Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Southampton, "Cermin" bagi Sepak Bola Kita

31 Oktober 2019   05:44 Diperbarui: 31 Oktober 2019   05:53 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain Southampton tertunduk usai kalah 0-9 dari Leicester di kandang sendiri di Liga Inggris akhir pekan kemarin/Foto: https://hotcelebrityreviews.com

Southampton memberi contoh bagaimana merespons hasil pertandingan. Walaupun itu teramat buruk bagi mereka. Ya, seburuk apapun hasil yang terjadi di lapangan, seharusnya tidak boleh direspons berlebihan. Apalagi sampai bertindak merusak. Sebab, bila ada tindakan merusak, tentu yang terkena hukuman adalah klubnya.

Pemain-pemain, pelatih dan suporter Southampton paham, bahwa apapun hasil pertandingan, harus disikapi dengan kalem. Bagaimanapun, yang namanya pertandingan, bila tidak menang ya kalah, atau imbang.

Sah-sah saja mengharapkan tim pujaan menang. Apalagi bila bermain di kandang sendiri. Namun, bila ternyata harapan tak kesampaian, ya tidak boleh baper.

Tentu saja, menerima kekalahan terkadang tidak semudah menuliskannya. Apalagi bila sudah capek-capek datang ke stadion, beli tiket, eh ternyata timnya kalah.

Lha, apakah suporter Southampton juga tidak merasakan rasa kecewa seperti itu. Toh, mereka santuy saja meski timnya kalah 0-9 di kandang sendiri. Mereka hanya melakukan 'protes' dengan pulang lebih cepat dari tribun dan membiarkan tim mereka tetap bermain (dengan sedikit penonton). Itu sudah bentuk hukuman bagi klub.

Tentu saja, kultur sepak bola di Inggris sangat berbeda dengan di Indonesia. Kedewasaan pemain, pelatih, dan juga pendukung, tidak bisa disamakan dengan di sini.

Inggris memang salah satu negara paling maju dalam manajemen sepak bola. Betapa tidak, dua pekan kompetisi musim ini berakhir, jadwal liga musim depan sudah dirilis. Dan tidak akan mendadak berubah.

Namun, bagaimanapun perbedaan yang ada, toh sepak bola yang dimainkan sama saja. Sama-sama ada wasitnya. Sama-sama ada pemainnya. Sama-sama punya pelatih. Sama-sama punya suporter fanatik.

Apakah suporter di sini lebih fanatik ketimbang di Liga Inggris sehingga orang-orang di Inggris sana lebih santuy ketika timnya kalah di kandang sendiri?

Belum tentu. Lha wong liga sepak bola mereka sudah berusia lebih dari seratus tahun. Klub-klub di sana rata-rata juga sudah 'sepuh'. Sehingga, suporter di sana pastinya suporter 'turun-temurun'. Dari generasi ke generasi. Dari eyang buyut diwariskan ke kakek nenek, bapak ibu lantas menurun kepada anak-anaknya.

Pada akhirnya, tidak ada salahnya bila kita bercermin kepada Southampton. Tidak ada kelirunya mencontoh yang baik-baik demi kemajuan sepka bola kita. Tepatnya liga sepka bola kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun