Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Karena Hal Ini, Bertanya di Jalan Lebih Asyik daripada Google Maps

20 Agustus 2019   20:41 Diperbarui: 21 Agustus 2019   11:37 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada cukup banyak kebiasaan kita di masa lalu yang kini tinggal kenangan. Lenyap setelah kemunculan makhluk bernama teknologi. Padahal, kebiasaan-kebiasaan tersebut mengasyikkan. Utamanya dalam hal kelebihan kita sebagai orang Indonesia yang ramah, mudah akrab satu sama lain dengan 'jurus basa-basi' sebagai pembuka obrolan.

Ambil contoh kebiasaan mengantre di 'warung telekomunikasi' (wartel). Dulu, wartel adalah tempat romantis. Bagi sampean (Anda) yang pernah merasakan kuliah atau tinggal jauh dari orang tua ataupun menjalani hubungan jarak jauh dengan pujaan hati, wartel adalah tempat merajut rindu. Meski hanya bia mendengarkan suara, itu rasanya sudah bahagia banget.

Menariknya, dalam menelpon di wartel ini, ada 'prime time' yakni malam di atas jam 21.00 hingga pagi setelah Shubuh, yang membuat banyak orang punya keinginan yang sama untuk menelpon di jam-jam tersebut. Maka di wartel pun terjadi antrean. Di situlah menariknya, sembari menunggu giliran bisa menggunakan telpon, kita bisa ngobrol dengan orang lain sesama pengantre.

Kini, dengan hampir setiap orang memiliki gawai masing-masing, kebiasaan mengobrol di wartel itupun tinggal kenangan. Lha wong untuk menelpon, kita bisa melakukannya di mana saja dan kapan saja, tanpa harus ke wartel dan mengejar waktu 'prime time' ketika tarif telepon mendapatkan diskon.

Begitu juga kebiasaan mengantre di penjual nasi goreng ataupun penjual makanan lainnya. Dulu, bagi mereka yang tinggal di kost ketika kuliah, mengantre ketika membeli makanan itu salah satu hal menyenangkan.

Sebab, mereka melakukannya secara 'berjamaah'. Maksudnya, datang ke warung makan bareng-bareng. Tentunya diselingi gelak tawa dan canda.

Bahkan, bilapun belum kenal dengan sesama pembeli, kita masih bisa ngobrol dengan penjual nasi gorengnya. Plus, bisa membaui aroma lezat bawang yang digoreng hingga nasi yang digoreng berpadu bumbu.

Memang, kebiasaan itu belum sepenuhnya hilang. Namun, dengan adanya teknologi aplikasi yang memungkinkan pemesanan makanan melalui gawai, ada banyak orang yang kini lebih suka memesan makanan hanya dengan  smartphone. Tinggal menunggu di rumah, makanan datang dengan sendirinya (diantar).

Salah satu kebiasaan orang Indonesia yang kini juga mulai ditinggalkan adalah bertanya ketika mencari alamat rumah/kantor. Dulu, kita tak perlu khawatir akan tersesat ketika berada di kota orang ataupun ketika mencari alamat. Selama kita mau bertanya, kita akan bisa sampai tujuan.

Sebab, ada banyak orang yang berbaik hati menunjukkan kepada kita rute menuju alamat yang dituju.

Perihal kebiasaan bertanya ketika mencari alamat ini, kita bahkan sudah dijejali pemahaman sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Kita dikenalkan pada ungkapan "malu bertanya sesat di jalan".

Maknanya, selama mau bertanya, kita tidak akan mungkin tersesat. Karena itu tadi, orang Indonesia itu baik sehingga mereka tidak akan berat hati menunjukkan alamat yang benar.

Namun, sejak dunia mengenal Google Maps, banyak orang mulai tidak lagi terbiasa 'bertanya' di jalan. Lha wong tanpa bertanya kepada warga setempat, mereka sudah bisa tahu alamat tempat yang dicari dengan panduan layanan pemetaan web tersebut. Ungkapan "malu bertanya sesat di jalan itu pun mulai dilupakan" banyak orang.

Sekadar informasi, Google Maps adalah layanan pemetaan web yang dikembangkan oleh Google. Layanan ini memberikan citra satelit, peta jalan, panorama 360, kondisi lalu lintas, dan perencanaan rute untuk bepergian dengan berjalan kaki, mobil, sepeda (versi beta), atau angkutan umum.

Dengan fungsinya yang luar biasa tersebut, tidak mengherankan bila banyak orang sudah akrab dengan Google Maps. Pengguna ponsel cerdas rasanya semuanya pernah menggunakan layanan ini. Mungkin termasuk juga sampean.

Tentu saja, kita tidak bisa menolak teknologi. Menolak teknologi sama saja dengan mundur ke belakang, ke masa puluhan tahun silam.

Namun, kehadiran teknologi di tengah-tengah kita seharusnya sebatas memudahkan, meringankan, memudahkan, dan menyederhanakan tugas dan urusan kita. Hadirnya teknologi seharusnya tidak merampas sisi manusia kita yang senang berinteraksi dengan orang lain.

Karenanya, dalam urusan menemukan alamat ini, antara Google Maps dan bertanya kepada orang di jalan, bukanlah sebuah pilihan. Bagi saya, keduanya bisa dipakai bersama. Bukannya Google Maps menggantikan bertanya. Bukan pula menolak teknologi baru dengan tetap melakukan budaya bertanya.

Ya, sebagai 'tukang nulis' yang pekerjaan sehari-harinya mewawancara narasumber ataupun datang langsung ke lokasi sebagai bahan utama penulisan, keberadaan Google Maps memang sangat membantu saya.

Namun, saya juga tidak mau melupakan kebiasaan bertanya yang sudah saya lakukan selama lebih dari sedekade. Karenanya, saya coba 'mengawinkan' keduanya.

Ambil contoh ketika esok harus bertemu dan mewawancara narasumber ataupun datang ke sebuah acara di tempat A yang belum saya ketahui, malamnya saya biasakan untuk mencari lokasi tempat tersebut lewat Google Maps. Dari penelurusan tersebut, saya bisa tahu ancar-ancar alias perkiraan lokasinya.

Semisal tempat A tersebut berdekatan dengan tempat yang saya tahu. Sehingga, akan memudahkan ketika esoknya saya mendatangi lokasi tersebut.

Meski begitu, dalam kenyataannya, tidak selalu hasil penelusuran Google Maps tersebut membuat saya bisa langsung tahu lokasinya. Pernah ketika mencari alamat kantor kelurahan yang tentu saja tidak 'terkenal' seperti rumah sakit atau kantor wali kota, saya masih harus mencari lokasi persisnya.

Nah, dalam situasi seperti itulah, saya lebih senang bertanya kepada orang yang saya temukan di jalan. Cukup turun dari motor, lantas bertanya singkat ke beberapa orang. Mereka yang saya temui antusias memberikan petunjuk.

Kalaupun tidak tahu, mereka biasanya berujar jujur bahwa mereka bukan warga asli di wilayah tersebut. Kita tinggal bertanya lagi ke orang yang kebetulan tahu. Dari petunjuk bertanya tersebut, kantor kelurahan yang dicari bisa dengan cepat ditemukan.  

Terbiasa bertanya di jalan sejak bekerja di 'pabrik koran'
Bagi saya, bertanya di jalan kepada orang ketika mencari alamat itu memang kebiasaan lama. Dulu, ketika bekerja di pabrik koran, saya tidak pernah merasa takut bakal tersesat, meski ditempatkan di tempat yang baru saya kenal. Prinsip saya, selama ada orang yang bisa ditanya, saya tidak akan tersesat.

Bertanya itupun menjadi senjata saya ketika pernah ditugaskan di beberapa kota seperti Surabaya, Malang, Sidoarjo, Gresik dan juga Jakarta. Kota terakhir mungkin yang paling sulit. Butuh waktu sekitar satu bulan untuk benar-benar paham jalanan Jakarta dari jalan utama hingga 'jalan tikus'. Karena memang, Jakarta adalah tempat yang benar-benar baru bagi saya.

Dulu, ketika bertugas di Jakarta, saya sempat punya 'trik' ketika bertanya, bila memang tidak tahu lokasi yang saya tuju. Saya terbiasa bertanya kepada orang sebelum melewati perempatan.

Kenapa?

Sebab, bila melewati perempatan jalan dan belum tahu lokasinya, pencarian bakal bertambah rumit. Karenanya, penting untuk sebelum melewati perempatan.

Meski, awalnya saya juga tidak khawatir bila tersesat. Saya malah menganggapnya bagian dari pengenalan jalan-jalan di Jakarta. Lha wong pernah, baru dua minggu di Jakarta, ada tugas meliput ke Depok. Sampai minta kawan untuk digambarkan peta berisi rute perjalanan. Tapi ya akhirnya ketemu dan bisa kembali ke kantor karena bertanya.

Hadirnya sebuah teknologi baru iut sebuah keniscayaan yang sulit ditolak. Terpenting, kita tidak menghilangkan kebiasaan-kebiasaan yang membuat kita bisa dekat satu sama lain. Salah satunya kebiasaan bertanya itu.

Sebab, dari bertanya di jalan, kita akan tahu betapa orang-orang Indonesia itu ramah, menyenangkan, dan senang membantu orang lain. Nyatanya, saya bisa merasakan sikap baik itu di semua kota yang pernah saya singgahi.

Ah ya, terkait foto yang saya pajang dalam tulisan ini, saya kebetulan menemukannya di akun Twitter @Sejarah Bali (http://www.sejarahbali.com). Foto yang sarat pesan. Tulisan penjelas fotonya juga keren: "seorang Turis bertanya arah jalan kepada orang lokal, 1993, tahun itu belum ada Google Maps". Ya, dari bertanya, sampean akan bisa merasakan betapa nikmatnya tinggal di Indonesia.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun