Mana dari buku Paulo Coelho yang sudah sampean (Anda) baca? Apakah buku itu The Alchemist? Ataukah Onze Minutos alias Sebelas Menit, The Fifth Mountain alias Gunung Kelima, Hippie hingga Sang Penyihir dari Portobello?
Ataukah sampean memang punya banyak koleksi bukunya Coelho meski belum semuanya sempat dibaca. Nama novelis asal Brasil berusia 71 tahun ini memang sedang hits.Â
Ia merupakan salah satu penulis yang mampu menaklukkan perbukuan internasional setelah karyanya paling banyak dibaca di dunia saat ini. Atas karya-karyanya, ia telah menerima sejumlah penghargaan internasional.
Namun, bukan karya-karya Coelho itu yang ingin saya ulas melalui tulisan ini. Saya tertarik dengan salah satu kutipan (quote) Coelho yang saya temukan tidak sengaja. Ketika saya menulis kata "blame quote" di mesin pencari Google, muncullah kutipan Coelho ini.
"It's always easy to blame others. You can spend your entire life blaming the world, but your success and failures are entirely your own responsibility".
Bila diterjemahkan bebas, maknanya kurang lebih: "Selalu mudah untuk menyalahkan orang lain. Anda dapat menghabiskan seluruh hidup Anda menyalahkan dunia, tetapi keberhasilan dan kegagalan Anda sepenuhnya adalah tanggung jawab Anda sendiri".
Sejak beberapa hari lalu, saya memang gemas ingin menulis tema "menyalahkan orang lain" ini. Gemas karena mengetahui ada beberapa orang di grup chatting ataupun di dunia nyata yang ternyata tidak memiliki "cermin untuk bercermin". Mereka tidak terbiasa mengintropeksi diri. Bisanya hanya melihat kesalahan orang lain.
Kita yang lebih suka menyalahkan orang lain tanpa mau introspeksi diri
Bahkan, kemarin pagi, saya cukup terkejut ketika membaca pesan WhatsApp dari seorang mahasiswa yang biasa bertemu di kelas. Ceritanya, si mahasiswa itu bertanya perihal dirinya mendapat nilai B untuk nilai akhir mata kuliah Dasar Jurnalistik yang saya ajar.
Dia merasa telah mengirimkan tulisan ke media dan dimuat seperti tugas Ujian Akhir Semester (UAS) yang saya berikan. Dia merasa seharusnya dirinya mendapat nilai A. Jadilah dia bertanya--lebih tepatnya protes mengapa hanya mendapat nilai B. "Nilai Dasar Jurnalistik saya kok B ya pak. Apakah benar nilai saya B pak?".
Saya lantas menjelaskan bahwa nilai akhir itu merupakan akumulasi dari beberapa nilai. Bukan hanya nilai tugas UAS. Namun, ada juga nilai kehadirannya di kelas selama perkuliahan, nilai keaktifannya selama mengikuti kuliah, nilai tugas dan juga nilai UTS.
Bahkan, tugas UAS yang dia kerjakan sejatinya juga belum terlalu tepat sasaran. Tugasnya adalah menulis artikel opini tentang persoalan publik, tema yang lagi viral ataupun tema yang berkaitan langsung dengan kotanya. Setelah ditulis, dikirimkan ke media nasional, minimal media regional di Jawa Timur. Dan itupun harus muat.
Nah, mahasiswa tersebut, dengan pertimbangannya, mengirimkan tugasnya di media lokal dan dimuat. Tentu saja, tingkat kesulitan tulisan untuk bisa dimuat di media nasional, regional dan lokal, sangat berbeda.Â
Bila dikirim ke media lokal, jelas akan lebih dimuat. Bila seperti itu, saya juga mempertimbangkan bobot tema yang ditulis. Dan tentu saja, nilainya berbeda.Â
Demi mendengar penjelasan tersebut, mahasiswa tersebut lantas menjawab singkat lewat tulisan di WhatsApp. "Oalah ya sudah pak, terima kasih banyak (ditambah emoticon nyengir)".
Bagi saya, pertanyaan tersebut sebenarnya biasa. Karena memang, sejak awal mengajar, saya mempersilahkan mereka (mahasiswa) untuk menyampaikan pertanyaan ataupun berkonsultasi perihal tugas via WA.
Namun, dari pertanyaan mahasiswa itu, kita bisa menangkap pesan perihal perilaku sebagian dari kita yang memang lebih suka bereaksi terhadap keputusan/tindakan orang lain, tanpa melihat apa yang sebenarnya sudah kita dilakukan. Mereka lebih suka menyalahkan orang lain tanpa mau mengintropeksi diri apakah sudah melakukan yang terbaik.
Tidak sedikit dari kita yang merasa bisa dan seharusnya mendapatkan 'penghargaan' lebih tanpa melihat kepantasan diri. Apa iya, orang yang setengah rajin akan mendapatkan hasil sama dengan mereka yang benar-benar all out.Â
Apa iya, mereka yang asal menyelesaikan tugasnya, mendapatkan 'hadiah' sama dengan mereka yang benar-benar serius mempersiapkannya.Â
Penting mengajari anak tidak hobi menyalahkan orang lain sejak dini
Menurut saya, menyalahkan orang lain ini perilaku yang perlu diatasi. Sebab, bila menjadi kebiasaan, orang dengan perilaku seperti ini tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga bisa menjadi 'gangguan' di lingkungan manapun, baik di dunia nyata maupun di media sosial.
Karenanya, penting untuk mengajarkan sikap tidak suka menyalahkan orang lain ini sejak dini. Saya pun mencoba menanamkan sikap ksatria, legowo, dan tidak hobi menyalahkan teman itu kepada dua anak saya yang masih SD.
Seperti kemarin, ketika si sulung yang kelas 3 SD mengikuti ekstra kurikuler futsal di sekolahnya. Dia bersemangat ikut futsal sepulang sekolah. Kebetulan, saya bisa mendampinginya hingga selesai pukul 5 sore sehingga bisa melihat langsung.
Namanya, anak-anak yang baru mengenal futsal, mereka belum paham bahwa olahraga itu harus dimainkan secara rapi, berbagi posisi dan berbagi bola untuk bisa mencetak gol. Yang terjadi, ketika anak-anak yang dibagi menjadi beberapa tim itu tampil, mereka bermain grudukan. Di mana ada bola, disitulah mereka berlari. Semuanya. Kecuali kiper yang mematung di gawang.
Nyaris tidak ada operan sepanjang permainan selama lima menitan. Pokoknya bola ditendang. Yang ada malah beberapa dari mereka terjatuh karena bersenggolan dengan kawan lainnnya. Meski ada juga beberapa anak yang sudah paham bagaimana memainkan futsal yang benar.
Nah, bagian yang menarik adalah ketika futsal itu selesai dan kami kembali ke rumah. Dalam perjalanan pulang, anak saya berujar begini: "Kakak nggak dapat operan bola Yah. Teman-teman nggak ngoper ke kakak," ujarnya. Dia seolah menyalahkan teman-temannya.
Saya lantas menjawab bila ketika bermain bola seperti yang dia dan teman-temannya mainkan, akan sulit bisa mengoper bola. Lha wong setiap anak sibuk dengan urusan merebut bola. Bahkan ketika temannya membawa bola, teman satu timnya juga ikut merebut. Bagaimana bisa mengumpan bila belum mampu membawa bola dengan benar.
Saya mencoba memberikan pemahaman tentang situasi yang dihadapinya, sembari memotivasinya. "Tapi nggak apa-apa Kak. Kan ini baru pertama kali main di lapangan. Yang penting terus semangat. Yang penting terus belajar. Ingat pesan pak pelatih sebelum pulang tadi," ujar saya. Â
Ya, yang tak kalah penting adalah tidak mematahkan semangat mereka. Jangan sampai, niatan kita untuk mengajari mereka agar tidak menyalahkan orang lain, malah kita dianggap sedang menyalahkan mereka. Bukankah anak-anak paling tidak senang bila disalahkan atau dibanding-bandingkan dengan anak lain?
Kebiasaan untuk tidak menyalahkan orang lain itu juga saya coba tanamkan di rumah. Semisal ketika sedang makan lesehan di lantai, tiba-tiba gelas berisi air minum tumpah karena tidak sengaja tersenggol. Masalah sepele ini bisa menjadi penyebab "perang" antara si kakak dan adik.
Semisal yang menyenggol gelas tersebut si kakak, dia malah menyalahkan adiknya yang dianggapnya menaruh gelas sembarangan. Sementara si adiknya bersikukuh bahwa kakaknya-lah yang salah karena telah menyenggol gelas hingga airnya tumpah.
Bila sama-sama merasa benar dan menyalahkan orang lain seperti itu, sampai kapanpun mereka akan terus begitu. Karenanya, harus ada penjelasan untuk keduanya perihal situasi yang mereka hadapi.
Si adik diberitahu agar di lain waktu tidak menaruh gelas sembarang. Sementara si kakak dipesani agar lain kali lebih waspada. Situasi itu juga berlaku sebaliknya. Dengan begitu, mereka jadi paham, masalah seperti itu tidak akan terjadi lagi bila sama-sama berhati-hati. Â
Dan yang terpenting adalah bukan sekadar memberikan nasehat kata-kata demi meredakan sikap saling menyalahkan. Bila sudah terjadi, terpenting adalah menyampaikan solusi untuk mengatasinya. "Ayo diambil kain lap untuk mengelap airnya agar lantainya tidak licin. Daripada nanti licin dan kalian bisa jatuh," ujar saya.
Ya, penting untuk mengajari anak-anak agar tidak gemar menyalahkan orang lain, dimulai dari lingkungan rumah. Sehingga, ketika mereka berinteraksi dengan kawan-kawannya di luar rumah, mereka tidak mudah menuding orang lain ketika terjadi situasi yang tidak mereka harapkan. Namun, mereka mau melihat ke diri mereka sendiri.
Sebenarnya, apa sih bahayanya orang yang gemar menyalahkan orang lain?
Bahayanya, orang seperti ini akan cenderung sulit untuk berubah. Mereka akan terus saja menyalahkan orang lain karena merasa dirinya paling benar. Bila seperti itu, mereka tidak akan pernah belajar untuk menjadi lebih baik.Â
Bukan tidak mungkin, bila sedari kecil gemar menyalahkan orang lain, itu akan terbawa kelak ketika di lingkungan kerja, bahkan ketika berumah tangga.Â
Padahal, dengan menyalahkan orang lain atas situasi buruk yang terjadi, tidak akan otomatis mengubah situasi menjadi lebih baik. Terlebih seorang atasan yang suka menyalahkan anak buahnya ketika ada pekerjaan yang tidak beres. Padahal, itu tanggung jawabnya sebagai atasan untuk mengubah situasi menjadi lebih baik dengan merangkul bawahan dan mengajak mereka bicara.
Mungkin saja dia merasa puas karena merasa "harus ada yang disalahkan". Namun, bukannya itu sama saja dia telah mencari 'musuh'. Bukankah respek dari orang lain itu tidak dapat dengan jumawa?
Seperti kata Coelho: "It's always easy to blame others. You can spend your entire life blaming the world, but your success and failures are entirely your own responsibility". Salam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H