Masalahnya, kenyataan terkadang jauh dari harapan. Sebab, seorang pelatih acapkali dihadapkan pada pilihan pelik.Â
Dilematis. Antara pilihan mengambil semuanya, tetapi berisiko malah tidak mendapatkan sama sekali. Atau, mengorbankan satu hal demi memperbesar peluang mendapatkan incaran yang lebih besar (prioritas).
Sebab, pemain yang bekerja untuk meraih target di lapangan, juga manusia. Bila mereka terus dihadapkan pada jadwal padat dan terus bermain, itu akan sangat berisiko.Â
Tidak hanya risiko cedera, tetapi juga kejenuhan yang berdampak pada mood. Artinya, mereka butuh jeda. Istirahat. Namun, tenaga mereka sangat dibutuhkan tim. Itulah dilemanya.
Konkretnya begini. Bayangkan bila Anda menjadi pelatih dan memiliki 11 pemain andalan yang hampir setiap akhir pekan bermain di liga domestik.Â
Selain liga domestik, juga ada jadwal tampil di kompetisi bergengsi yang digelar tengah pekan. Lantas kembali lagi bermain di liga domestik.Â
Bagaimana pilihan yang Anda ambil? Apakah tetap memainkan 11 pemain andalan di tiga laga beruntun dalam satu pekan? Ataukah mengistirahatkan beberapa pemain andalan dan memberi kesempatan pemain lain yang tentunya berisiko tim bisa kalah?
Pilihan pelik itu yang dihadapi manajer (pelatih) Liverpool, Juergen Klopp sejak akhir Oktober lalu. Bayangkan, dalam periode 13 hari, timnya harus bermain dalam lima pertandingan beruntun.Â
Dua pertandingan di Liga Inggris. Dua pertandingan di Liga Champions. Serta satu laga di Piala Liga (Carabao Cup). Jaraknya hanya tiga atau empat hari.
Normalnya, pelatih pastinya akan lebih memprioritaskan Liga Champions. Lha wong Liga Champions lebih bergengsi karena skalanya se-Eropa. Sementara Liga Inggris skalanya 'lokal'. Apalagi Carabao Cup yang hanya "turnamen sampingan" bagi klub-klub besar.
Namun, setelah mampu memenangi Liga Champions musim 2018/19 lalu, Klopp rupanya kini tidak menganggap Premier League Inggris sebagai target kedua.Â