Mohon tunggu...
Hadi Santoso
Hadi Santoso Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Jurnalis.

Pernah sewindu bekerja di 'pabrik koran'. The Headliners Kompasiana 2019, 2020, dan 2021. Nominee 'Best in Specific Interest' Kompasianival 2018. Saya bisa dihubungi di email : omahdarjo@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Kisah Tribun Sunyi dan Potensi Tiga Gelar di Japan Open

27 Juli 2019   17:09 Diperbarui: 28 Juli 2019   02:35 674
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Usai gagal di Indonesia Open, Praveen/Melati berhasil lolos ke final Japan Open/Foto: CNN Indonesia

Bila sampean (Anda) mengandaikan diri sebagai pebulutangkis top dunia, mana yang sekiranya lebih menguntungkan antara bermain di negara sendiri dengan dukungan ribuan fans atau bermain jauh di luar negeri yang sepi dukungan?

Ternyata, jawabannya bukanlah tentang mana yang lebih baik. Sebab, keduanya sama-sama baik. Hanya tergantung bagaimana pemain bisa menempatkan keramaian dan kesunyian sebagai situasi yang menguntungkan bagi mereka.

Gambaran seperti itulah yang dihadapi beberapa pebulutangkis top Indonesia yang dalam dua pekan beruntun harus tampil di dua turnamen BWF World Tour, Indonesia Open 2019 Super 1000 dan Japan Open 2019 Super 750. Bahwa ternyata, tampil di Musashino Forest Sport Plaza di Tokyo yang merupakan venue Japan Open, ternyata sangat berbeda dengan Istora Gelora Bung Karno.

Di Istora yang menjadi 'panggung' Indonesia Open pekan lalu, menjadi bukti betapa untuk urusan mendukung atletnya bertanding, fans Indonesia-lah juaranya. 

Sejak fase grup apalagi ketika masuk babak penting, suporter Indonesia 'membanjiri' Istora. Teriakan mereka membahana. Tak hanya mendukung pemain-pemain Indonesia, mereka juga ingin melihat dari dekat pemain-pemain top dunia.

Faktanya, di laga final, meski Indonesia hanya punya wakil di ganda putra dan bertanding di jam terakhir (malam), toh sejak awal final di siang hari, suporter sudah memenuhi Istora. Padahal, empat pertandingan di nomor lain tidak melibatkan pemain Indonesia. Karenanya, tidak mengherankan bila Indonesia Open dinobatkan sebagai turnamen terbaik dalam rangkaian BWF World Tour.  

Situasi berbeda terjadi di Japan Open 2019. Sampean yang menyaksikan turnamen ini dari layar kaca TVRI, bisa melihat betapa tribun di sana sangat sepi penonton. Hening. Tidak ada teriakan bergemuruh seperti di Istora. Baru memasuki babak semifinal, Sabtu (27/7) hari ini, tribun lumayan penuh. Meski, tidak seramai dan sedahsyat Istora.

Indonesia punya empat wakil di final, pengaruh tribun yang sunyi?

Namun, siapa sangka, kesunyian itu justru membuat pemain-pemain Indonesia tampil hebat. Di final yang dimainkan Minggu (27/7) besok, Indonesia memiliki empat (4) wakil. Yakni Jonatan Christie di tunggal putra, Praveen/Melati di ganda campuran dan Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan serta Marcus Gideon/Kevin Sanjaya di ganda putra.

Kita tahu, di final Indonesia Open akhir pekan lalu, hanya Marcus/Kevin dan Hendra/Ahsan yang tampil di final. Artinya, hasil di Japan Open sebuah kemajuan besar. Adakah hubungannya dengan kesunyian tribun di Musashino Forest Sports Plaza?

Entahlah.

Meski bisa jadi, dengan keheningan di dalam arena, pemain-pemain Indonesia bisa bermain lebih tenang, kalem dan tidak terburu-buru. Berbeda dengan bermain di depan suporter sendiri yang mungkin terlalu bersemangat sehingga terburu-buru untuk mendapatkan poin, malah akhirnya kalah.

Saya akan senang bertanya kepada Praveen/Melati perihal kemungkinan itu. Kita tahu, di Indonesia Open pekan lalu, Praveen/Melati mendapatkan hasil buruk. Mereka langsung terdepak di babak pertama usai kalah dari ganda Jerman, Marks Lamsfuss/Isabel Herrtrich.

Padahal, di dua turnamen sebelumnya yang digelar sebulan sebelumnya di Selandia Baru dan Australia, Praveen/Melati bisa beruntun masuk ke final. Meski akhirnya hanya membawa pulang predikat runner-up.

Nah, di Japan Open, Praveen/Melati ternyata bisa cepat melupakan kegagalan di kandang sendiri dan tampil hebat di negeri orang. Dimulai dengan mengalahkan ganda tuan rumah, Yuki Kaneko/Misaki Matsutomo yang merupakan pemain ganda putra/putri dan dicoba main di ganda campuran. Lantas mengalahkan ganda Hongkong, Chang Tak Ching/Ng Wing Yung.

Tantangan berat mereka hadapi di perempat final saat bertemu unggulan 4 asal Thailand, Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai. Toh, Praveen/Melati yang jadi unggulan 7, menang straight game 21-15, 21-15 atas peraih medali perunggu Kejuaraan Asia 2019 ini.  

Dan, di semifinal yang digelar, Sabtu (27/7) siang, Praveen/Melati berhasil memenangi duel saudara atas Hafiz Faizal/Gloria Widjaja yang kemarin mengalahkan juara dunia 2018 asal Tiongkok, Zheng Siwei/Huang Yaqiong. Mereka menang dua game langsung, 21-15, 21-18.

Di final, Praveen/Melati akan menghadapi unggulan 2 asal Tiongkok, Wang Yilu/Huang Dongping. Ini merupakan kali ketiga mereka bertemu di final. Sebelumnya, mereka bertemu di final India Open 2019 pada akhir Maret dan Australia Open pada awal Juni. Dua final itu berakhir kekalahan bagi Praveen/Melati.

Bagaimana kali ini? 

Semoga mereka bisa mendapatkan keberuntungan di perjumpaan ketiga di final melawan ganda campuran Tiongkok ini. Istilah orang luar sana, third time lucky. Saya sungguh ingin melihat Praveen/Melati juara untuk kali pertama sejak dipasangkan pada awal 2018 silam. Selama ini, mereka sudah empat kali tampil di final, tetapi selalu menjadi runner-up.

Jojo menantang pemain terbaik tuan rumah

Kisah serupa dengan Praveen/Melati juga dialami tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie. Setelah terhenti di perempat final Indonesia Open, Jonatan berhasil melenggang ke final Japan Open 2019.

Tiket ke final diraih Jonatan setelah mengalahkan finalis Indonesia Open, Anders Antonsen dua game langsung, 21-12, 21-14. Sebelumnya, Jojo--panggilan Jonatan, juga selalu menang straight game atas Suppanyu Avihingsanon (Thailand) di babak pertama dan Ng Ka Long Angus (Hongkong) di babak kedua.

Di final, Jonatan akan menghadapi pemain andalan tuan rumah yang juara bertahan, Kento Momota. Pemain rangking 1 dunia ini menghentikan pemain Indonesia, Anthony Sinisuk Ginting di perempat final kemarin lewat rubber game ketat selama 1 jam 30 menit. Di semifinal, Momota menang atas pemain India, Sai Praneeth yang kemarin menaklukkan pemain senior Indonesia, Tommy Sugiarto.

Menariknya, sebelum pekan lalu gagal melangkah jauh di Indonesia Open, Jojo juga berhasil masuk ke final di Selandia Baru dan Australia. Bahkan, ia berhasil menjadi juara beruntun. Mungkinkah karena dia bisa lebih bermain lepas di negeri orang?

Entahlah. Lha wong sebelumnya Jojo malah dikenal sebagai pemain "jago kandang" seperti ketika saat juara di Asian Games 2019.

Yang jelas, sukses Jojo dan Praveen/Melati ke final, menjadi kabar bagus bagi Indonesia. Bahwa, kita ternyata masih bisa berharap dari sektor lain. Tidak hanya dari sektor ganda putra yang selama ini paling sering memberikan kebanggaan untuk Indonesia. Semoga saja itu memotivasi mereka bila kembali tampil di Olimpiade yang juga digelar di Tokyo pada tahun depan.

Dua ganda putra Indonesia tampil beruntun di final

Dan, dua wakil di final lainnya adalah Hendra/Ahsan dan Marcus/Kevin. Tiket ke final diraih Hendra/Ahsan yang menjadi unggulan 4, usai mengalahkan ganda Jepang, Takeshi Kamura/Keigo Sonoda. Pasangan tuan rumah yang menjadi unggulan 2 ini dibekuk dua game, 22-20, 21-10.

Sementara Marcus/Kevin yang merupakan juara bertahan, lagi-lagi mengalahkan musuh bebuyutan mereka asal Tiongkok, Li Junhui/Liu Yuchen yang juga mereka kalahkan di semifinal Indonesia Open. Bedanya, bila di Istora, Marcus/Kevin menang mudah 21-9, 21-3, kali ini mereka dipaksa bermain rubber game, sebelum akhirnya menang 16-21, 21-11, 21-18.

Setelah akhir pekan lalu keduanya tampil di final Indonesia Open, kali ini mereka tampil di final Japan Open. Bila di Istora, Marcus/Kevin yang juara, bagaimana kali ini?

Ah, yang jelas, Indonesia dipastikan meraih satu gelar di Japan Open di nomor ganda putra seperti dua dua penyelenggaraan terakhir.

Pencapaian Hendra/Ahsan dan Marcus/Kevin yang dua kali masuk final beruntun dalam dua pekan di turnamen level Super 1000 dan Super 750 tentunya sangat luar biasa. Padahal, persaingan di sektor ganda putra sangat keras. Itu memperlihatkan betapa mereka memang mampu tampil konsisten di level teratas. 

Pencapaian itu juga menjadi cerminan bahwa Indonesia masih menjadi 'penguasa' di sektor ganda putra. Semoga saja pencapaian hebat itu berlanjut hingga Olimpiade 2020 nanti.

Jadi, menurut sampean, pemain-pemain Indonesia akan bisa membawa pulang berapa gelar dari Tokyo? Saya tentu berharap bisa meraih tiga gelar. Salam bulutangkis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun