Pekan ke-10 Liga Inggris musim 2019/20 yang berlangsung akhir pekan kemarin, menjadi periode menyedihkan bagi suporter Southampton. Mereka sedih. Kecewa. Malu. Fans Southampton terpukul dengan hasil buruk yang diraih tim pujaan mereka.
Awalnya, sebanyak 28.762 fans Southampton yang datang langsung ke St.Mary Stadium, berharap tim kebanggaan mereka akan meraih kemenangan saat menyambut sang tamu, Leicester City.
Mereka berharap Danny Ings dan kawan-kawannya akan tampil habi-habisan untuk menang, demi menjauhkan Southampton dari zona degradasi. Maklum, The Saints---julukan Southampton, tengah dalam situasi gawat. Mereka kini ada di "zona merah". Di posisi 18. Posisi yang merupakan area degradasi.
Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan semua orang yang ada di stadion. Southampton ternyata kalah di rumahnya sendiri. Bahkan, tidak hanya kalah. Southampton dipermalukan Leicester. Gawang mereka jebol sembilan kali. Ya, mereka kalah 0-9 di kandang sendiri!
Skor 0-9 untuk kemenangan tim tamu itu menjadi rekor kekalahan terbesar bagi tim tuan rumah dalam sejarah Liga Inggris yang merupakan salah satu liga tertua di dunia.
Memang, Manchester United juga pernah menang 9-0 atas tamunya, Ispwich pada 1995 lalu. Namun, untuk tim tuan rumah yang kalah separah ini, baru Southampton yang mengalaminya dalam 131 tahun usia Liga Inggris.
Lalu, bagaimana suporter Southampton merespons kekalahan yang bikin hati ambyar itu? Apakah mereka membikin ulah di dalam stadion selepas laga usai?
Siapa sih suporter yang tidak kecewa ketika timnya dibantai di rumahnya sendiri. Bukan hanya kecewa karena mereka sudah mengeluarkan duit untuk membeli tiket guna masuk ke stadion dan menonton laga. Beberapa dari mereka juga pengguna tiket terusan. Mereka kecewa karena rasa kebanggaan kepada tim yang mendadak terkoyak.
Toh, meski kecewa dan marah, mereka masih bisa mengendalikan diri. Tidak kebablasan. Marah dan kecewanya mereka hanya dilampiaskan dengan meninggalkan tribun sebelum pertandingan usai. Di Inggris sana, itu cara suporter untuk menghukum pemain dan klub ketika meraih hasil buruk.
Lalu, apakah mereka (klub Southampton) menuding wasit telah men-dzholimi mereka karena harus bermain dengan 10 pemain sejak menit ke-12 usai Ryan Bertrand di kartu merah?
Untuk tahu jawaban-jawaban dari pertanyaaan penasaran ini, saya tertarik melacak bagaimana komentar pelatih Southampton, Ralph Hasenhuttl seusai laga.
Dalam wawancara dengan BBC, Hasenhuttl , pria asal Austria itu ternyata sama sekali tidak menyinggung kepemimpinan wasit. Dia juga tidak menyalahkan pemainnya. Hasenhuttl hanya menyebut timnya bermain buruk. Tim. Bukan individu. Dia juga meminta maaf kepada suporter
"Ini pertandingan yang menyedihkan untuk dilihat, apalagi mereka yang hadir di stadion adalah fans sejati klub ini. Penampilan kami seperti bencana. Saya tidak pernah melihat tim bermain tanpa semangat seperti ini. Saya bertanggung jawab 100 persen atas kekalahan ini," ujar Hasenhuttl.
"Saya harus meminta maaf kepada fans. Saya paham alasan suporter meninggalkan stadion lebih cepat. Tugas saya dalam beberapa hari ke depan adalah membuat pemain kembali menegakkan kepala mereka," sambung pelatih berusia 52 tahun ini.
Pemain-pemain Southampton juga tidak menyalahkan Bertrand yang keluar lapangan lebih cepat setelah dikartu merah. Mereka hanya menyesali mengapa kemasukan gol terlalu cepat (di menit ke-10) dan juga terlalu mudah.
"Kami kemasukan gol terlalu cepat. Setelah kartu merah, kami mencoba menyiasati semampu kami tetapi memang semuanya berjalan buruk," ujar Nathan Redmond, penyerang Southampton dikutip dari https://www.bbc.com/sport/football/50189702.
Bahkan, karena merasa bersalah atas kekalahan memalukan tersebut, pelatih dan pemain-pemain Southampton sepakat tidak mengambil gaji usai pertandingan tersebut. Mereka memutuskan untuk mendonasikan gaji harian di laga melawan Leicester City tersebut untuk amal.
"Tim memutuskan akan mendonasikan gaji di hari pertandingan melawan Leicester untuk Saints Foundation guna membantu pekerjaan vital yang dilakukan oleh badan amal," begitu bunyi statement resmi klub Southampton https://www.bbc.com/sport/football/50203848.
Cermin bagi pelaku sepak bola nasional
Jujur, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di lapangan bila ada klub kontestan Liga 1 yang kalah 0-9 di kandangnya sendiri.
Jangankan dengan skor 0-9, lha wong bila ada tim yang kalah di kandang sendiri dengan skor berapapun, situasi di stadion acapkali bisa berubah tidak menyenangkan.
Karenanya, dari situasi 'bencana' yang menimpa Southampton akhir pekan kemarin, para pelaku sepak bola nasional bisa bercermin. Utamanya pihak klub. Baik pelatih, pemain. Termasuk juga suporter. Â
Southampton memberi contoh bagaimana merespons hasil pertandingan. Walaupun itu teramat buruk bagi mereka. Ya, seburuk apapun hasil yang terjadi di lapangan, seharusnya tidak boleh direspons berlebihan. Apalagi sampai bertindak merusak. Sebab, bila ada tindakan merusak, tentu yang terkena hukuman adalah klubnya.
Pemain-pemain, pelatih dan suporter Southampton paham, bahwa apapun hasil pertandingan, harus disikapi dengan kalem. Bagaimanapun, yang namanya pertandingan, bila tidak menang ya kalah, atau imbang.
Sah-sah saja mengharapkan tim pujaan menang. Apalagi bila bermain di kandang sendiri. Namun, bila ternyata harapan tak kesampaian, ya tidak boleh baper.
Tentu saja, menerima kekalahan terkadang tidak semudah menuliskannya. Apalagi bila sudah capek-capek datang ke stadion, beli tiket, eh ternyata timnya kalah.
Lha, apakah suporter Southampton juga tidak merasakan rasa kecewa seperti itu. Toh, mereka santuy saja meski timnya kalah 0-9 di kandang sendiri. Mereka hanya melakukan 'protes' dengan pulang lebih cepat dari tribun dan membiarkan tim mereka tetap bermain (dengan sedikit penonton). Itu sudah bentuk hukuman bagi klub.
Tentu saja, kultur sepak bola di Inggris sangat berbeda dengan di Indonesia. Kedewasaan pemain, pelatih, dan juga pendukung, tidak bisa disamakan dengan di sini.
Inggris memang salah satu negara paling maju dalam manajemen sepak bola. Betapa tidak, dua pekan kompetisi musim ini berakhir, jadwal liga musim depan sudah dirilis. Dan tidak akan mendadak berubah.
Namun, bagaimanapun perbedaan yang ada, toh sepak bola yang dimainkan sama saja. Sama-sama ada wasitnya. Sama-sama ada pemainnya. Sama-sama punya pelatih. Sama-sama punya suporter fanatik.
Apakah suporter di sini lebih fanatik ketimbang di Liga Inggris sehingga orang-orang di Inggris sana lebih santuy ketika timnya kalah di kandang sendiri?
Belum tentu. Lha wong liga sepak bola mereka sudah berusia lebih dari seratus tahun. Klub-klub di sana rata-rata juga sudah 'sepuh'. Sehingga, suporter di sana pastinya suporter 'turun-temurun'. Dari generasi ke generasi. Dari eyang buyut diwariskan ke kakek nenek, bapak ibu lantas menurun kepada anak-anaknya.
Pada akhirnya, tidak ada salahnya bila kita bercermin kepada Southampton. Tidak ada kelirunya mencontoh yang baik-baik demi kemajuan sepka bola kita. Tepatnya liga sepka bola kita.
Dari Southampton, suporter bisa bercermin bagaimana menyikapi kekalahan dengan tetap adem. Para pelatih bisa bercermin bagaimana 'pasang badan' dan mengeluarkan pernyataan kepada media ketika timnya kalah tanpa harus menyalahkan satu dua pemainnya. Serta, pemain juga bisa bercermin dari cara mereka meminta maaf kepada suporter dengan mendonasikan gaji mereka. Â
Pada akhirnya, seapatis apapun dengan kondisi liga sepak bola kita yang dari dulu ya begitu-begitu saja, sejatinya masih ada sepercik harapan.
Harapan agar liga sepak bola kita bisa menjadi tempat bagi klub-klub untuk berkompetisi secara sehat. Sehingga, pemain-pemain bisa menempa diri dan meningkatkan kualitas. Pemain muda juga bisa belajar dari senior-seniornya. Pada akhirnya, semua itu akan berdampak positif pada tim nasional. Semoga bisa seperti itu. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H