Move on dari budaya ngaret, bisakah?
Nah, bagi sampean yang ingin move on dari budaya ngaret, sebenarnya tidak sulit. Kuncinya sebenarnya sederhana. Yakni, adanya kemauan untuk datang tepat waktu dengan mengolah waktu yang tepat (time management). Semisal melakukan estimasi kemacetan di jalan berapa lama dan harus berangkat dari rumah pukul berapa menuju tempat janjian. Sehingga, tidak ada lagi alasan macet di jalan.
Selain itu, penting untuk menghargai waktu orang lain yang boleh jadi mereka sangat sibuk. Cukup berpikir sederhana, seandaianya kita yang datang lebih dulu lantas dipaksa menunggu lama, apa iya kita mau seperti itu.
Memang, butuh kesabaran jika sudah berusaha datang tepat waktu tapi orang lain masih terlambat. Toh, minimal sampean sudah 'menang' dengan diri sendiri dalam urusan mengatasi budaya ngaret itu. Bahkan, dengan bersikap disiplin dan memiliki manajemen waktu yang baik, orang lain yang terlambat akan malu. Bukan tidak mungkin, mereka tidak akan lagi mengulanginya di lain hari.
Jangan malah sekali-kali berpikir "besok-besok giliran saya yang datang terlambat, agar dia tahu bagaimana kesalnya menunggu". Bila pikiran 'balas dendam' itu yang dimunculkan, sampean sendiri yang akan rugi. Rugi karena sampean akan membuat citra diri jadi buruk.
Selain itu, bila pola pikir balas dendam seperti itu yang dimunculkan, fenomena budaya ngaret tidak akan pernah selesai. Balas dendam ngaret itu bisa menjadi 'pantun yang berbalas'. Jadi, penting untuk berhenti ngaret dengan memulai dari diri sendiri. Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H