Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ramadan dan Harga Gula yang Tak Kunjung Turun

29 April 2020   23:09 Diperbarui: 30 April 2020   06:58 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang gula pasir di Pasar Induk Cikurubuk Kota Tasikmalaya | (KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA)

Definisi refreshing bagi keluarga saya tidak hanya bepergian ke tempat wisata seperti pantai ataupun taman hiburan. Jalan-jalan ke mall/pusat perbelanjaan, supermarket, ataupun ke pasar demi belanja kebutuhan keluarga, juga merupakan refreshing.

Kok bisa? Memang, namanya belanja, ujung-ujungnya pasti keluar duit. Tapi ketika memilih barang-barang yang akan dibeli sembari mengobrol atau melihat tingkah polah dua bocah ketika mereka ikut, itu sudah menyenangkan.  

Nah, karena sering menemani istri belanja kebutuhan sehari-hari tersebut, saya cukup hafal harga-harga kebutuhan pokok.

Bahkan, hafal fluktuasi harganya. Seperti telur, gula, minyak goreng, bawang putih dan bawang merah, cabai, hingga beras.

Namun, menjelang Ramadan, gula-lah yang paling menyita perhatian kami. Lebih tepatnya istri saya. Ada beberapa hal yang membuat gula jadi 'hits' bagi kami ketimbang barang kebutuhan pokok lainnya.

Pertama karena kebutuhan kami selama Ramadan. Menurut perhitungan istri, selama sebulan puasa, keluarga kami minimal butuh empat (4) kilogram gula pasir.

Itu karena ketika berbuka puasa maupun sahur, kami memang senang mengkonsumsi minuman teh manis hangat. Rasanya seolah hambar bila tanpa minuman yang hangat dan manis. Selain tentunya air putih.

Itu belum termasuk bila anak-anak minta dibikinkan mamanya puding dan agar-agar ataupun karena kebetulan ingin minuman yang segar-segar dan manis untuk berbuka puasa.

Mengapa kok minimal empat kilogram gula?

Karena kebutuhannya bukan hanya untuk Ramadan. Tetapi juga ketika lebaran, untuk unjung-unjung ke rumah kerabat, kami memang biasanya membawa bingkisan berisi barang kebutuhan pokok. Nah, gula menjadi 'bawaan wajib' alias harus ada.

Dengan perhitungan seperti itu, kami memang butuh gula dalam jumlah lumayan banyak. Meskipun tidak pernah terpikir untuk membeli dalam jumlah berkarung-karung. Sekadar membeli dalam jumlah secukupnya saja.

Masalahnya, harga gula kini tengah melambung. Sebelum Ramadan, harga gula pasir di pasar maupun toko kelontong sempat melambung. Rata-rata sudah ada di kisaran Rp 18.000 ataupun Rp 18.500 per kilogramnya. Malah pernah sampai Rp 20 ribu per kilogramnya.

Padahal, sebelumnya, harga gula pasir di pasaran, sempat awet di harga kisaran Rp 12 ribu. Kalaupun naik, kenaikannya hanya 500 rupiah ataupun 1000 rupiah saja.

Dengan harga Rp 18 ribu per kilogram dan membandingkan dengan harga sebelumnya, namanya ibu-ibu tentu akan berpikir panjang untuk membelinya dalam jumlah besar.

Lha wong, bila ada komoditas sama tapi beda selisih harga 2000 saja, bagi istri saya itu dianggap keuntungan besar. Mungkin bagi kebanyakan laki-laki, beda 2000 saja kok dipikirin.

Menjelang puasa, sempat ada harapan harga gula bakal sedikit turun. Sebab, di beberapa daerah, pemerintah daerahnya melakukan operasi pasar untuk menekan harga kebutuhan pokok.

Sekaligus untuk memberikan kemudahan bagi warga yang terdampak wabah coronavirus disease (Covid-19). Karena memang, wabah ini sangat berdampak terhadap daya beli masyarakat.

Yang terjadi, hingga memasuki bulan Ramadan, harga gula ternyata tidak kunjung turun. Gula tetap 'betah' di harga 18 ribu sekian. Informasi yang saya dapat, di beberapa supermarket, ritel hingga minimarket, kabarnya menjual gula dengan harga 12 ribu. Tetapi pembeli dibatasi hanya boleh membeli 2 kg atau 1 kg saja.  

Stok gula berkurang jadi penyebab harga melambung?

Sebenarnya, mengapa harga gula sempat melambung tinggi menjelang Ramadan lalu dan tetap bertahan hingga kini. Saya sempat mendapatkan jawaban ketika berbincang dengan salah satu anggota dewan untuk keperluan liputan dan editing majalah dewan.

Informasinya, stok gula memang sempat berkurang. Kekurangan suplai gula kepada masyarakat disebabkan musim panen yang mundur karena hujan. Sehingga, proses produksi dari pabrik gula menjadi terhambat.

Meski, keterlambatan itu kemudian cepat diatasi pemerintah. Seperti di Surabaya, dinas terkait di Pemkot Surabaya, memanggil produsen-produsen gula pasir.

Dari hasil pertemuan tersebut, mereka bersedia membantu Pemkot Surabaya dengan melepas stok gula dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) sehingga harga yang dijual kepada warga  terbilang cukup murah. 

Termasuk juga melalui kegiatan operasi pasar yang digelar di kecamatan-kecamatan, sehingga harga gula yang melambung tinggi di pasaran, bisa ditekan menjadi harga normal.

Termasuk upaya pemerintah melakukan impor gula rafinasi yang akan diproses menjadi gula pasir. Itu dilakukan untuk menstabilisasi harga gula agar tidak terus melonjak.

Pada akhirnya, sebagai warga dan juga konsumen, saya tentu berharap harga-harga kebutuhan pokok di pasaran tidak terus melonjak naik selama Ramadan dan di tengah wabah Covid-19 ini. Bukan hanya harga gula, tetapi juga harga telur dan minyak goreng. Minimalnya harganya yang relatif stabil, bisa terus stabil. Semoga.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun