Bulan Ramadan kali ini sungguh tidak terlupakan bagi saya. Mungkin juga bagi semua yang menjalankan ibadah puasa. Pertama kali sepanjang umur bertemu Ramadan, baru kali ini kita justru diimbau untuk beribadah di rumah. Kita "dipaksa" merayakan Ramadan dari rumah.
Tidak ada lagi keceriaan anak-anak yang bersemangat ikut ke masjid untuk sholat Subuh berjamaah seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada lagi terdengar suara mereka pamit bersegera ke masjid bersama kawan-kawannya jelang Maghrib demi menikmati takjil. Ataupun kehebohan mereka ketika Sholat Tarawih.
Meski, semua 'keganjilan' itu sebenarnya sudah bisa dibayangkan sebelum Ramadan. Ketika beberapa pekan sebelum datangnya Ramadan, wabah coronavirus disease (Covid-19) belum ada tanda-tanda akan berakhir, kita sudah tahu bahwa bulan puasa kali ini akan berbeda.
Namun, yang tidak terbayangkan oleh saya adalah ketika harus melewatkan beberapa hari di awal Ramadan tahun ini di rumah sakit. Tentunya dengan perasaan khawatir. Sedih.
Apalagi di musim wabah virus seperti ini. Jelas, tidak ada yang ingin 'menginap' di rumah sakit. Semuanya ingin nyaman dan aman berada di rumah. Namun, momen sulit itulah yang harus saya hadapi selama beberapa hari pekan awal Ramadan.
Ceritanya, tepat pada Selasa pekan lalu, saya dan istri memeriksakan anak bungsu yang berusia 7 tahun ke dokter. Pasalnya, sejak hari Minggu, badannya terlihat kurang bugar. Meski dia masih mobile ke sana kemari bermain dengan kakaknya di rumah, tetapi kelihatan bila dia kurang fit.
Saya sebenarnya sempat merasa dia baik-baik saja. Memang, suhu badannya sempat tinggi, tetapi kemudian kembali normal. Nafsu makannya juga tidak ada masalah. Malah lahap.
Â
Namun, ketika diperiksa dokter, setelah ditanya apa saja keluhannya, ibu dokter itu menyarankan agar anak saya melakukan cek darah. Lantas, setelah cek darah, karena diberitahu hasilnya diambil siang, kami kembali ke rumah.
Selang satu jam kemudian, kami mendapat telpon dari laboratorium tersebut bahwa hasilnya sudah keluar. Dan, oleh dokter, kami direkomendasikan untuk segera membawa si bungsu ke Unit Gawat Darurat (UGD). Sebab, menurut hasil lab, bocah kelas 1 SD ini mengalami dengue fever. Trombosit nya rendah. Kondisinya bisa berbahaya bila tidak segera dirawat intensif.
Melihat ekspresi dokter yang cemas dengan kondisi anak saya, kami pun ikut panik dan buru-buru membawanya ke rumah sakit. Setelah menjalani pemeriksaan, lalu diinfus, sembari mengurus di bagian administrasi, anak saya pun harus dirawat inap.
Artinya, kami harus melewatkan beberapa hari Ramadan dengan berpuasa dan menginap di rumah sakit.
Saya dan istri pun harus berbagi tugas. Istri yang mendampingi si bungsu menginap di rumah sakit. Sementara saya menemani si kakak yang tetap di rumah dan juga masih melanjutkan puasanya.
Sebelumnya, saya harus wira-wiri. Dari rumah sakit kembali ke rumah, lantas kembali ke rumah sakit. Saya harus menyiapkan beberapa 'kebutuhan' istri mendampingi si bungsu 'pindah tidur' di kamar rumah sakit. Termasuk bekal untuk sahurnya. Â
Selama ke rumah sakit untuk beberapa jam, saya pun meninggalkan si kakak yang baru kelas 3 SD dan sedang berpuasa, sendirian di rumah. Sembari berpesan, bila ada tamu, jangan dibukakan pintu. Kembali ke rumah menjelang Ashar, lantas balik ke rumah sakit setelah berbuka.
Malam hari menjadi momen paling sulit. Ketika berpamitan dengan istri dan melihat si bungsu yang terlelap dengan 'belalai infus' melekat di tangannya. Ayah mana yang tidak terpukul melihat anaknya tertidur di atas bed di kamar rumah sakit.
Sekembali di rumah, berdua dengan si kakak, mendampinginya tidur. Ketika dia sudah terlelap, di tengah badan dan pikiran lelah seharian, masih ada 'pekerjaan rumah' yang harus diselesaikan. Ada beberapa pekerjaan menulis. Termasuk menulis untuk program Samber THR Kompasiana.
Sempat khawatir tidak bisa bangun sahur tepat waktu karena baru tertidur menjelang tengah malam. Syukur, bisa terbangun sekitar pukul 3 untuk menyiapkan makan minum sahur si kakak. Sahur seadanya sembari video call dengan istri. Bertanya kabar si bocah.
Tentu saja, berpuasa berjauhan dengan anak dan istri dan kepikiran anak sakit seperti itu, tidak enak. Apalagi, ke rumah sakit dalam situasi seperti sekarang, tidak mudah dikunjungi. Protokolnya ketat. Tidak boleh besuk pasien. Di rumah sakit tersebut, masuknya malah harus satu pintu yang dijaga petugas.
Malam ketika mengantarkan keperluan untuk istri, saya sempat tidak diperbolehkan masuk. Penjaganya sempat meminta istri yang keluar mengambil barangnya. Setelah saya beri penjelasan, dia memberi izin dan mengikuti saya ke kamar pasien. Baru setelah melihat situasi bahwa yang sakit anak kecil, dia memperbolehkan untuk masuk.
Alhamdulillah, situasi sulit seperti itu hanya berlangsung beberapa hari. Setelah dua hari menginap, lantas kembali melakukan cek darah, esoknya dokter menyampaikan si bungsu sudah diperbolehkan pulang.
Selasa (5/5) sore tadi, genap sepekan sejak awal masuk menginap di rumah sakit, setelah kondisinya terus membaik, si bungsu bisa menuntaskan puasa hingga maghrib. Itu untuk kali pertama pada Ramadan kali ini, dia bisa puasa penuh.
Tentu saja tidak mudah untuk meyakinkannya bahwa dia kuat berpuasa. Harus pandai mengatur waktu kapan dia tidur siang dan memberinya kesempatan bermain gawai. Untuk ulasan ini, bisa dilihat di tulisan saya sebelumnya di Kompasiana Samber THR https://www.kompasiana.com/hadi.santoso/5eafd206097f3651ed4f17a2/ngabuburit-kreatif-agar-anak-anak-kuat-bertemu-maghrib .Â
Ketika adzan Maghrib bersahutan, demi mendengar dia berteriak "Ma, sudah adzan" dan melihat dia semangat  berbuka puasa bersama si kakak, bila mengingat kejadian minggu lalu, rasanya seperti mbrebes mili meski tidak keluar air mata. Â
Pada akhirnya, saya percaya, selalu ada hikmah terselubung dalam setiap kejadian. Termasuk dari sakit yang dialami si bungsu. Bahwa, kami harus lebih waspada menjaga kesehatan anak-anak. Â Terlebih dalam situasi wabah seperti sekarang.
Termasuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar dan 'memagari' anak-anak untuk sementara tidak bermain keluar rumah. Sebab, di saat hampir bersamaan, ternyata ada anak tetangga dan bapaknya yang juga menjalani rawat inap di rumah sakit karena sakit yang sama.
Hikmah yang bisa saya rasakan, dia kini jadi lebih mudah ketika diberi nasihat. Bila sifat bandelnya mendadak muncul, kami hanya berujar guyon: "mau di-cek darah (disuntik) atau di-infus lagi ya". Seketika dia menurut.Â
Semoga kita semua, senantiasa dalam kondisi sehat. Sehingga, bisa merayakan Ramadan kali ini dengan keceriaan dan semangat untuk beribadah. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H