Nah, ketika mengetahui orang yang kita ajak atau mengajak bekerja sama itu ternyata ruwet, ribet, dan tidak asyik, ya cukup sekian dan terima kasih. Buat apa bekerja sama dengan orang-orang ruwet. Lebih baik mencari orang lain yang lebih asyik dan mau bekerja. Berikut beberapa tipikal orang-orang ruwet yang malah menjadi beban dalam berkolaborasi.
Orang yang mudah mengeluh dan bekerja semaunya
Bila bekerja sebagai tim, seharusnya beban kerja ditanggung bersama-sama. Bahwa, setiap tim dengan bagian kerja masing-masing, memiliki komitmen untuk menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin.
Akan repot bila dalam tim tersebut ternyata ada orang ruwet yang mudah mengeluh dan bekerja semaunya sendiri. Kerja maunya yang mudah tapi berharap dapat (duit banyak). Sementara bila dihadapkan pada kerja sulit, bawaannya mengeluh.
Saya pernah punya pengalaman bekerja dengan orang tipikal seperti ini. Selama bekerja sebagai penulis freelance, saya beberapa kali mendapat tawaran menulis buku. Baik menulis biografi sebagai ghost writer maupun buku profil instansi pemerintahan.
Nah, sebagai tukang menulis, tentu saya tidak bisa bekerja sendirian menuntaskan buku. Sebab, sebuah buku tidak hanya harus ditulis. Tapi juga harus ditata lay out halamannya. Baru dicetak. Artinya, saya harus berkolaborasi dengan teman yang ikut menulis dan juga seorang lay outer. Sebut saja tukang lay out.
Karena menulis buku untuk instansi pemerintah, tentu hasilnya harus sesuai dengan 'selera' mereka. Semisal cover bukunya, desain halaman, narasi, hingga foto-foto yang dipakai. Karenanya, harus siap-siap bila ada revisi ketika contoh buku sudah jadi.
Singkat cerita, buku jadi. Buku contoh tersebut lalu dicetak beberapa sebagai contoh. Nah, ketika dikoreksi, ternyata ada cukup banyak yang direvisi dan perlu diganti. Mulai cover, beberapa typo penulisan, desain halaman perlu dipercantik, hingga foto-foto yang diganti sesuai permintaan mereka.
Memang, kebetulan orang di instansi tersebut "rada cerewet". Mintanya banyak. Tapi memang, begitulah risiko mengerjakan buku "pesanan". Hasilnya tentu harus sesuai dengan selera si pemesan. Beda bila menulis buku sendiri.
Sebelumnya, beberapa narasi juga minta disesuaikan. Maksudnya, ada kalimat yang dipotong diganti semisal keterangan nomor telepon yang sudah berubah. Sebenarnya sederhana. Tapi bagi lay outer, memang harus mengubah dan menata lagi halamannya.
Bukannya bersemangat menuntaskan revisian, kawan penata lay out tersebut malah 'ngambek'. Mungkin merasa kerjaannya sudah bagus tapi ternyata malah banyak direvisi.Â