Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Gridiron Gang, Ketika Solidaritas Bukan Hanya Milik "Anak Manis"

9 Mei 2020   22:48 Diperbarui: 9 Mei 2020   22:39 2910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gridiron Gang, ketika sekumpulan remaja 'terbuang' yang dianggap pecundang karena perbuatan buruknya, mampu mengenyahkan ego, dan bisa bekerja sama demi mencapai tujuan bersama/Credit: Columbia Pictures


Dwayne Douglas Johnson. Penggemar film-film Hollywood bergenre action, pastinya paham dengan nama ini. Dwayne (48 tahun) yang memulai karier sebagai pegulat WWF dengan nama panggung The Rock, kini menjelma sebagai aktor papan atas Hollywood.

Tidak hanya menjadi aktor, dia juga tampil sebagai produser. Beberapa filmnya sukses besar. Bahkan, dia membuat sejarah sebagai the highest-grossing box-office stars of all time.

Menariknya, meski mengandalkan badan dan otot-otot besarnya, film-film Dwayne tidak hanya melulu soal berantem dan adu fisik. Ada juga film yang membawa pesan persaudaraan kuat. Salah satunya film Gridiron Gang yang tayang pada 2006 silam.

Film bergenre sports drama ini berkisah tentang solidaritas orang-orang yang dianggap 'noda' oleh lingkungannya. Mereka terbuang setelah melakukan tindakan melanggar hukum.

Gridiron Gang berkisah tentang sekumpulan remaja di pusat penahanan khusus di Los Angeles yang berlatih football (sepak bola ala Amerika) untuk mengembalikan harga diri mereka.

Para remaja di pusat penahanan khusus itu dihukum karena melakukan berbagai tindak kriminal. Beberapa di antaranya bahkan bergabung dengan gangster yang sangat dekat dengan aksi kriminal dan kematian. Mereka ditahan di penjara khusus remaja.

Cerita para berandalan yang berjuang mengenyahkan ego 

Di film ini, Dwayne Johnson berperan sebagai Sean Porter, petugas rehabilitasi di penjara tersebut. Menjalani tugasnya, Porter merasa frustasi dengan kemungkinan bila para remaja tersebut keluar dari penjara, mereka akan melakukan kejahatan lagi. 

Atau kemungkinan paling terburuk, mereka akan meninggal karena terlibat dalam tindakan berbahaya.

Karenanya, dia memikirkan cara agar bagaimana remaja itu benar-benar bisa keluar dari 'dunia hitam. Maka, dia pun berinisiatif membentuk tim football America di pusat penahanan tersebut.

Selain itu, sebagai mantan pemain football America (di kehidupan nyata Dwayne Johnson pun memang demikian), Porter berharap dengan membentuk tim olahraga, para remaja berandalan ini bisa berlatih bertanggung jawab dan juga bekerja sama.

Singkat kata, Porter ingin membuat para remaja yang sering dianggap pecundang itu bisa berusaha memperjuangkan kehidupannya. Mereka bisa menjadi manusia yang bangga dengan dirinya sendiri.

Bersama rekannya, Malcolm Moore yang diperankan rapper Xzibit, Porter berhasil membentuk tim fotball bernama Kilpatrick Mustangs. Mereka ingin ikut kompetisi. Hanya saja, waktu menuju kompetisi hanya menyisakan empat minggu.

Tentu saja, tidak mudah mengubah kepribadian dan kebiasaan remaja-remaja yang hobinya gegeran dan bikin konflik, menjadi pemain football yang disiplin. Ketika latihan banyak masalah terjadi. Utamanya perselisihan antar pemain.

Di sinilah hebatnya Dwayne Johnson. Dia cukup piawai menghidupkan sosok Porter sebagai pelatih yang keras, bersahabat dan punya kalimat-kalimat hebat untuk memotivasi timnya.

Porter tahu, dirinya dihadapkan pada tugas berat membantu anak-anak bermasalah itu keluar dari masalahnya. Namun, dia percaya football bisa membuat mereka jadi lebih punya tanggung jawab, dekat satu sama lain, punya rasa solidaritas, bekerja sama dan menjadi juara.

"Right now, you are all losers, but if you accept this challenge and stick with the program you are all going to be winners at the end," ujar Porter, saat meyakinkan pemainnya bahwa mereka bisa menjadi pemenang. Bukan pecundang.

Tentu saja, layaknya film-film genre seperti ini, kisah ini dibangun dari awal keterpurukan. Di pertandingan pertama, tim Mustang yang tampil kacau dan menonjolkan ego masing-masing, dibantai 38-0 oleh tim kuat Barrington.

Dicemooh, depresi dan tidak percaya diri, mereka lantas bangkit. Remaja berandalan itu mulai mau berlatih keras. Mereka mulai bisa memahami pentingnya solidaritas dan kerja sama sebagai tim. Mereka bahkan mulai bisa lebih dekat satu sama lain.

Pesan dari Gridiron Gang untuk Kita

Adegan terbaik film ini muncul ketika Porter berkeinginan membesuk ibunya yang tengah sakit keras di rumah sakit tapi berbarengan dengan jadwal latihan tim. Dia lantas memutuskan melatih.

Namun, Porter dibuat penasaran karena tidak ada satupun pemain yang berlatih. Ketika masuk ke kamar ganti pemain, ia mendapati pemainnya sudah menyiapkan rangkaian bunga untuk ibunya.

"Semoga dia cepat sembuh dan bisa melihat kami bermain," ujar salah seorang pemain.

Adegan ini menyentuh. Sebab, rasa simpati itu dilakukan oleh sekumpulan berandalan yang sebelumnya bahkan tak pernah peduli pada orang lain.

Pada akhirnya, dengan tim berisikan orang-orang yang sudah berasa seperti keluarga, yang punya rasa solidaritas dan bisa mengenyahkan ego, tim Mustangs akhirnya menang di laga play off atas lawan sama yang sebelumnya meng-KO mereka 38-0.

Ada banyak pesan bagus yang muncul dari film karya sutradara Phil Joanou serta penulis Jeff Maguire ini. Tentang setiap orang memiliki kesempatan berubah menjadi lebih baik. Tentang kemenangan dalam hidup yang harus diperjuangkan. 

Utamanya tentang pentingnya solidaritas dan persaudaraan dalam mencapai harapan yang ingin diperjuangkan.

Dari Gridiron Gang, kita bisa mendapat pencerahan. Bahwa solidaritas dan kemampuan bekerja sama itu bukan hanya milik 'mereka yang lurus' dan 'anak manis' yang dianggap baik oleh masyarakat.

Mereka yang dulunya pernah dicap buruk oleh lingkungannya, ternyata juga bisa bekerja sama satu lain. Bahkan mungkin, rasa solidaritas yang tercipta di antara mereka, bisa lebih kuat. Sebab, mereka harus lebih merasakan konflik dan kekecewaan sebelum menjadi saudara. Salam

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun