Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa "Budaya Ngaret" Banyak Peminatnya?

28 Agustus 2019   10:40 Diperbarui: 28 Agustus 2019   12:20 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banyak orang menganggap terlambat datang (sumber: theladders.com)

Move on dari budaya ngaret, bisakah?

Nah, bagi sampean yang ingin move on dari budaya ngaret, sebenarnya tidak sulit. Kuncinya sebenarnya sederhana. Yakni, adanya kemauan untuk datang tepat waktu dengan mengolah waktu yang tepat (time management). Semisal melakukan estimasi kemacetan di jalan berapa lama dan harus berangkat dari rumah pukul berapa menuju tempat janjian. Sehingga, tidak ada lagi alasan macet di jalan.

Selain itu, penting untuk menghargai waktu orang lain yang boleh jadi mereka sangat sibuk. Cukup berpikir sederhana, seandaianya kita yang datang lebih dulu lantas dipaksa menunggu lama, apa iya kita mau seperti itu.

Memang, butuh kesabaran jika sudah berusaha datang tepat waktu tapi orang lain masih terlambat. Toh, minimal sampean sudah 'menang' dengan diri sendiri dalam urusan mengatasi budaya ngaret itu. Bahkan, dengan bersikap disiplin dan memiliki manajemen waktu yang baik, orang lain yang terlambat akan malu. Bukan tidak mungkin, mereka tidak akan lagi mengulanginya di lain hari.

Jangan malah sekali-kali berpikir "besok-besok giliran saya yang datang terlambat, agar dia tahu bagaimana kesalnya menunggu". Bila pikiran 'balas dendam' itu yang dimunculkan, sampean sendiri yang akan rugi. Rugi karena sampean akan membuat citra diri jadi buruk.

Selain itu, bila pola pikir balas dendam seperti itu yang dimunculkan, fenomena budaya ngaret tidak akan pernah selesai. Balas dendam ngaret itu bisa menjadi 'pantun yang berbalas'. Jadi, penting untuk berhenti ngaret dengan memulai dari diri sendiri. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun