Membuat janji bertemu dengan orang lain, menjadi rutinitas harian bagi banyak orang. Bisa janji bertemu untuk membahas urusan pekerjaan, untuk mewawancara, atau sekadar mengajak makan siang untuk temu kangen karena sudah sangat lama tidak bertemu.
Seharusnya, urusan bertemu ini menyenangkan. Bukankah menyenangkan bisa bertemu orang untuk membahas pekerjaan yang berpotensi menjadi sumber pemasukan bagi kita? Bukankah menyenangkan bisa bertemu kawan lama sembari menikmati makan siang dan berbincang tentang masa lalu?
Namun, urusan sederhana bernama 'janjian bertemu' itu terkadang menjadi perkara menyebalkan. Penyebabnya, orang yang diajak janjian bertemu, ternyata 'ngaret'. Jadilah sampean yang sudah semangat datang lebih dulu, harus menunggu lama kedatangan orang tersebut.
Tetapi memang, ngaret ini seolah telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Oleh sebagian masyarakat, ngaret telah dianggap jadi kebiasaan yang lumrah. Sebab, ada banyak orang yang menjadi penganutnya, dalam artian melakukan hal yang sama.
Andai kita hanya dikelompokkan dalam dua golongan, yakni golongan tepat waktu dan 'golongan ngaret', bila harus menjawab jujur, rasanya akan ada banyak orang yang memasukkan dirinya dalam 'golongan ngaret' alias suka datang terlambat.
Kata ngaret sebenarnya berasal dari kata karet. Sesuai sifatnya, karet itu benda yang elastis dan mudah direnggangkan. Merujuk pada makna di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karet dapat mudah mulur dan mengerut alias tidak tentu, tidak pasti.
Nah, dalam kaitan dengan janji bertemu, yang suka direnggangkan adalah waktu. Mengaret berarti waktunya tertunda, mundur, dan tidak pasti. Singkat kata, orang yang suka ngaret berarti mereka yang suka memulurkan waktu alias datang terlambat dari waktu yang telah disepakati.
Saya mendadak tertarik menulis perihal budaya ngaret ini setelah mendengar cerita seorang kawan. Kemarin, kawan tersebut ada janji bertemu dengan seseorang di Sidoarjo terkait urusan pekerjaan. Janjiannya jam 10 pagi.
Kebetulan, kawan saya yang tinggal di Surabaya tersebut, tengah berada di Madura karena malamnya baru saja ada acara di Sumenep. Pagi sekali dia berangkat ke Sidoarjo.Â
Kata dia, selama ini dirinya memang membiasakan tidak datang telambat dalam urusan janjian dengan orang lain. Apalagi urusan pekerjaan yang tentu saja bisa berpengaruh pada citra dirinya. Sebab, tidak lucu bila peluang pekerjaan itu batal hanya gara-gara dirinya datang terlambat.
Pukul 9 pagi lebih beberapa menit, dia sudah tiba di Sidoarjo. Tepatnya di tempat janjian yang telah disepakati. Namun, yang terjadi, hingga pukul 10 lewat, orang yang berjanji belum juga datang. Lantas, dia menerima pesan di WhatsApp dari orang tersebut yang mengabarkan bila janjiannya batal karena dirinya ada urusan mendadak.
Mengapa banyak orang terbiasa ngaret?
Kawan itupun kembali ke Surabaya dengan rasa sebal. Dia kesal bukan karena orang yang janjian itu ternyata ngaret, bahkan membatalkan janji mendadak. Namun, lebih karena merasa waktunya sudah terbuang sia-sia. Padahal, ada urusan lain yang menunggu untuk dikerjakan seandainya tidak ada janjian datang ke Sidoarjo tersebut.
Tetapi memang, wajar bila kawan tersebut kesal. Sebab, dia sudah datang tepat waktu, bahkan sebelum waktunya. Dia juga sudah bersiap datang berjam-jam sebelum waktu janjian demi menghindari macet agar tidak sampai terlambat datang di lokasi.
Sebenarnya, mengapa ada banyak orang yang terbiasa ngaret?
Menurut saya, penyebabnya karena banyak orang yang memiliki pola pikir sama dan kebiasaan yang sama. Pola pikir yang menganggap orang lain juga akan melakukan hal yang sama (ngaret) karena merasa kebiasaannya seperti itu.
Yang terjadi, datang terlambat ketika janjian, dianggap sebagai hal yang lumrah. Sebaliknya, datang tepat waktu justru dianggap sebuah kesalahan. Malah, mereka seperti sengaja datang terlambat karena berpikir tidak mau menunggu orang lain yang menurutnya juga akan datang terlambat.
Toh, ketika datang telat, mereka sudah menyiapkan alasan yang seolah jadi 'jurus pamungkas'. Alasan berbunyi: "Maaf, ya, tadi di jalan macet banget".
Padahal, bila tahu jalanan memang biasanya macet dan tidak mau terlambat, seharusnya berangkat lebih awal. Bukan malah berangkat mepet.
Bila tidak ingin terlambat, kita sebenarnya bisa mengalkulasi kemungkinan macet dan memperkirakan butuh waktu berapa lama untuk sampai di lokasi janjian. Â
Perihal kebiasaan ngaret ini, bukankah sering terjadi, dalam sebuah acara, katakanlah reuni SMA yang seharusnya dimulai pukul 10 pagi, pihak panitia sengaja mengumumkan akan dimulai pukul 9 pagi. Mengapa ?Â
Sebab, pengumuman pukul 9 pagi itu sebagai antisipasi bila banyak orang terlambat. Artinya, kalaupun terlambat, mereka diharapkan jam 10 sudah tiba di lokasi. Sementara bila diumumkan pukul 10 pagi sesuai jadwal sebenarnya, bisa-bisa peserta baru datang pukul 11-an karena memang berpikir bila datang pukul 10 belum ada orang datang.
Begitu juga ketika acara travelling ke tempat rekreasi dengan menggunakan bus kota. Meski berangkatnya pukul 7 pagi, pihak panitia lebih suka mengumummkan berangka pukul 6.30. Sebab, mereka sudah paham banyak orang senang budaya ngaret. Bila diumumkan jam 6.30, minimal jam 7 pesertanya sudah ada di lokasi.
Ngaret bisa berdampak buruk bagi citra diri
Padahal tidak semua orang punya kebiasaan ngaret. Meski ada banyak orang menganggap ngaret itu bak kebiasaan, tetapi masih ada banyak orang yang tetap berprinsip tepat waktu ketika janjian dengan orang lain.
Saya memiliki kawan yang setiap kali berjanji bertemu dengan orang lain, minimal dia sudah datang di lokasi 15 sebelum waktu yang ditentukan. Kata dia, penting untuk tiba lebih awal. Sebab, kita bisa menata mood sebelum mengawali urusan dengan orang lain. Apalagi bila urusan itu berkaitan dengan pekerjaan.
Tidak lucu kan bila kita datang bertemu orang lain dalam suasana mood kurang bagus, terburu-buru dan dengan muka kesal imbas macet di jalan, terlebih ada perasaan bersalah dan tidak enak dengan orang lain yang datang lebih dulu. Suasana seperti itu tentunya tidak ideal untuk membicarakan urusan pekerjaan.Â
Saya pun membiasakan diri untuk tidak datang terlambat. Sebagai tukang nulis yang seringkali janjian wawancara dengan narasumber untuk bahan tulisan, sebisa mungkin saya berusaha untuk tiba di lokasi wawancara sebelum waktu yang telah disepakati. Saya menganggap, narasumber itu orang sibuk. Jadwal acaranya padat. Karenanya, bila mereka mau meluangkan waktu untuk diwawancara, itu luar biasa. Pantang menyia-nyiakan kesempatan 'mahal' seperti itu.Â
Terlebih bila kita belum pernah bertemu narasumber tersebut. Datang lebih awal akan menjadi pilihan tepat. Tidak apa-apa mengalah kita yang menunggu dia datang. Dengan begitu, saya bisa mengawali prosesi wawancara dengan nyaman. Semisal dengan "basa-basi" sebelum masuk ke inti wawancara. Â
Alangkah buruknya bila saya datang terlambat, lantas narasumber menunggu kedatangan saya. Sementara dia sejatinya meluangkan waktu untuk wawancara tersebut karena sebenarnya agendanya cukup padat. Bila seperti itu, suasana wawancaranya pasti tidak ideal. Masih beruntung bila saya tidak ditinggal oleh narasumber tersebut.
Bahkan, efek dari datang ngaret ini tidak hanya suasana yang kurang nyaman untuk melakukan urusan sesuai janjian. Efek dari datang ngaret juga bisa berdampak panjang. Sebab, ini urusannya dengan citra diri kita. Sekali kita terlambat, orang mungkin masih memahami "alasan macet" yang kita sampaikan. Namun, lebih dari itu, orang akan sulit percaya pada kita. Citra diri kita akan buruk.
Bayangkan bila kemudian kita ternyata mendapat tugas mewawancara orang atau bertemu untuk urusan peluang kerja yang ternyata orang tersebut pernah kecewa dengan sikap ngaret kita. Yang terjadi, bukan tidak mungkin orang tersebut akan enggan diwawancara. Atau, mengurungkan niat membicarakan kerja. Sebab, dia tahu bahwa kita punya reputasi buruk dalam hal menghargai waktu.
Ya, orang ngaret bisa dicap sebagai orang yang tidak menghargai waktu. Dia juga dianggap tidak bisa menghargai orang lain yang telah berusaha menghargai waktu. Siapa yang akan mau bekerja sama dengan orang seperti itu?
Move on dari budaya ngaret, bisakah?
Nah, bagi sampean yang ingin move on dari budaya ngaret, sebenarnya tidak sulit. Kuncinya sebenarnya sederhana. Yakni, adanya kemauan untuk datang tepat waktu dengan mengolah waktu yang tepat (time management). Semisal melakukan estimasi kemacetan di jalan berapa lama dan harus berangkat dari rumah pukul berapa menuju tempat janjian. Sehingga, tidak ada lagi alasan macet di jalan.
Selain itu, penting untuk menghargai waktu orang lain yang boleh jadi mereka sangat sibuk. Cukup berpikir sederhana, seandaianya kita yang datang lebih dulu lantas dipaksa menunggu lama, apa iya kita mau seperti itu.
Memang, butuh kesabaran jika sudah berusaha datang tepat waktu tapi orang lain masih terlambat. Toh, minimal sampean sudah 'menang' dengan diri sendiri dalam urusan mengatasi budaya ngaret itu. Bahkan, dengan bersikap disiplin dan memiliki manajemen waktu yang baik, orang lain yang terlambat akan malu. Bukan tidak mungkin, mereka tidak akan lagi mengulanginya di lain hari.
Jangan malah sekali-kali berpikir "besok-besok giliran saya yang datang terlambat, agar dia tahu bagaimana kesalnya menunggu". Bila pikiran 'balas dendam' itu yang dimunculkan, sampean sendiri yang akan rugi. Rugi karena sampean akan membuat citra diri jadi buruk.
Selain itu, bila pola pikir balas dendam seperti itu yang dimunculkan, fenomena budaya ngaret tidak akan pernah selesai. Balas dendam ngaret itu bisa menjadi 'pantun yang berbalas'. Jadi, penting untuk berhenti ngaret dengan memulai dari diri sendiri. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H