara terbaik untuk memberikan penghargaan kepada mereka, bila memang situasi memungkinkan, tentu dengan membeli bukunya. Bukan meminta gratisan. Bukan pula membeli buku bajakannya.

Di rumah, saya menyediakan satu rak khusus untuk buku-buku yang merupakan karya dari kawan, dosen, dan juga kenalan yang saya kenal. Ada buku berisi kumpulan cerpen. Ada buku esai sepak bola. Hingga buku 'serius' tentang tema media sosial.

Bagi saya, rak buku khusus karya kawan-kawan itu penting. Sebagai tukang menulis, bila saya merasa jenuh dan lelah pikir, katalog buku-buku karya kawan itulah yang saya pandangi untuk menumbuhkan semangat menulis.  

Pada akhirnya, semoga momentum Hari Buku Nasional pada hari ini, tidak hanya menumbuhkan semangat untuk meningkatkan minat baca dan mengajak orang lain gemar membaca. Tetapi juga, menjadi pengingat bagi kita untuk lebih menghargai hasil karya orang lain. Dalam hal ini buku. 

Ya, hari gini maunya buku baru gratisan, malu ah. Salam.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun