Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Mengagumi Semangat "Anti Menyerah" Hendra/Ahsan di All England 2020

13 Maret 2020   06:30 Diperbarui: 13 Maret 2020   06:24 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Turnamen bulu tangkis paling tua di dunia, All England, kembali digelar sejak Rabu (11/3) lalu. Baru dua hari, turnamen level paling tinggi BWF yang sudah ada sejak tahun 1899 ini bak menjadi sebuah "lubang besar". A big hole.

Sebuah lubang besar yang bisa menyedot siapa saja pemain yang tidak siap tampil di lapangan. Tidak peduli, apakah dia berstatus pemain world number one, pemain unggulan, apalagi sekadar pemain biasa.

Bila tidak siap mental menghadapi situasi yang terjadi, tidak punya etos kerja yang kuat, apalagi cedera, mereka harus siap tersedot lubang besar---baca tersingkir dari turnamen.

Kenyataannya memang begitu. Baru hari kedua, sudah banyak pemain top unggulan yang tersingkir di lima sektor yang dipertandingkan.
Termasuk dari Indonesia.

Bahkan, tadi malam, di luar dugaan, ganda campuran rangking 1 dunia asal Tiongkok yang juga juara bertahan, Zheng Siwei/Huang Yaqiong serta ganda campuran Jepang, Yuta Watanabe/Arisa Higashino yang merupakan juara 2018, tersingkir di putaran dua.  

Lalu di ganda putra, unggulan 3, 4, 5 secara hampir berbarengan juga tersedot ke "lubang besar". Termasuk ganda putra Indonesia, Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto.

Namun, cerita tersedot ke lubang besar alias tersingkir di awal-awal turnamen, tidak berlaku bagi pasangan ganda putra senior Indonesia, Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan. Pasangan senior yang dijuluki The Daddies ini lolos ke perempat final.

Padahal, dalam dua pertandingan awal, Hendra/Ahsan langsung menghadapi pertandingan rubber game melelahkan yang sejatinya menguras fisik dan emosi. Terlebih bagi pemain yang sudah berusia 30 tahun lebih seperti mereka.

Namun, Hendra/Ahsan memperlihatkan semangat anti menyerah yang membuat mereka bisa mengatasi tekanan sulit di lapangan. Semangat itulah yang harus dicontoh oleh para junior mereka di Pelatnas PBSI. Termasuk Fajar/Rian.

Hendra/Ahsan nyaris kalah di pertandingan pertama

Di pertandingan pertama, Rabu (11/3) malam, Hendra (35 tahun) dan Ahsan (32 tahun) bertemu ganda Jepang, Akira Koga/Taichi Saito. Di atas kertas, pasangan ganda Jepang berusia 26 tahun yang "telat muncul" ini bisa diatasi Hendra/Ahsan. Meski itu pertemuan pertama, tapi Hendra/Ahsan punya rekor bagus kala melawan ganda Jepang yang lebih hebat dari Koga/Saito.

Namun, yang terjadi, Hendra/Ahsan ternyata langsung dikejutkan oleh penampilan enerjik Koga/Saito. Bayangkan, di game pertama, Hendra/Ahsan kalah dengan skor sangat telak, 12-21.

Toh, kekalahan di game pertama itu tidak membuat mental Hendra dan Ahsan ambruk. Padahal, ganda Jepang semakin termotivasi. Bagaimana tidak termotivasi, lha wong bila menang, mereka akan jadi headline media seantero dunia karena berhasil menyingkirkan juara bertahan All England di pertandingan pertama.

Dan, inilah hebatnya Hendra dan Ahsan. Pengalaman membuat mereka bisa dengan cepat mengevaluasi apa saja kekurangan mereka di game pertama. Di game kedua, Hendra/Ahsan bangkit dan menang 21-13. Meski begitu, ganda Jepang belum menyerah.

Puncak pertarungan adu mental dan ketahanan fisik Hendra/Ahsan dan Koga/Saito terjadi di penghujung game ketiga. Hendra dan Ahsan sudah unggul 20-17. Hanya butuh satu poin lagi untuk menang. Namun, yang terjadi, ganda Jepang bisa mendapatkan tiga poin beruntun dan menyamakan skor jadi 20-20. Laga pun berlanjut ke adu setting point. Bila seperti itu, apapun bisa terjadi. Hendra/Ahsan bisa saja kalah.

Dan memang, situasi mendebarkan kembali terjadi. Hendra/Ahsan mampu tiga kali meraih match point, tetapi selalu bisa disamakan Koga/Saito. Hendra/Ahsan akhirnya menuntaskan laga di skor 25-23 dengan durasi pertandingan selama 53 menit.

Lucunya, ketika ditanya wartawan tentang apa yang terjadi saat unggul 20-17 di game ketiga lalu tersusul sampai deuce, Hendra malah menjawab santuy seolah tidak mengalami ketegangan luar biasa.

"Yang terjadi yaa mereka menyusul ya haha," ujar Hendra seperti dikutip dari Badmintalk.

Sementara Ahsan dalam wawancara dengan badmintonindonesia.org mengaku terus berada dalam tekanan dari awal permainan.

"Di game pertama, pergerakan kami sangat lambat, terus banyak melakukan kesalahan, jadi mereka lebih percaya diri. Game kedua kami mempercepat tempo duluan. Di game ketiga juga ketinggalan duluan, banyak mati juga. Tapi kami coba terus," ujar Ahsan seperti dikutip dari https://badmintonindonesia.org/app/information/newsDetail.aspx?/9046.

Kembali dipaksa kerja keras ganda Jepang di pertandingan kedua

Lalu, di putaran kedua yang baru selesai, Jumat (13/3) dini hari tadi, situasi seperti itu ternyata kembali berulang. Hendra/Ahsan kembali melakoni 'skenario pertandingan' yang nyaris sama saat menghadapi ganda Jepang lainnya, Takuro Hoki/Yugo Kobayashi.

Di laga yang merupakan ulangan final Kejuaraan Dunia 2019 tersebut, Hendra/Ahsan lagi-lagi kalah dengan telak dengan skor telak di game pertama. Mereka kalah 14-21.

Tentu saja, situasi seperti itu tidak menguntungkan. Hendra/Ahsan harus keluar dari tekanan, harus menjaga pikiran agar terus berjuang, dan harus menjaga stamina agar "bensin tidak habis". yang terjadi, Daddies bisa bangkit di game kedua dengan menang 21-15.

Lagi-lagi, laga pun harus ditentukan lewat rubber game. Game penentuan. Logikanya, Hoki dan Kobayashi yang berusia 24 tahun, punya stamina lebih joss. Baterai energi mereka masih penuh bila dibandingkan Hendra/Ahsan.

Toh, di game menegangkan seperti itu, bukan hanya tentang ketahanan fisik. Tapi juga kematangan bermain. Tentang efisiensi dalam bermain. Dan, Hendra/Ahsan rupanya sudah belajar dari situasi di pertandingan pertama. Mereka bisa menang cukup nyaman tanpa perlu melalui setting point (deuce) dengan skor 21-14.

Dalam wawancara dengan Badmintalk, Hendra yang ditanya perihal apa rahasianya sehingga selalu bisa mengembalikan keadaan setelah kalah di game pertama, menyebut kuncinya adalah tidak mudah menyerah. Menurut pebulutangkis yang oleh Badminton Lovers Tiongkok dijuluki dewa ini, maunya tentu menang cepat. Tapi lawan memang tidak mudah.

"Yang penting dari kami tidak mau gampang menyerah. Walaupun set pertama jauh kalahnya, tapi set kedua harus coba lagi. Kami hanya terus mencoba, itu yang kami tanamkan," ujar Hendra.

Nah, semangat anti menyerah Hendra dan Ahsan inilah yang patut dicontoh oleh ganda putra Indonesia yang usianya jauh lebih mudah dari mereka. Mereka tidak boleh cepat drop ketika kalah di set pertama. Apa iya, mereka yang usianya masih muda, gampang menyerah


Di Perempat final lagi-lagi bertemu ganda Jepang penakluk Marcus/Kevin

Menariknya, di perempat final yang dimainkan Jumat (13.3) malam nanti, Hendra dan Ahsan yang menjadi unggulan 2, lagi-lagi akan bertemu pasangan Jepang. Kali ini yang paling kuat. Yakni Hiroyuki Endo (33 tahun) dan Yuta Watanabe (22 tahun).

Laga perempat final ini akan menjadi ulangan final BWF World Tour Finals pada Desember 2019 lalu. Kala itu, Hendra dan Ahsan berhasil menang dengan skor ketat, 24-22 dan 21-19 dan meraih 'treble' gelar bergengsi di 2019. Yakni All England, Kejuaraan Dunia, dan final BWF World Tour.

Endo dan Watanabe bukan lawan sembarangan. Mereka juara Asia 2019. Mereka jadi unggulan 6 di All England 2020. Mereka juga punya rekor bagus kala melawan ganda rangking 1 dunia asal Indonesia, Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya. Mereka selalu menang di tahun 2019 lalu.

Tiga pertemuan beruntun melawan ganda Jepang ini mengingatkan kita pada rute Hendra/Ahsan di All England 2019. Di tahun lalu, Hendra/Ahsan secara beruntun menghadapi tiga pasangan Eropa dari pertandingan pertama hingga perempat final. Semuanya bisa mereka lewati.

Semoga cerita yang sama bisa berulang tahun ini. Bila dulu hattrick menang atas ganda Eropa. Kali ini hattrick menang atas ganda putra Jepang.

Di sektor ganda putra, Indonesia punya dua wakil di perempat final. Selain Hendra/Ahsan, Marcus dan Kevin juga lolos. Minions--julukan Marcus/Kevin akan menghadapi ganda putra Malaysia, Aaron Chia/Soh Wooi Yik yang merupakan finalis All England 2019.

Dengan Hendra/Ahsan dan Marcus/Kevin menjadi unggulan 2 dan 1 sehingga berada di pot berbeda, keduanya bisa bertemu di final. Mungkinkah terjadi All Indonesian Final di ganda putra di All England tahun ini? Kenapa tidak. Salam bulutangkis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun