CEO Kubik Leadership, Jamil Azzaini punya quote menarik tentang kolaborasi. Menurutnya, hal terbaik dalam bekerja bukan saat Anda mampu menuntaskan sendiri pekerjaan Anda, tetapi teruji dan terbukti saat Anda berkolaborasi.
Bahwa, dalam ranah pekerjaan, tepatnya kompetisi dalam pekerjaan, kolaborasi dianggap sebagai kekuatan besar. Untuk memenangkan kompetisi, kita tidak bisa sendiri. Kita butuh kolaborasi.
Dulu, mungkin banyak orang yang berpikir sebaliknya. Berpikir bahwa, bila suatu pekerjaan masih bisa dikerjakan sendiri, mengapa harus mengajak orang lain.
Terlebih bila ranah nya sudah soal penghasilan. Konsep berpikir yang masuk akal, bila bekerja sendiri maka penghasilan yang diraih akan lebih banyak. Karena memang tidak dibagi dengan orang lain.
Namun, dengan persaingan di segala aspek kehidupan yang begitu ketat di era sekarang ini, orang memang membutuhkan kolaborasi. Tidak bisa dikerjakan sendiri. Dari usaha rumahan hingga menghidupkan media massa, semua butuh kolaborasi.
Pelaku usaha rumahan yang sekadar dikerjakan sendiri, semua tugas dari produksi hingga pemasaran dikerjakan sendiri, hasilnya pasti tidak akan sebanyak usaha sejenis yang dikerjakan dengan kolaborasi melibatkan banyak tenaga.
Terlebih bila tenaganya itu terdiri dari beberapa spesialis. Semisal spesialis produksi, spesialis packaging, hingga spesialis pemasaran melalui media sosial. Hasilnya tentu akan keren. Itu baru satu contoh sederhana.
Ya, kolaborasi itu memang penting. Namun, kolaborasi tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus selektif dalam memilih orang yang diajak kerja bareng. Sebab, bila tidak, bukannya menjadi kekuatan, kerja bareng itu malah menjadi beban.
Merujuk pada pengalaman bekerja di beberapa tempat kerja yang melibatkan team work dan juga bekerja sebagai freelance yang mengharuskan bekerja dengan orang lain, ternyata ada banyak jenis "orang-orang ruwet" yang malah merepotkan bila diajak kolaborasi.Â
Menurut makna di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna ruwet ini adalah kusut, sulit, rumit.
Tentu, di masa awal mengajak bekerja sama, kita mungkin belum tahu apakah orang yang diajak berkolaborasi itu keren atau tidak. Namun, setelah bekerja sama beberapa kali, kita mungkin baru bisa tahu bagaimana komitmennya dalam bekerja. Kita bisa tahu, orang itu tepat atau tidak untuk diajak bekerja.
Nah, ketika mengetahui orang yang kita ajak atau mengajak bekerja sama itu ternyata ruwet, ribet, dan tidak asyik, ya cukup sekian dan terima kasih. Buat apa bekerja sama dengan orang-orang ruwet. Lebih baik mencari orang lain yang lebih asyik dan mau bekerja. Berikut beberapa tipikal orang-orang ruwet yang malah menjadi beban dalam berkolaborasi.
Orang yang mudah mengeluh dan bekerja semaunya
Bila bekerja sebagai tim, seharusnya beban kerja ditanggung bersama-sama. Bahwa, setiap tim dengan bagian kerja masing-masing, memiliki komitmen untuk menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin.
Akan repot bila dalam tim tersebut ternyata ada orang ruwet yang mudah mengeluh dan bekerja semaunya sendiri. Kerja maunya yang mudah tapi berharap dapat (duit banyak). Sementara bila dihadapkan pada kerja sulit, bawaannya mengeluh.
Saya pernah punya pengalaman bekerja dengan orang tipikal seperti ini. Selama bekerja sebagai penulis freelance, saya beberapa kali mendapat tawaran menulis buku. Baik menulis biografi sebagai ghost writer maupun buku profil instansi pemerintahan.
Nah, sebagai tukang menulis, tentu saya tidak bisa bekerja sendirian menuntaskan buku. Sebab, sebuah buku tidak hanya harus ditulis. Tapi juga harus ditata lay out halamannya. Baru dicetak. Artinya, saya harus berkolaborasi dengan teman yang ikut menulis dan juga seorang lay outer. Sebut saja tukang lay out.
Karena menulis buku untuk instansi pemerintah, tentu hasilnya harus sesuai dengan 'selera' mereka. Semisal cover bukunya, desain halaman, narasi, hingga foto-foto yang dipakai. Karenanya, harus siap-siap bila ada revisi ketika contoh buku sudah jadi.
Singkat cerita, buku jadi. Buku contoh tersebut lalu dicetak beberapa sebagai contoh. Nah, ketika dikoreksi, ternyata ada cukup banyak yang direvisi dan perlu diganti. Mulai cover, beberapa typo penulisan, desain halaman perlu dipercantik, hingga foto-foto yang diganti sesuai permintaan mereka.
Memang, kebetulan orang di instansi tersebut "rada cerewet". Mintanya banyak. Tapi memang, begitulah risiko mengerjakan buku "pesanan". Hasilnya tentu harus sesuai dengan selera si pemesan. Beda bila menulis buku sendiri.
Sebelumnya, beberapa narasi juga minta disesuaikan. Maksudnya, ada kalimat yang dipotong diganti semisal keterangan nomor telepon yang sudah berubah. Sebenarnya sederhana. Tapi bagi lay outer, memang harus mengubah dan menata lagi halamannya.
Bukannya bersemangat menuntaskan revisian, kawan penata lay out tersebut malah 'ngambek'. Mungkin merasa kerjaannya sudah bagus tapi ternyata malah banyak direvisi.Â
Sehingga, dia berat hati mengerjakan revisi-an tersebut. Ketika diajak berkumpul untuk menuntaskan revisian, dia sulit datang dengan berbagai alasan. Pesan lewat WA juga slow respons. Sementara deadline semakin dekat.
Akhirnya, saya dan sesama kawan penulis tersebut lantas mencari orang baru untuk menuntaskan buku tersebut. Ternyata, ada kawan yang meski 'bekerja jarak jauh', tapi dalam semalam bisa menuntaskan semua revisian itu.Â
Covernya diganti jadi lebih oke. Desain halaman juga lebih cantik. Semua typo juga sudah dibetulkan. Sementara orang sebelumnya. Ah sudahlah.
Pengalaman itu menyadarkan saya. Bahwa mengajak kolaborasi teman, meski niatnya menolong agar dia mendapatkan pemasukan, tidak bisa sembarangan. Harus selektif. Harus memilih orang yang memang mau bekerja. Tidak mudah mengeluh. Tidak ruwet.
Juragan yang perhitungan (untuk tidak menyebut pelit)
Selain mengerjakan buku, saya juga pernah merasakan bekerja sebagai editor di majalah bulanan milik sebuah instansi. Pekerjaan yang sebenarnya menyenangkan.
Sebagai editor, saya harus berkolaborasi dengan lebih banyak orang. Dengan juragan/atasan yang mendapatkan pekerjaan itu. Dengan beberapa kawan yang menulis. Juga berkomunikasi dengan instansi pemerintahnya.
Kebetulan, juragan itu memiliki dua kerjaan majalah di dua instansi berbeda. Saya hanya menjadi editor di salah satu majalah. Namun, beberapa kawan yang menulis dan desain lay out, ternyata dipekerjakan di dua majalah sekaligus.
Masalah muncul ketika urusan penggajian. Terkadang, gaji yang seharusnya diberikan awal bulan, molor beberapa hari. Meski, itu masih bisa dipahami. Tidak jadi masalah besar.
Namun, yang sulit dipahami adalah kawan yang bekerja sekaligus di dua majalah tersebut, ternyata digaji pas-pasan. Bahkan terbilang sedikit karena masih jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK). Pun, ketika pergantian tahun, kenaikan gaji yang mereka inginkan, ternyata hanya tidak seberapa.
Sementara, tenaga mereka "diperas" untuk memberesi dua majalah bulanan dengan deadline yang hampir berbarengan. Imbasnya, Â mereka mulai kehilangan semangat bekerja. Sebab, mereka merasa tidak mendapatkan reward yang seharusnya. Padahal, nilai kerjaan itu lumayan besar.
Idealnya, dalam pengerjaan majalah seperti itu, seharusnya satu majalah dikerjakan satu tim. Bukan dua tim untuk dua majalah. Tetapi, demi alasan efisiensi alias perhitungan, satu tim itupun dipaksa "kerja rodi" memberesi dua majalah.
Mungkin pola kerja seperti ini yang namanya prinsip ekonomi. Yakni mengeluarkan sedikit pengeluaran demi mendapatkan sebanyak-banyaknya pendapatan.
Padahal, mengerjakan media/majalah, tidak cukup dengan logika bisnis semata. Mempekerjakan orang tidak bisa sekadar berpikir profit oriented. Tapi harus ada pertimbangan humanis. Bagaimana memperlakukan orang lain dengan seharusnya.
Karenanya, tidak mengherankan bila kemudian beberapa kawan berniat resign. Mereka mulai mengajukan lamaran kerja ke tempat lain sebelum memutuskan mundur.
Dan memang, repot bila berkolaborasi kerja dengan orang yang super perhitungan. Orang yang maunya pekerjaan beres dan mendapat banyak pemasukan, tapi enggan memikirkan bagaimana kesejahteraan orang yang bekerja untuknya.
Orang yang sulit mengucap terima kasih
Dulu, ketika mengawali karier sebagai penulis lepas, saya pernah bekerja mengerjakan majalah dengan 'atasan' yang sulit untuk sekadar mengucapkan terima kasih.
Ketika beberapa tulisan sudah selesai dan dikirim via email, tidak pernah ada ucapan terima kasih. Yang ada malah menagih tulisan yang belum selesai. Pun, bila tulisan selesai, tidak ada ucapan suwun itu.
Sebenarnya itu tidak masalah. Mau orang berterima kasih atau tidak, itu hak nya dia. Sebagai pekerja, rasanya kita juga tidak berharap mendapatkan ucapan terima kasih dari pekerjaan yang kita lakukan. Terpenting fee kerjaan beres.
Namun, sikap seperti ini menunjukkan bahwa orang tersebut tidak bisa menghargai jerih payah orang lain. Dia mungkin tidak paham betapa menyelesaikan tulisan itu tidak mudah. Tidak sekadar menggabungkan huruf demi huruf.
Dalam konteks mental, ucapan terima kasih juga penting untuk membesarkan hati orang yang diajak kerja bareng. Mereka akan merasa diterima dan dihargai. Sehingga, motivasinya untuk bekerja lebih baik, akan bertambah.
Bukankah bekerja dengan komunikasi yang cair seperti itu lebih menyenangkan daripada bekerja seperti debt collector yang terus ditagih tanpa tahu berterima kasih.
Padahal, mengucap terima kasih itu tidak sulit. Saya mencoba mempraktekkan itu ketika menjadi editor di majalah maupun di media yang coba saya besarkan. Tidak sulit untuk bersikap ramah, mengajak mengobrol dan berterima kasih kepada orang lain yang telah berjasa bagi pekerjaan kita.
Pada akhirnya, awalnya memang tidak mudah untuk mengetahui tipikal orang-orang ruwet itu. Kita mungkin 'terjebak' pernah bekerja sama dengan mereka.
Namun, anggap saja dari terjebak itu menjadi pengalaman penting. Pengalaman agar ke depannya, kita tidak lagi berkolaborasi dengan orang-orang ruwet yang justru membawa masalah.
Sebab, esensi kolaborasi yang menghadirkan kekuatan besar, itu hanya akan terjadi bila orang-orang yang berkolaborasi memang sehati, sama-sama mau bekerja keras dan menghargai satu salam lain. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H