Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengajari Anak-anak agar Mengenal "Fungsi Menang dan Kalah"

22 Agustus 2019   21:08 Diperbarui: 25 Agustus 2019   15:32 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penting untuk mengajari anak-anak 'fungsi kalah' sejak dini sehingga mereka tidak menganggap kalah sebagai aib/Foto: parentingsquad.com

Sampean (Anda) yang sudah menjadi orangtua, apakah selama ini sampean memberikan perlakuan berbeda kepada kata "menang" dan "kalah" ketika mengenalkannya kepada anak.

Perlakuan berbeda dalam artian, Anda akan senang luar biasa bila mendapat kabar anak menang/juara dan kecewa berat bila anak kalah/gagal. Ataukah, sampean menganggap menang dan kalah itu sebenarnya sama saja karena sama-sama bermakna penting bagi anak-anak.

Tetapi memang, tidak sedikit orangtua yang mungkin tanpa sadar telah mengajarkan anak-anaknya agar mencintai kemenangan dan membenci kekalahan dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan. Anak-anak seolah didoktrin untuk selalu menang, menang, dan menang.

Tentu saja, tidak ada yang keliru memotivasi anak-anak untuk berusaha menjadi pemenang dalam kelas, kegiatan ekstrakurikuler olahraga di sekolah, maupun bersaing dengan teman sebayanya di tempat les/kursus bahasa Inggris.

Namun, yang kurang benar adalah ketika anak-anak ditekan tidak boleh gagal dan harus selalu menjadi yang terbaik. Seolah kekalahan itu dianggap aib.

Padahal, dalam setiap kompetisi, pertandingan, perlombaan atau apalah namanya, hasil akhirnya tentu selalu memunculkan cerita ada yang menang dan ada yang kalah. Tidak ada ceritanya semua menang dalam sebuah kompetisi. Apa iya ada juara 1 a, juara 1 b, dan seterusnya. 

Disinilah, penting bagi orangtua untuk tidak selalu menuntut anaknya menang dan menang. Sebab, tidak kalah penting adalah mengajari mereka untuk "berkenalan" dengan kalah. 

Penting untuk membiarkan mereka merasakan kekalahan. Sebab, dengan begitu, mereka bisa belajar memahami apa sebenarnya fungsi kalah.

Agustus, kesempatan terbaik mengenalkan fungsi kalah kepada anak
Pendek kata, orangtua seharusnya tidak melulu mengenalkan menang, tetapi juga fungsi kalah dalam kompetisi kepada anak-anaknya. Sebab, menang dan kalah kelak akan menjadi salah satu bagian penting dalam hidup yang akan mereka jalani. 

Bagian penting yang akan terus terjadi berulang.

Nah, dalam kaitan hal ini, bulan Agustus menjadi kesempatan terbaik bagi para orangtua untuk mengenalkan fungsi menang dan kalah. 

Ya, selama Agustus ini, ada banyak anak yang merasakan 'kompetisi' dengan hasil akhir: menang atau kalah. Kompetisi itu berwujud dalam aneka perlombaan yang digelar dalam rangka memeriahkan Peringatan HUT Kemerdekaan RI.

Bukankah hampir semua anak-anak antusias mengikuti lomba-lomba 17-an yang diadakan di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal mereka?

Sebut saja perlombaan yang umum seperti lomba makan kerupuk, balap karung, membawa kelereng dengan sendok, dan perlombaan lainnya. 

Sesederhana apapun lombanya, toh mereka bersaing dengan teman-temannya dengan keinginan menjadi pemenang. Dan tentu saja ada yang tidak menang--untuk tidak menyebut kalah.

Setelah mengikuti perlombaan, umumnya anak-anak akan pulang ke rumah untuk melaporkan hasil lomba yang mereka ikuti kepada orangtua masing-masing. Laporannya ya tentang mereka menang atau kalah dalam lomba 17-an tersebut. Kadang dibumbui cerita kejadian lucu selama lomba.

Seperti akhir pekan kemarin, sore menjelang maghrib, Gaoqi, anak sulung saya yang kelas 3 SD, pulang ke rumah dengan muka agak cemberut. Dia lantas berujar.

"Kakak nggak menang lomba balap kelereng, Yah. Hanya juara dua. Kalah cepat sama Prabu," ujarnya.

Mendengar laporan itu, saya tergoda untuk bertanya: "Bagaimana ceritanya Kak kok bisa juara dua?" Saya bertanya untuk tahu cerita detail kejadiannya, bukan untuk menghakimi mengapa dia menjadi runner-up.

Dia lantas menjawab: "Tadi kakak di awal lomba sudah benar. Kakak jalan pelan-pelan agar kelerengnya nggak jatuh. Teman-teman lain ada yang kelerengnya jatuh karena buru-buru. Tapi, ketika mendekati garis finish, Prabu malah berani berlari dan kelerengnya nggak jatuh. Karena itu dia menang," jelas Gaoqi.

Obrolan kami pun semakin seru. Saya balik bertanya: "Kakak tahu nggak, mengapa Prabu akhirnya bisa menang sementara kakak jadi juara dua?" Dia lantas menggeleng, pertanda sekadar ingin mendengar jawaban dari ayahnya.

"Begini Kak, Prabu bisa menang karena dia berani nekad. Dia nekad berlari agar cepat sampai garis finish meski kelerengnya bisa saja jatuh dari sendok. Ternyata tidak jatuh kan. Sementara kakak karena khawatir kelerengnya jatuh, jalannya pelan-pelan," ujar saya.

"Jadi, bila ingin menjadi pemenang, terkadang kita harus berani nekad Kak. Tapi juara dua itu sudah keren kok Kak. Kakak juga jadi bisa tahu mengapa gagal juara 1. Nah, tahun depan kalau ikut lomba balap kelereng lagi, diingat-ingat ini agar bisa menang," sambung saya membesarkan hatinya, lantas memeluk dan menyuruhnya mandi. 

Kekalahan bukanlah aib, kita hanya perlu tahu fungsinya
Ya, sejatinya sebuah kekalahan itu bukanlah aib. Ia juga bukan petaka yang perlu diratapi. Ia hanya perlu disikapi dengan benar. Sebab, bila mampu menyikapi kekalahan dengan benar, kita bisa tahu bahwa kalah itu punya fungsi untuk mengingatkan kita. 

Mengingatkan tentang hal yang masih perlu kita perbaiki. 

Tak hanya kekalahan dalam perlombaan, "kegagalan" dalam persaingan menjadi yang terbaik di kelas, juga perlu kita sikapi dengan benar. Saya sengaja membubuhkan tanda kutip pada kata kegagalan karena sejatinya tidak ada gagal dalam proses belajar di kelas. 

Perihal nilai rapor di kelas, kebanyakan para orangtua akan senang bila anaknya mendapat nilai bagus dan mendapat ranking bagus. Sementara bila anaknya nilainya biasa dan tidak mendapat ranking bagus, mereka menganggap anaknya telah gagal. Malah ada tega yang menyebut anaknya tidak pandai.

Padahal, kita hanya perlu memahami bahwa tidak setiap anak punya kemampuan akademis bagus. Jamak terjadi, anak yang kurang unggul di bidang akademis, ternyata lebih unggul dari anak-anak lainnya di bidang non akademis seperti seni, olahraga ataupun musik.

Itulah fungsi lain dari "kekalahan" yang dialami anak dalam kehidupan mereka. Kalah tak hanya mengingatkan perihal hal yang masih harus diperbaiki, tetapi kekalahan anak-anak di satu bidang, sebenarnya menuntun kita--para orang tua--agar mau mencari tahu potensi terbaik dari si anak di bidang lainnya. Sebab, anak-anak akan selalu menjadi pemenang di bidang yang mereka suka.

Dan, berkorelasi dengan Agustus sebagai bulan kemerdekaan, bila kita mampu mengenalkan fungsi menang dan juga fungsi kalah kepada anak-anak sejak dini, ada harapan kelak mereka akan tumbuh menjadi generasi unggul. 

Generasi yang tidak silau karena kemenangan lantas menjadi lupa diri dan sombong. Juga tidak mudah depresi ketika mengalami kekalahan.

Dengan memahami fungsi menang dan kalah, ada harapan anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang senantiasa bersungguh-sungguh berusaha untuk meraih hasil terbaik. Bila menang, mereka akan bersikap membumi. 

Dan bilapun hasilnya ternyata berbeda dari yang diharapkan, mereka bisa mengambil pelajaran untuk memperbaiki diri. Sikap seperti inilah yang bisa menjadi keunggulan orang Indonesia. 

Sebagai penutup, berbahagialah bila sebagai orang tua, sampean bisa menganggap menang dan kalah tidak sama seperti hitam dan putih yang bertentangan. Justru, menang dan kalah itu sama-sama penting bagi anak-anak.

Bila menang mengajari anak-anak pentingnya melakukan kesungguhan dan kerja keras demi meraih hasil terbaik, sementara kalah membuat mereka bisa menghargai usaha yang sudah mereka lakukan sembari melakukan introspeksi diri agar menjadi lebih baik di kesempatan berikutnya. Salam  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun