Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita yang Sering Memaknai Isra Miraj dari "Bungkusnya" Saja

23 Maret 2020   10:20 Diperbarui: 23 Maret 2020   12:44 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Isra Miraj menjadi momentum untuk melihat kembali bagaimana kualitas sholat kita/Foto: Tribunnews.com


Ada banyak dari kita yang tahu arti dari Isra dan Miraj. Sebagai muslim, kita mungkin bisa dengan mudah menjawab arti dari Isra dan Miraj.

Kita mengingat Isra adalah peristiwa di malam yang agung ketika Nabi Muhammad diperjalankan oleh Allah secara fisik dari Mekah ke Masjid Al Aqsa di Yerusalem. Dari sana, Nabi Muhammad kemudian dinaikkan, menembus pintu-pintu langit hingga ke Sidratul Muntaha. Peristiwa inilah yang dinamakan Mi'raj.

Banyak dari kita mungkin juga paham, bahwa Isra Miraj merupakan penghiburan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad yang di tahun itu dilanda kesedihan luar biasa. 

Rasulullah bersedih setelah dua manusia yang paling beliau cinta dan paling gigih membela dakwahnya, yakni pamannya, Abu Thalib dan istrinya, Ummul Mukminin Khadijah r.a dipanggil kembali oleh Sang Pencipta.

Tahun itu adalah Tahun Duka. Allah sendiri lah yang kemudian memberi Nabi Muhammad "hadiah pelipur sedih" berupa peristiwa mukjizat yang diyakini terjadi pada malam 27 Rajab tersebut.

Tidak mengherankan bila banyak orang paham arti Isra Miraj. Lha wong sejak masih di sekolah dasar, kita sudah dikenalkan dengan peristiwa luar biasa ini. Dulu di sekolah, setiap tahunnya selalu mengadakan perayaan Isra Miraj. Di acara itu, tentu saja ada guru yang menerangkan definisinya.

Wawasan kita tentang Isra Miraj semakin bertambah luas ketika khotib Sholat Jumat lewat khotbahnya, juga menyampaikan makna yang lebih dalam tentang perjalanan luar biasa ini. 

Hampir setiap tahun, ingatan kita tentang Isra Miraj, seperti di-refresh oleh para pengkhotbah maupun ustadz di forum-forum kajian keagamaan. Pendek kata, kita paham arti dari Isra Miraj ini. Bahkan sangat paham.

Hanya saja, meski sudah sebegitu sering dijejali wawasan dan makna dari Isra Miraj, tidak sedikit dari kita yang sebatas paham konteksnya saja. Bukan paham esensinya.

Tidak sedikit dari kita yang sekadar tahu "bungkusnya Isra Miraj" tapi kurang paham isi di balik peristiwa tersebut. Tahu sekadar tahu, tanpa menjalankan dan meresapi makna dari Isra Miraj dalam kehidupan sehari-hari.

Isra Miraj momentum turunnya perintah sholat  

Kita juga pernah mendengar, ketika Miraj di Sidratul Muntaha, Rasulullah bertemu langsung dengan Sang Khaliq, Allah SWT. Nabi Muhammad mendapat perintah untuk menegakkan sholat lima puluh waktu sehari yang lantas dikurangi menjadi lima waktu saja.

Pertanyaannya, dengan memahami bahwa peristiwa Isra Miraj adalah momen ketika turun perintah sholat, apakah kita bisa menangkap makna pesan dari perintah tersebut?

Bahwa, ketika ibadah lain seperti bersedekah, berzakat, berpuasa, ataupun berhaji, perintah untuk mengerjakan ibadah-ibadah tersebut disampaikan Allah melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad.

Sementara untuk perintah sholat, Allah sendiri yang memanggil dan menyampaikannya kepada Rasulullah. Ini menjadi penegas betapa sholat itu punya makna yang sangat penting dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.  
Bila mampu menangkap pesan dari Isra Miraj ini, kita tidak akan berani 'bermain-main' dengan sholat merujuk pada pentingnya ibadah yang langsung diserukan oleh Allah kepada kita melalui Rasulullah.

Toh, nyatanya, banyak orang yang tahu makna dari Isra Miraj ini, tahu bila perintah sholat itu langsung datangnya dari Allah, tapi tidak semua dari kita bisa menjaga sholat yang lima waktu. Malah ada yang sekadar menjalankannya bila kebetulan ingat.    

Dalam kenyataannya, banyak orang yang menganggap pekerjaan itu lebih penting dari sholat. Bahwa, pekerjaan harus dituntaskan dulu sementara sholat dikerjakan belakangan. Malah ada yang merasa mengobrol 'ngalor ngidul' di warung kopi lebih penting dari sholat sehingga tetap melanjutkan mengobrol meskipun sudah "dipanggil".

Ada banyak dari kita yang ketika terdengar seruan sholat (adzan), menganggap bahwa itu sekadar penanda sudah masuk sholat. "Oh sudah masuk Ashar, oh sudah masuk Maghrib". 

Padahal, Adzan itu panggilan untuk sholat. Namanya dipanggil ya seharusnya menjawab. Menjawab dengan datang ke tempat seruan sholat itu.

Padahal, percaya tidak percaya, waktu ketika suara adzan itu dikumandangkan, ternyata sudah disesuaikan dengan kebutuhan kita sebagai manusia. Kok bisa?

Saya pernah merasakan itu ketika bekerja di sebuah instansi pemerintah selama sekitar lima tahun. Bahwa adzan itu punya makna yang luar biasa.

Ketika adzan sholat Dzuhur terdengar, itu ternyata waktunya bagi pekerja seperti saya untuk jeda. Setelah bekerja sejak pagi, setengah hari waktunya untuk beristirahat. Berwudhu dan sholat, ternyata bisa untuk menyegarkan pikiran. Begitu pula ketika Ashar, itu bak menjadi jeda periode kedua.

Isra Miraj, momentum melihat kembali kualitas sholat kita dan ucapan Rasulullah "arihna bi shalaah"

Tidak hanya memahami makna Isra Miraj sebagai waktu turunnya sholat. Peringatan Isra Miraj seharusnya juga menjadi momentum untuk "bercermin", menengok kembali bagaimana kualitas sholat yang kita dirikan selama ini.

Jangan-jangan, selama ini, kita hanya berprinsip yang penting sholat lima waktu tanpa memperhatikan kualitas sholat kita. Jadilah kita sholat di akhir-akhir waktu. Sholat menjadi prioritas kesekian dari sekian aktivitas kita sehingga ia dilaksanakan ketika merasa sudah longgar. Padahal, di awal waktu sholat, merupakan waktu istirahat.  

Tidak sedikit dari kita yang melaksanakan sholat merasa dikejar-kejar waktu. Terburu-buru. Kalau kata orang Sidoarjo: "gupuh kabeh".

Sehingga, sholat yang dikerjakan pun "super kilat". Cepat sekali selesainya. Surat dibaca cepat. Tidak ada tumakninah dalam pergantian rukun sholat. Dalam bahasa fiqih, seperti burung yang mematuk-matuk makanannya.

Saya jadi teringat momen keren ketika betapa senangnya Rasulullah jelang masuknya waktu sholat. Lantas, kepada Bilal, muadzin pertama umat Muslim, beliau berkata: "Yaa Bilal, arihna bi shalaah."

Ucapan itu diriwayatkan dalam hadits Abu Daud dan Ahmad.  artinya, "Wahai Bilal, Istirahatkan kami dengan shalat."

Maksudnya, Rasulullah berseru kepada Bilal untuk segera mengumandangkan adzan lantas sholat. Ucapan itu menjadi gambaran, betapa bergembiranya Nabi Muhammad ketika akan masuk waktu sholat. Di tengah rasa capek, Rasulullah mengistirahatkan diri dengan sholatnya.

Ucapan ini sungguh luar biasa. Bayangkan, sholat dianggap sebagai momentum untuk mengistirahatkan diri. Sebab, dengan sholat, dengan 'berkomunikasi' dengan Allah, beliau merasakan ketenangan, keteduhan, dan kesegaran karena saking khusyu nya.

Bagaimana dengan kita sebagai umatnya?

Rasanya, tidak sedikit dari kita yang belum bisa memperlakukan sholat sebagaimana seharusnya. Kita belum bisa sholat dengan kondisi terbaik. Yang terjadi, kita sholat dengan 'sisa-sisa' tenaga dan pikiran. Kita sholat ketika sudah capek dan tidak berpikir sholat akan bisa menghilangkan lelah pikiran itu.

Jadinya, sholat kita tidak istimewa. Kita merasa yang penting sholat. Sekadar merasa gugur kewajiban saja. Bila seperti itu, bagaimana bisa sholat mencegah diri kita dari perbuatan keji dan mungkar?

Seharusnya, kita yang membutuhkan sholat. Bukan malah merasa shoat sebagai beban. Kita butuh sholat bukan sekadar karena perintah dan juga pahala. Namun, karena sholat bisa membuat jiwa dan diri kita tenang. 

Pada akhirnya, bila sholat kita benar, perilaku kita juga benar. Semisal kita bisa menata sikap dan menata bicara yang bermanfaat dan tidak menyakiti orang. 

Karenanya, berbahagialah bila sampean bisa menerapkan ucapan "arihna bi shalaah" nya Rasulullah itu. Sebab, sampean tidak perlu repot-repot piknik  ke luar kota dengan biaya mahal untuk sekadar menenangkan pikiran. Sebab, dengan mendirikan sholat, pikiran sampean bisa menjadi lebih tenang.

Ya, orang yang sholatnya benar dan khusyu, orang yang bisa memaknai sholat dengan sebenar-benar makna, maka jiwanya akan tenang. Tidak mudah stress dalam menghadapi dinamika hidup. Lha wong kita sudah percaya pada Dzat Yang Maha Mengatur Hidup. 

Semoga tulisan ini, bisa menjadi cermin untuk melihat kembali bagaimana kualitas sholat kita. Termasuk bagi saya pribadi. Barokallah. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun