Apa makna dari sebuah tim?
Apakah sebuah tim sekadar berisikan sekumpulan orang-orang luar biasa hebat yang saling menonjolkan kehebatannya masing-masing?
Ataukah, tim itu berisi sekumpulan orang biasa yang memiliki kemampuan berbeda satu sama lain lantas saling menguatkan untuk mencapai tujuan bersama.
Perihal pertanyaan ini, saya teringat dengan percakapan antara Mike Wazowski dan James Sullivan di bagian penghujung film animasi Monster University yang tayang pada 2013 lalu. Film  produksi Pixar Animation Studios ini merupakan prekuel dari Moster Inc. yang sempat jadi hits pada tahun 2001 silam. Â
Apa yang istimewa dari scene percakapan Mike dan Sullivan ketika menunggu bus setelah mereka dikeluarkan dari Monster University?
Sullivan, si monster besar garang dan paling menakutkan itu rupanya enggan berpisah dengan Mike, si monster kecil bermata satu yang gemar membaca buku.Â
Dia tahu, apalah dirinya tanpa Mike. Meski dirinya monster paling seram, tapi dalam hal strategi menakuti, dia tidak ada apa-apanya dengan Mike. Bila Sullivan bermodal tampilan fisik, Mike berbekal kecerdasan akalnya.
Karenanya, Sullivan tak ragu memuji kawan kecilnya yang acapkali dipandang remeh monster lain, padahal ia sejatinya punya kemampuan yang tidak dimiliki monster manapun. Sullivan lantas berujar (kurang lebih) begini :Â
"Mike, kau mungkin monster yang paling tidak menakutkan, tapi kau tahu semua trik cara menakuti. Kau juga tidak takut kepada siapapun (itu yang menjadi kekuatanmu)".Â
Cerita berikutnya, dua kekuatan berbeda dari Sullivan dan Mike itulah yang membuat mereka sukses. Mereka saling melengkapi. Sullivan belajar dari Mike perihal 'ilmu teori' menakuti. Sebaliknyam dari Sullivan, Mike belajar bagaimana mengembangkan potensi menakuti yang ada didirinya. Keduanya lantas menjadi partner sejati dan bekerja bersama di perusahaan bernama Monster Inc.
Kisah kolaborasi Sullivan dan Mike di Monster University yang saling melengkapi tanpa perlu menonjolkan kelebihan diri itulah yang agaknya perlu diteladani pemain-pemain Liverpool di awal kompetisi musim 2019/20 ini.
Kolaborasi ala Mike-Sullivan itulah yang perlu dimunculkan pemain-pemain Liverpool di lapangan bila ingin terus meraih banyak piala di musim ini.
Memangnya, ada apa dengan Liverpool?
Akhir pekan kemarin, Liverpool meraih kemenangan meyakinkan, 3-0 atas tuan rumah Burnley pada pekan keempat Liga Inggris musim 2019/20. Kemenangan itu membuat Liverpool duduk manis di puncak klasemen. Dari 20 tim Liga Inggris, hanya Liverpool yang berhasil meraih empat kemenangan beruntun di awal kompetisi.
Jika sekadar melihat fakta tersebut atau hanya cuplikan gol-gol Liverpool ke gawang Liverpool, memang tidak ada yang salah dengan tim asuhan Juergen Klopp ini. Namun, kemenangan atas Burnley tersebut ternyata memunculkan kekhawatiran bagi pendukung Liverpool.
Pemandangan mengkhawatirkan itu terjadi beberapa menit jelang pertandingan berakhir. Tepatnya di menit ke-85 ketika Sadio Mane ditarik keluar lapangan. Mane tidak marah kepada Klopp yang menariknya keluar sehingga tidak bisa menuntaskan laga hingga akhir.
James Milner, pemain senior yang berada di samping Mane, mencoba menenangkan kapten Tim Senegal tersebut. Sementara Roberto Firmino yang juga diganti bersamaan dengan Mane, nampak kaget dengan respons kawannya itu. Sedetik kemudian, Firmina mencoba menenangkan Mane.
Apa yang membuat Mane yang biasanya kalem mendadak 'meledak'?
Media-media Inggris menilai akar masalah dari kemarahan Mane tersebut dipicu karena sikap rekan setimnya, Mohamed Salah. Penyebabnya, di menit ke-83, ketika Liverpool sudah unggul 3-0, dalam sebuah kesempatan menyerang, Salah yang membawa bola, masuk ke kotak penalti dan dikawal dua bek Burnley.
Sementara Mane yang juga berada di dalam kotak penalti dan dalam posisi tak terkawal, meminta bola karena merasa lebih memungkinkan untuk mencetak gol. Namun, Salah ternyata tak memberinya umpan. peluang itupun gagal menjadi gol.
Boleh jadi, Salah memang ingin mencetak gol karena dari tiga penyerang Liverpool, tinggal dirinya yang belum menjebol gawang Burnley di laga itu. Mane sudah mencetak gol kedua. Sedangkan Firmino mencetak gol ketiga yang merupaka assist dari Salah.
Kelihatannya ini masalah sepele. Dalam sepak bola, masalah kesal dengan rekan satu tim seperti ini memang biasa terjadi. Bak anak-anak kecil yang sesekali berantem karena berebut mainan tapi esok juga kembali baikan.
Namun, meski sepele, mendiamkan dan menganggap masalah ini akan baik-baik saja dengan sendirinya, bukanlah keputusan tepat. Sebab, ego pemain bisa seperti bom waktu yang siap meledak. Bila tidak segera didinginkan, bukan tidak mungkin kemarahan Mane itu bisa menjadi ancaman perpecahan di tim juara Liga Champions 2019 ini.
Apalagi, bila kita melihat Liverpool di musim ini, 'wajah' mereka hampir tidak berubah dibandingkan musim lalu. Ketika tim-tim Liga Inggris lainnya mendatangkan pemain-pemain baru demi menambah kekuatan, tidak demikian halnya dengan Si Merah Liverpool.
Klopp rupanya meyakini kebenaran 'filosofi sakti' dalam sepak bola berbunyi: "dont change the winning team". Ya, jangan mengubah tim yang sudah menangan.
Dia percaya, timnya sekarang---yang nyaris sama dengan musim lalu--sudah cukup kuat untuk bersaing mempertahankan gelar Liga Champions dan memburu trofi Liga Inggris yang musim lalu nyaris diraih.
Dan memang, Liverpool masih tangguh meski tanpa pemain bintang baru. Trio Salah-Mane-Firmino masih menjadi sumber gol. Plus Divock Origi yang siap menolong dari bangku cadangan. Sementara di tengah dan belakang juga kiper, Liverpool juga masih stabil. Empat kemenangan beruntun jadi bukti. Mereka juga sudah meraih trofi Piala Super Eropa.
Namun, semua potensi hebat itu akan rusak bila pemain-pemain bintang Liverpool sudah mulai menonjolkan egonya masing-masing. Bila pemain-pemain sudah tergoda ingin tampil sendiri, Liverpool dalam ancamana serius.
Bagaimana Liverpool mau juara bila ternyata Salah, Mane dan Firmino malah berebut ingin menjadi pencetak gol terbanyak. Jadinya, mereka enggan mengumpan ke rekannya dan maunya mencetak gol sendiri. Belum lagi bila pemain lainnya ingin tampil sendiri karena ingin terus dipercaya sebagai pemain inti.
Padahal, kebesaran dalam sebuah unit, organisasi ataupun tim sepak bola, tidak akan pernah terwujud bila setiap anggota sibuk dengan target pribadi masing-masing. Justru, sukses hanya bisa tercipta bila setiap orang dalam unit/tim tersebut mau menekan ego pribadinya demi kepentingan bersama.
Bagaimana reaksi Klopp?
Dalam wawancara dengan media yang dilansir dari liverpoolfc.com pelatih asal Jerman ini memaklumi reaksi Mane. Pernah menjadi pemain--meski kurang sukses--Klopp mengaku bisa merasakan apa yang dirasakan Mane. "Saya bisa memahami kekecewaannya. Itu situasi dalam pertandingan dan apapun bisa terjadi. Namun, kami sudah membicarakan hal itu dan semuanya baik-baik saja," ujar Klopp.
Klopp juga diuntungkan karena pekan ini merupakan jeda agenda internasional. Liverpool baru akan kembali bermain pada 14 September mendatang. Artinya, waktu jeda akan penting untuk mendingingkan suasana tim. "Terima kasih Tuhan kami bisa jeda sepekan. Dan setelah sepekan, saya pikir semuanya akan melupakan hal ini," sambung Klopp dikutip dari liverpoolfc.com.
Saya percaya, Klopp akan bisa mendinginkan suasana di timnya. Selama ini, Klopp dikenal sebagai pelatih yang dekat dengan pemain-pemainnya. Ia bahkan bak seorang ayah bagai mereka. Silahkan melihat cuplikan video singkat di Youtube setelah Liverpool memenangi LIga Champions 2019 Mei lalu. Dari video tersebut, kita bisa melihat betapa Klopp sangat akrab dengan pemainnya. Dia nampak memeluk satu persatu pemainnya. Dia bahkan memeluk pemain-pemain Spurs, lawan yang dikalahkan Liverpool di final.
Fans Liverpool tentunya tidak sabar menunggu, apakah Mane dan Salah memang sudah melupakan 'gegeran' di markas Burnley ataukah ego itu akan kembali muncul di pertandingan berikutnya. Jawabannya akan tersaji saat Liverpool menjamu Newcastle United pada pekan kelima Liga Inggris, 14 September mendatang.
Andai Salah, Mane dan Firmino saling melengkapi seperti Sullivan dan Mike, Liverpool sangat mungkin kembali bisa meraih piala di musim ini. Namun, bila ego pribadi pemain yang ditonjolkan, Liverpool berada dalam situasi mengkhawatirkan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H