Dulu, ketika masih bekerja di "pabrik koran", ada semacam kesepakatan tak tertulis yang kebenarannya diyakini banyak orang. Kesepakatan bahwa, seorang wartawan baru bisa dibilang paripurna, bila bisa menulis/menghasilkan buku.
Karier kepenulisan wartawan akan dianggap lengkap bila mampu berkarya menulis buku. Tentunya, akan lebih keren bila bukunya masih berkaitan dengan dunia jurnalistik yang ditekuninya. Mengapa bisa begitu?
Saya tidak pernah mendengar langsung jawaban dari kesepakatan tak tertulis tersebut. Namun, setelah sekian tahun menjalani profesi itu, saya akhirnya paham jawabannya.
Bahwa, menulis buku bagi wartawan itu gampang, tapi susah. Ya, gampang karena tinggal menulis. Apa susahnya. Lha wong pekerjaan sehari-harinya memang menulis.
Namun, menjadi susah karena ketiadaan waktu yang benar-benar longgar. Malam hari sepulang dari kantor, kondisi badan sudah capek. Pikiran juga lelah. Tinggal beristirahat saja.
Sementara di kantor, hanya sibuk dengan urusan menulis pekerjaan. Libur pun hanya sehari dalam seminggu. Benar-benar dimanfaatkan untuk beristirahat. Relaksasi pikiran.
Tidak ada waktu longgar untuk menulis buku. Ketiadaan waktu itulah yang membuat rencana menulis buku yang berseliweran di kepala, seterusnya sebatas rencana. Tidak pernah jadi lembaran buku.
Toh, ada juga wartawan yang berhasil menulis buku. Kok bisa? Karena mereka pandai menyiasati waktu yang padat. Pandai menentukan target prioritas dan menentukan jarak waktu merealisasikannya.Â
Di sela padatnya jadwal menulis untuk medianya, mereka juga menyediakan waktu untuk menulis bukunya. Ada waktu-waktu tertentu yang difokuskan untuk menyelesaikan bukunya.
Pada akhirnya, dua target bisa didapat. Bekerja menulis di kantor jalan terus. Rencana menulis buku juga bisa dilakukan. Semuanya karena kejelian membaca situasi dalam mengejar dua target sekaligus.
Juergen Klopp dan kejelian membaca situasi di Liga Champions
Dalam konteks sepak bola, seorang pelatih, pemain, hingga suporter, tentunya juga ingin timnya mendapatkan sebanyak-banyak gelar yang bisa diraih dalam satu musim. Bila bisa meraih treble (tiga trofi), jelas lebih keren dibanding hanya meraih satu gelar.