Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Cerita Pembuat Masker Agar "Dapur Tetap Mengepul" di Tengah Wabah

19 April 2020   10:18 Diperbarui: 20 April 2020   06:58 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal April lalu, pemerintah membuat seruan penting. Bahwa, masyarakat yang beraktivitas  di luar rumah diwajibkan memakai masker.

Anjuran pemerintah ini didasari pada kondisi angka penyebaran coronavirus disease (Covid-19) di beberapa kabupaten/kota di Indonesia yang semakin meningkat. Jumlah pasien positif corona terus bertambah.

Seruan pemerintah itu ibarat membuat masker 'naik kelas' di mata masyarakat. Bila sebelumnya, masker sebagaimana standar World Health Organization (WHO) hanya diperuntukkan bagi orang yang sakit, sejak itu situasi dan kondisinya sudah berubah.

Merujuk pada seruan terbaru pemerintah tersebut, masker harus digunakan oleh setiap orang yang sedang berada di luar rumah. Baik mereka yang sakit ataupun mereka yang sehat. Semuanya harus memakai masker.

Perubahan itu bukan tanpa dasar. Seruan terbaru dari pemerintah itu juga merujuk pada rekomendasi terbaru WHO yang menyatakan bahwa penggunaan masker kini tidak hanya untuk orang sakit. Masyarakat yang sehat, juga harus mengenakan masker ketika keluar rumah.

Nah, seruan itu berdampak pada masyarakat. Kabar bagusnya, kali ini dampaknya positif. Di kota tempat saya tinggal, ada banyak masyarakat yang mulai sadar untuk memakai masker. Meski belum semuanya. Namun, setidaknya, sudah muncul kesadaran.

Kabar bagus lainnya, seruan memakai masker itu ternyata menjadi peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan penghasilan. Mereka yang punya kemampuan menjahit, lantas menangkap peluang usaha dengan membuat/memproduksi masker bikinan sendiri. Lantas menjualnya.

Bagi mereka, itu upaya untuk bertahan hidup di era wabah yang belum jelas entah kapan akan berakhir. Itu upaya untuk mendapatkan tambahan atau bahkan pemasukan utama agar 'dapur tetap mengepul'.

Karena memang, sejak wabah Covid-19 menjadi pandemi, ada banyak pekerja harian yang kesulitan mendapatkan pemasukan. Malah, ada beberapa orang yang dirumahkan.

Upaya bertahan dari ancaman merumahkan


Dari beberapa orang yang kreatif menangkap peluang di tengah wabah, salah satunya Kuncarsono Prasetya. Sejak dulu, rekan Kompasianer di Surabaya ini memang sudah punya usaha konveksi. Dia punya beberapa karyawan.

Sejak beberapa tahun lalu, dia memproduksi souvenir. Utamanya produk kaos bermerk Sawoong yang mengulik tentang cerita sejarah Surabaya sebagai tema kaosnya. Sejarah memang bidang yang sangat dicintai dan dikuasai Kuncarsono.

Nah, di era wabah Covid-19, di era semua orang butuh masker seperti sekarang sesuai anjuran pemerintah, Kuncar--panggilannya, mengubah arah bisnisnya. Untuk sementara dia tidak lagi memproduksi kaos. Dia beralih memproduksi masker non-medis (kain).

Pekan lalu, di akun IG nya, Kuncar menulis sebuah pengumuman penting. Bunyinya begini:


"Kami berubah haluan. Dari bikin kaos, sekarang produksi masker secara besar-besaran Cap Lockdown. Ini menyusul kewajiban pakai masker oleh pemerintah. Pembelian disiapkan untuk kebutuhan donasi masker, reseller, atau untuk keluarga sendiri".

Sejak itu, pembelinya berdatangan ke rumah yang juga pusat produksi maskernya yang berlokasi di Jalan Makam Peneleh Surabaya. Ada pembeli yang memesan banyak untuk kebutuhan donasi. Ada yang untuk dijual kembali (reseller). Ada pula yang memesan untuk kebutuhan sendiri maupun keluarga dan kerabat.

Bahkan, di postingan status Facebook nya beberapa hari lalu, mantan wartawan ini mengumumkan bila pabrik maskernya mendapatkan order ribuan masker dari petinggi BUMN.

Itu kabar yang luar biasa. Bukan hanya bagi dia dan keluarganya. Beberapa karyawannya juga pasti bungah (senang) karena bisa tetap bekerja dan mendapat pemasukan ketika ada banyak orang lain "dipensiun dinikan".

Menurut Kuncar, apa yang dia lakukan dengan memproduksi masker non medis tersebut, merupakan bagian ikhtiar untuk membangun optimisme bersama di tengah wabah. Termasuk juga memberikan kemanfaatan kepada sesama, minimal untuk beberapa karyawannya yang tentu saja juga punya keluarga.

"Ini upaya-upaya bertahan dari ancaman merumahkan," tulis Kuncar di akun media sosialnya.

Mencari tambahan pemasukan di tengah situasi sulit


Lain lagi dengan cerita Wahyu Triatmojo. Sejak wabah Covid-19 melanda, dia bersama sang istri, mencoba menangkap peluang untuk memproduksi masker sendiri. Meski, jumlah masker yang diproduksinya masih dalam jumlah terbatas.

Berbekal kemampuan menjahit istrinya setelah mengikuti pelatihan di Pahlawan Ekonomi (program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang digagas oleh Pemkot Surabaya), skill menjahit itu lantas dioptimalkan. Sekira dua pekan lalu, dalam sehari, istrinya mulai bisa memproduksi rata-rata 10 masker kain dengan corak keren.

Berbekal kemampuan menjahit dari pelatihan "Pahlawan Ekonomi", istri Wahyu kini memproduksi masker pesanan tetangga dan rekan kerja di rumahnya/Foto: istimewa
Berbekal kemampuan menjahit dari pelatihan "Pahlawan Ekonomi", istri Wahyu kini memproduksi masker pesanan tetangga dan rekan kerja di rumahnya/Foto: istimewa
Oleh Wahyu, masker bikinan istrinya itu lantas dipasarkan melalui media sosial. Baik ke teman-temannya di kantor tempatnya bekerja, maupun di beberapa grup chat WhatsApp yang dia ikuti. Hasilnya, responnya lumayan. Dia menerima cukup banyak pesanan.

"Kemarin bahkan sempat ada pesanan 100 masker dari ibu-ibu PKK di tempat tinggal saya. Tapi, istri belum bisa memproduksi sebanyak itu. Apalagi masih ada anak kecil di rumah," ujarnya.

Ketika mengantar masker pesanan saya, bapak dua anak ini bercerita, sebenarnya, akan bagus bila istrinya bisa berkolaborasi dengan tetangga yang juga punya kemampuan menjahit. Namun, kata dia, para tetangganya kini juga berusaha membuat masker sendiri di rumah.

"Ada beberapa orang yang juga membuat masker sendiri mas. Ya memang ini peluang untuk mencari tambahan pemasukan. Kalau kata teman-teman, mencoba tetap bertahan hidup di tengah situasi sulit seperti sekarang," imbuhnya.

Sebelumnya, pria yang sehari-hari bekerja sebagai 'tukang shooting' di instansi pemerintah ini membuka warung kopi untuk menambah penghasilan. Namun, itu tidak berjalan seperti harapannya.

Terlebih ketika pemerintah menyerukan physical distancing agar masyarakat tidak berkumpul di satu tempat, yang membuat warung kopi kini sepi pengunjung. Karenanya, dia mencoba menangkap peluang lain.

Kuncar dan Wahyu hanyalah dua contoh dari mereka yang berupaya menangkap peluang usaha di tengah wabah. Sejak bulan lalu, beberapa kawan, kerabat, dan juga beberapa tetangga di tempat tinggal saya, mulai menjadikan masker sebagai peluang untuk mendapatkan pemasukan tambahan.

Meski tidak memproduksi sendiri tetapi sekadar menjadi re-seller dengan membeli masker dari 'pihak pertama', untuk kemudian dijual kembali. Tentu saja, keuntungan yang didapat tidak sebesar semisal memproduksi sendiri dengan mengandalkan kemampuan jahit dan kain.

Namun, semua itu, upaya untuk menyediakan masker untuk orang lain, perlu diapresiasi. Minimal, mereka jauh lebih baik dari mereka yang tega menimbun masker dalam jumlah banyak untuk kemudian dijual dengan harga berlipat-lipat. 

Ikhtiar berjualan dan membuat masker sendiri itu tidak hanya tentang cerita demi menjaga asap dapur agar tetap mengepul. Tetapi juga bagaimana memastikan orang lain agar bisa tetap bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk keluarganya di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja seperti yang kita lihat dari berita di media.

Pada akhirnya, tidak ada ikhtiar yang sia-sia. Sebab, setiap usaha akan menjadi cerita. Setiap tetesan keringat akan menjadi makna. Dan, itulah yang akan menjadi cerita bahagia.

Sebagai penutup, sekadar mengingatkan, jangan lupa memakai masker bila harus beraktivitas di luar rumah. Bila dulu, ketika bertemu orang yang tidak memakai masker, mereka beralasan sulit mendapatkan masker yang terbilang langka, kini tidak ada lagi alasan itu.

Lha wong masker non medis/kain kini sudah mudah didapatkan. Termasuk yang berkelebihan materi, tergerak mendonasikan masker kepada mereka yang mungkin tidak sempat terpikir untuk membelinya.

Dengan memakai masker, kita tidak hanya melindungi diri sendiri dan keluarga. Tetapi juga membantu mereka yang berusaha tetap bertahan di era wabah. Salam sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun