Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Senjakala Jose Mourinho, Pep Guardiola, dan Liga Champions

10 Maret 2020   14:57 Diperbarui: 10 Maret 2020   16:46 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setelah gagal di Liga Inggris musim ini, Liga Champions akan menjadi pertaruhan bagi dua pelatih top, Jose Mourinho dan Pep Guardiola. Andai keduanya ternyata gagal, boleh jadi keduanya memang tengah menuju masa senja kala dalam karier kepelatihannya/Foto: Telegraph.co.uk

Penyerang asal Kamerun yang dulu bermain di Barcelona dan Inter Milan, Samuel Eto'o, pernah ditanya wartawan tentang Jose Mourinho dan Pep Guardiola. Oleh wartawan, Eto'o diminta komentarnya untuk membandingkan siapa yang lebih hebat antara Mourinho dan Guardiola.

Dan memang, Eto'o adalah satu dari sedikit pemain yang pernah dilatih oleh Guardiola dan Mourinho. Dua figur pelatih yang pernah menjadi yang paling top di Eropa. Eto'o juga satu dari sedikit pemain yang pernah tiga kali memenangi Liga Champions bersama dua klub berbeda.

Eto'o yang kini berusia 38 tahun, pernah dua kali merasakan momen kampiun Liga Champions bersama Barcelona di musim 2005/06 dan 2008/09. Di musim 2008/09 itu, dia memenanginya bersama Guardiola. Lalu, dia juga juara bersama Inter Milan di musim 2009/10 ketika dilatih Mourinho.

Lalu, bagaimana jawaban Eto'o saat ditanya wartawan tersebut?

"Saya tidak bisa membandingkan Mourinho dan Guardiola. Sebab, Mourinho bisa juara Liga Champions bersama FC Porto. Sementara satunya (Guardiola) tidak bisa juara bersama klub seperti Bayern Munchen".

Jawaban Eto'o yang terkesan mengagungkan Mourinho dibanding Guardiola itu mungkin subyektif dan mengandung baper. Meski memang begitu kenyataanya. Mourinho bisa juara Eropa bersama Porto yang sama sekali tidak dijagokan. Sementara Guardiola gagal bersama Bayern yang selalu jadi kandidat juara di setiap musim.

Subyektif dan baper karena Eto'o memang sempat punya kenangan tidak bagus dengan Guardiola. Di akhir musim 2008/09, usai ikut membawa Barca juara Liga Champions, Eto'o malah 'dibuang'. Dia dikorbankan demi mendatangkan Zlatan Ibrahimovic dari Inter Milan.

Lantas, Eto'o 'ditampung' Mourinho sebagai pengganti Ibra di Inter Milan. Siapa sangka, justru Eto'o bersama Inter lantas memenangi Liga Champions. Yang dramatis, salah satu "road to champion" nya adalah menyingkirkan Barcelona di semifinal.

Setahun kemudian, di musim 2010/11, giliran Guardiola yang kembali juara Eropa, masih bersama Barcelona.

Itu cerita masa lalu. Masa-masa ketika Mourinho dan Guardiola sedang jaya-jayanya sebagai pelatih. Keduanya sudah dua kali memenangi trofi Liga Champions. Kini, sedekade kemudian, Mou dan Pep seolah mulai kehilangan nama besarnya.

Mourinho kini "diujung tanduk" tersingkir dari Liga Champions
Mari kita berbincang tentang Mourinho sekarang. Mourinho yang kini sudah berusia 54 tahun. Mourinho yang kini menjadi "pelatih senior" di Liga Champions.

Pada Selasa (10/3) malam nanti waktu Eropa atau Rabu (11/3) dini hari waktu Indonesia, Mourinho akan memimpin timnya, Tottenham Hotspur, mencoba keluar dari situasi "di ujung tanduk" saat away ke markas tim Jerman, Racing Bull Leipzig pada laga leg II babak 16 besar Liga Champions.

Ya, Mourinho dan Spurs dalam situasi terancam gagal lolos ke perempat final. Itu setelah mereka kalah 0-1 di kandang sendiri dari Leipzig pada laga leg pertama.

Malam nanti, di kandang lawan, Mourinho harus membawa timnya menang lebih dari dua gol, atau menang dengan skor 1-2, 2-3 merujuk agresivitas gol di kandang lawan bila ingin lolos ke perempat final. Bisakah?

Tidak akan mudah. Sebab, Leipzig kini menjadi tim yang sulit dikalahkan. Terlebih bila bermain di kandang sendiri.

Leipzig yang kini berada di peringkat dalam klasemen Bundesliga Jerman, tidak terkalahkan dalam 6 pertandingan terakhirnya. Bahkan, bila bermain di kandang, Leipzig jadi tim superior. Mereka tidak terkalahkan di Red Bull Arena dalam 11 laga terakhir. Kali terakhir mereka kalah 0-2 dari tim Prancis, Olympique Lyon pada 3 Oktober silam.

Sementara situasi Tottenham justru berkebalikan. Spurs tidak pernah menang di 5 laga terakhir. Ya, sejak dikalahkan Leipzig di London pada 20 Februari lalu, Tottenham kalah dari Chelsea, Wolverhampton, kalah adu penalti dari Norwich City dan ditahan Burnley 1-1 pada akhir pekan kemarin.

Apalagi, Tottenham kini terlihat sebagai tim yang tidak punya senjata mematikan. Tottenham yang kini tak punya penyerang seiring cederanya Harry Kane dan Son Heung-min. Bahkan, saat melawan Burnley, Mourinho sampai memasang Dele Alli yang seorang gelandang sebagai penyerang tengah.  

Apakah ini pertanda Mourinho bakal kembali dipecundangi Julian Nagelsmann untuk kali kedua. Bila seperti itu, Nagelsmann yang baru berusia 32 tahun dan baru berumur 17 tahun saat Mourinho juara Liga Champions bersama FC Porto pada 2004 silam, memang tengah menikmati masa jayanya. Sebaliknya, Mourinho sedang menuju masa senjakala nya.

Ya, andai Tottenham gagal lolos ke perempat final, itu akan menjadi penegas, era Mourinho memang telah lewat. Padahal, di awal direkrut pada akhir November lalu, Mourinho sempat membawa Tottenham menangan.

Yang terjadi kini, Tottenham out dari Piala FA setelah disingkirkan tim juru kunci Premier League, Norwich City. Lalu terancam gagal lolos ke Liga Champions musim depan karena hanya ada di peringkat 8. Apalagi andai Tottenham ternyata out dari Liga Champions musim ini. Maka, lengkap lah kegagalan Mou.

Bagaimana dengan Guardiola?
Kita tahu, pada akhir pekan kemarin, Guardiola bersama timnya, Manchester City takluk 0-2 dari tim sekota, Manchester United. Kekalahan Man.City ini membuat Liverpool semakin dekat menjadi kampiun Liga Inggris.

Ironisnya, ini kekalahan ketiga Man.City dari Man.United di musim 2019/20. Sejak Guardiola masuk melatih Manchester Biru--julukan Man.City pada musim 2016/17, baru kali ini dia kalah tiga kali dari Manchester United dalam satu musim.

Kekalahan dari United ini juga menjadi kekalahan ketujuh City di Liga Inggris musim ini. Bagi Guardiola yang kini berusia 49 tahun, dalam sepanjang kariernya melatih, itu jumlah kekalahan terbanyak. Padahal, itu masih mungkin bertambah karena City masih punya sisa 10 laga.

Musim lalu, saat membawa Man.City juara Premier League back to back, Guardiola kalah 6 kali dalam semusim. Lalu saat di Barcelona musim 2008/09 dan Bayern Munchen musim 2014/15, paling banyak dia kalah 5 kali.

Mungkinkah Guardiola juga tengah menuju masa senja kala nya sebagai pelatih?

Ah, rasanya terlalu cepat bila menyebut Guardiola 'habis' hanya karena hasil buruk musim ini, setelah rentetan pencapaian bagus dalam kariernya.

Tapi yang jelas, nasib Guardiola masih lebih bagus dibandingkan Mourinho. Lha wong Guardiola sudah meraih dua trofi di musim ini. Yakni Community Shield di awal musim dan Piala Liga (Carabao Cup).

Dan di Liga Champions, Man.City yang baru akan bermain di pekan depan, juga dalam posisi menguntungkan untuk lolos ke perempat final. City akan menjamu Real Madrid di leg II. Kemenangan 1-2 di markas Madrid pada leg I, membuat City hanya butuh hasil imbang untuk lolos ke perempat final Liga Champions.

Dengan situasi di Premier League di mana Liverpool hanya butuh dua kemenangan lagi untuk menjadi juara dari 9 laga sisa, Guardiola rasanya sudah akan mengalihkan fokus ke Liga Champions.

Guardiola tentunya penasaran dengan sentilan Eto'o dulu. Apa iya, dirinya hanya bisa juara Liga Champions bersama Barcelona sementara Mourinho bisa juara bersama Porto.

Setelah gagal di Bayern, masak sih dirinya juga tidak bisa juara Eropa dengan tim yang dihuni banyak pemain top seperti Man.City. Inilah yang akan menjadi target utama Guardiola di akhir sisa musim ini.

Andai Guardiola dan Mourinho ternyata tidak bisa melangkah jauh di Liga Champions musim ini, rasanya tidak berlebihan bila menyebut keduanya memang tengah berada dalam senja kala. Karier dan prestasi mereka mulai memasuki era gelap. Seperti makan senja yang merupakan waktu setengah gelap setelah matahari terbenam. 

Toh, setiap orang memang ada masanya. Dan setiap masa akan ada orangnya. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun