Seorang pendaki gunung yang telah beberapa kali berhasil menaklukkan puncak gunung, lantas tak pernah mampu lagi mencapai puncak di pendakian berikutnya, berarti ada yang salah dengan pendaki tersebut?
Bisa jadi karena medan pendakian gunung yang didaki kali ini memang lebih sulit dibanding gunung-gunung sebelumnya. Bisa karena dia tidak lagi mendaki bersama pemandu hebat yang sangat mengenal medan dan tahu jalan menuju puncak.
Atau, bisa juga karena kondisi sang pendaki yang memang tidak lagi bugar seperti tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, 'baterai' staminanya tidak cukup untuk mencapai puncak.
Saya menggunakan pengandaian pendaki gunung tersebut untuk menggambarkan bagaimana perjalanan Manchester United di Premier League Inggris. Dari tim yang bertahun-tahun mendominasi liga dan paling sering juara, kini seperti kehilangan arah. Bak bulan yang setelah purnama, lantas berubah-ubah bentuknya.
Â
Saya mendadak teringat dengan kiprah Manchester United di Premier League setelah mengetahui tayangan video pendek di website resmi premierleague.com yang tayang Selasa (12/5/2020) kemarin.
Melihat video berdurasi 1 menit 30 detik tersebut pada kolom "latest video", kita seperti diingatkan bahwa kemarin, tujuh tahun silam, Manchester United merayakan gelar Premier League Inggris musim di 2012/13.
Video singkat tersebut diawali manajer legendaris United, Sir Alex Ferguson yang melangkah ke lapangan dengan iringan aplaus dari 'pagar kehormatan (guard of honour) yang dibuat pemain dan staf pelatih United.
Lamat-lamat, terdengar suara komentator: "There is only one and there will never be another" merujuk sosok Ferguson yang telah bekerja melatih United sejak tahun 1986.
Ya, hari itu merupakan momen kali terakhir Ferguson mendampingi anak asuhnya setelah 27. Periode 27 tahun yang lebih banyak momen manis ketimbang pahit.
Di era Premier League yang dimulai sejak musim 1992/93, dari 21 musim yang dijalani, Ferguson mampu 13 kali meraih gelar. Tidak ada manajer yang mampu menandingi pencapaiannya.
Jangankan menandingi raihan trofinya, bisa bertahan 27 tahun dalam satu tim, rasanya sulit bagi manajer/pelatih sepak bola masa kini. Sebab, tim-tim kini banyak yang bersikap pragmatis dan tak mau menunggu lama. Bila dua atau tiga musim tak mampu meraih tiga gelar, sangat mungkin dia akan dipecat.
Sudah tujuh tahun, Man.United 'puasa gelar'
Kembali pada momentum 12 Mei 2013 itu, United sejatinya sudah mengunci gelar Premier League di musim 2012/13 pada 22 April. Ketika mereka mengalahkan Aston Villa 3-0 di Old Trafford.
Kemenangan itu membuat Tim Setan Merah sudah unggul 16 poin dari peringkat dua, Manchester City. Mereka tidak akan terkejar oleh tetangga yang juga juara bertahan tersebut.
Toh, Robin van Persie dan kawan-kawannya tentu ingin memberi kado perpisahan berupa kemenangan untuk Ferguson. Dan memang, United menang 2-1 atas Swansea di laga terakhir itu.
Dengan gelar tersebut, total United sudah 20 kali jadi juara (bila digabungkan dengan 7 gelar di era Liga Inggris zaman old sebelum era Premier League dimulai musim 1992/93). United menjadi tim pengumpul gelar terbanyak. Melewati pencapaian 18 juara milik Liverpool yang tak pernah lagi bertambah sejak musim 1990.
Namun, sejak kepergian Ferguson, kita tahu apa yang terjadi pada United. Salah satu tim yang memiliki jumlah fans paling banyak di dunia ini tak pernah lagi bisa juara Liga Inggris.
Sudah empat pelatih yang coba didatangkan untuk meneruskan kejayaan United setelah ditinggal pergi Ferguson. Mulai David Moyes, Louis Van gaal, Jose Mourinho, dan Ole Gunnar Solskjaer. Itu belum termasuk Ryan Giggs yang menjadi interim-manager pada 2014.
Toh, semuanya belum bisa seperti Ferguson. Mourinho yang pernah tiga kali membawa Chelsea juara Liga Inggris, memang mampu memberi tiga trofi untuk United. Tapi bukan trofi Liga Inggris.
Pencapaian terbaik Mourinho di Liga Inggris bersama United hanyalah runner-up di musim 2017/18. Itupun tertinggal sangat jauh (19 poin) dari Manchester City (100 poin) yang juara bersama Pep Guardiola.
Selengkapnya, berikut pencapaian United setelah kepergian Ferguson: peringkat 7 di musim 2013/14, peringkat 4 di musim 2014/15, peringkat 5 di musim 2015/16, peringkat 7 di musim 2016/17, peringkat 2 di musim 2017/18, dan peringkat 6 di musim 2018/19.
Nah, di Liga Inggris musim ini, 2019-2020 yang sementara terhenti karena wabah Covid-19, United juga sudah tidak mungkin juara. Dari 29 pekan yang sudah dijalani, mereka baru ada di peringkat 5.
Artinya, sudah tujuh (7) tahun/musim, tim berjuluk The Reds Devils ini tak pernah lagi juara. Lalu, sampai kapan puasa gelar itu bakal berlangsung?
Fans United tentu ingin segera melihat timnya kembali merajai Premier League. Bila pun harus puasa gelar, mereka tentu tidak ingin mengulang sejarah buruk di masa lalu.
Ya, United pernah merasakan lebih dari empat dekade tidak mampu juara Liga Inggris. Mereka pernah 41 tahun menunggu gelar Liga Inggris. Tepatnya dalam kurun 1911-1952. Beruntung bagi fans United, karena sejarah itu terjadi sangat lama, mereka tidak jadi korban perundungan karena fakta itu.
Justru, korban "bullyan" beralih ke rival abadi mereka, Liverpool, yang tidak pernah lagi juara Liga Inggris sejak kali terakhir memenanginya pada 1989/90. Bahkan, di era Premier League, Liverpool tak pernah juara.
Namun, bila memang Premier League 2019/20 kembali berlanjut pada 1 Juni nanti setelah Pemerintah Inggris mengeluarkan izin, Liverpool yang butuh dua kemenangan lagi dari 9 pertandingan, tinggal menunggu hari untuk juara.
Bila begitu, beban akan beralih ke United. Bila ternyata mereka berlama-lama tidak lagi juara, United mungkin yang akan menjadi korban perundungan para warganet--tepatnya para haters.
Tiga alasan United "terjun bebas" setelah kepergian Ferguson
Sebenarnya, mengapa penampilan Manchester United bisa terjun bebas di enam atau tujuh musim terakhir setelah ditinggal Ferguson?
Kalaupun ditinggal Ferguson pergi, mengapa perubahannya langsung drastis? Mengapa mereka tidak bisa, semisal bila pun tidak juara, tetapi tetap konsisten berada di empat besar?
Pertanyan-pertanyaan tersebut memang bermunculan. Dan, jawabannya, tidak jauh dari pengandaian pendaki gunung yang telah saya tulis di paragraf awal tulisan ini.
Bahwa, seorang pendaki gunung yang telah beberapa kali berhasil menaklukkan puncak gunung, lantas tak pernah mampu lagi mencapai puncak di pendakian berikutnya, berarti ada yang salah dengan pendaki tersebut?
Pertama, bisa karena medan pendakian gunung yang didaki kali ini memang lebih sulit dibandingkan gunung-gunung yang telah ditaklukkan sebelumnya.
Maksudnya apa?
Bila Premier League kita ibaratkan sebuah gunung, meski nama kompetisinya tetap sama, tetapi kita tahu, di setiap musim kompetisi, tantangannya sangat berbeda.
Tantangan yang berbeda itu bisa berwujud para rival utama yang berbeda. Semisal di era pertengahan 90-an dan awal 2000-an, pesaing United untuk berebut gelar bisa dibilang "cuma" Arsenal. Baru ketika Jose Mourinho datang Chelsea pada musim 2004/05, peta berubah.
Tapi dalam tujuh tahun terakhir, ketika Manchester City dilatih Guardiola, ketika Liverpool dilatih Jurgen Klopp, ketika Chelsea sudah jadi tim papan atas, ketika Leicester 'naik kelas', ketika Tottenham sudah mampu menyalip Arsenal, situasinya sudah berbeda.
Belum lagi musim depan, Newcastle United diprediksi akan menjadi "tim kuat baru" di Liga Inggris seiring kekuatan uang dari pemilik baru. Banyak pemain bintang dikabarkan bakal bergabung ke Newcastle.
Pendek kata, rival-rival United untuk berebut gelar kini jauh lebih banyak. Karenanya, bila ingin bisa mendaki puncak dan berada di puncak sampai akhir, United harus bisa lebih kuat dan lebih konsisten dari para rival tersebut.
Alasan kedua, bisa karena sang pendaki tidak lagi mendaki bersama pemandu hebat yang sangat mengenal medan dan tahu jalan menuju puncak.
Kalau ini maknanya jelas. Bahwa, siapa manajer/pelatih yang memimpin tim United, sangat berpengaruh pada hasil akhir apakah mereka bisa sampai ke puncak atau tidak.
Bila merujuk nama yang sudah-sudah, David Moyes, Louis van Gaal, dan Jose Mourinho gagal. David Moyes memang bagus di Everton, tapi di United dia malah seperti gagap melatih. Van Gaal memang pelatih sarat gelar. Tapi dia tidak punya pengalaman di Premier League.
Bagaimana Mourinho? Kita tahu kualitas Mou. Tapi, dalam beberapa tahun terakhir, Mou mulai kehilangan pamor sering konsistensi Guardiola dan Juergen Klopp. Memang, dia bisa membawa United di peringkat dua di musim 2017/18. Namun, itu tidak cukup menyelamatkan kariernya.
Kini, di era Solskjaer, manajemen United sepertinya mulai bisa bersabar. Meski masih belum terlalu konsisten, tapi United mulai berlari di jalur yang benar. Minimal, mereka berpeluang lolos ke Liga Champions musim depan.
Alasan ketiga, bisa juga karena kondisi sang pendaki yang memang tidak lagi bugar seperti tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, 'baterai' staminanya tidak cukup untuk mencapai puncak.
Maksudnya, kondisi tim United dalam beberapa tahun terakhir memang tidak sekeren dulu. Bisa karena pembelian pemain yang antara harga dan kualitas ternyata tidak sesuai. Atau tidak adanya pemain penentu seperti ketika mereka memiliki Robin Van Persie saat juara musim 2012/13 atau Cristiano Ronaldo di masa pertengahan 2000-an.
Harapan di musim depan
Tapi menurut saya, United kini mulai on the track. Musim ini, perekrutan beberapa pemain terbilang sudah tepat. Aaron Wan Bissaka bagus. Harry Maguire juga berkembang. Terlebih Bruno Fernandes yang mampu menjadi ikon baru di lini tengah.
Andai musim depan, United bisa membeli dua atau tiga pemain baru yang tepat untuk memperkuat tim, andai Paul Pogba bisa menjadi dirinya yang sebenarnya, mereka bisa bersaing di papan atas. Menarik menunggu duet Pogba-Fernandes di tengah.Â
Terpenting, manajemen United perlu sedikit bersabar memberikan kesempatan pada Solskjaer. Lha wong Ferguson dulu butuh waktu lima tahun untuk membangun pondasi tim. Dia baru bisa juara Liga Inggris di musim keenam melatih United, tepatnya di musim 1992/93.
Pada akhirnya, pendaki gunung yang hebat, yang pernah sampai ke puncak, tidak akan pernah menyerah untuk bisa kembali ke puncak. Meskipun, tantangan medan yang dihadapi kini lebih susah. Tetapi sejatinya, bukan medannya, tapi tekad, mental, dan skill pendakinya yang paling menentukan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H